Bahasa
Daerah dalam Rezim Malin Kundang
Indra Tranggono ; Pemerhati
Kebudayaan
|
TEMPO.CO,
29 Maret 2014
Wakil
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mensinyalir 72 bahasa daerah di Indonesia
terancam punah. Yang menarik, statement
ini muncul dari penyelenggara pemerintahan/negara. Pertanyaannya, lalu apa
tindakan negara dalam menyelamatkan bahasa daerah?
Bahasa
daerah bukan sekadar peranti komunikasi sosial, baik lisan maupun tulisan. Ia juga merupakan sistem tanda
kebudayaan suatu suku bangsa. Dengan
sistem tanda itu, kita dapat menemukan jalan untuk mengenali,
menggali, memahami, dan
menginternalisasi tiga hal mendasar, yakni nilai-nilai/budaya ide, budaya perilaku/ekspresi, dan budaya
material.
Lenyap
atau punahnya bahasa daerah menjadikan bangsa besar ini kehilangan alamat kebudayaan, identitas, dan jati
diri. Bangsa yang tanpa alamat
kebudayaan adalah bangsa yang kehilangan sejarah dan tradisi
serta peradabannya. Ia menjadi semacam
anak durhaka (Malin Kundang) yang akhirnya
bernasib tragis: telanjur membakar sejarah dan tradisinya tapi
gagal menjadi manusia modern. Ia
akhirnya hanya menjadi "manusia batu" (manusia yang beku akal-budinya alias tak lebih dari
mesin).
Hilangnya
identitas menyebabkan bangsa ini menjadi sekadar kumpulan makhluk yang hanya bisa dikenali melalui pola-pola
pengkonsumsian (baca: bangsa konsumen). Adapun hilangnya jati diri
menyebabkan bangsa ini tidak memiliki
kepribadian (baca: karakter)
yang berbasis etika dan etos. Walhasil, ia akan sulit membangun peradaban. Ia selalu kalah
bersaing melawan bangsa-bangsa maju di
planet ini.
Penyelenggara
negara/pemerintahan telah melakukan politik pembiaran atas (keterancaman) punahnya bahasa daerah.
Politik pembiaran itu antara lain
tecermin dari kebijakan pemerintah dalam menyusun kurikulum 2013 yang
kurang melihat bahasa daerah sebagai
pelajaran penting. Di sini tampak bahwa pemerintah tidak bisa atau tidak mau memahami nilai
strategis bahasa daerah dalam sistem
pendidikan nasional. Anak didik justru dijauhkan dari bahasa daerah
dengan seluruh kekayaan
kulturalnya.
Politik
pembiaran lainnya tampak pada peminggiran (marginalisasi) budaya lokal dan pengutamaan arus budaya global
yang berlanggam kapital. Negara, yang
disokong kaum intelektual-liberal, secara tidak langsung melakukan "pembunuhan" kultural
dengan menciptakan berbagai stigma buram,
misalnya budaya lokal dan budaya tradisional merupakan masa lalu,
udik, tidak up to date, tidak
fungsional, serta primitif. Negara tidak mampu atau kurang berminat menjadi pelindung budaya lokal. Ini tampak
pada sikap kikir mereka dalam politik
anggaran bagi pengembangan budaya lokal.
Akibatnya,
budaya lokal harus bertahan hidup tanpa sokongan negara secara signifikan. Padahal, syarat kokohnya suatu
kebudayaan adalah jika ia didukung
kekuasaan. Rezim Malin Kundang justru mendorong budaya lokal ke
liang kuburnya sendiri. Negara lebih
menyukai lahirnya generasi muda yang tumbuh
instan, ahistoris, dan pragmatis, layaknya anak-anak muda yang tampil
dalam jagat citraan sinetron yang
serba gemerlap, namun steril dan rapuh. Negara justru hanya diam ketika kebanggaan atas
budaya lokal remuk dan hancur.
Politik
pembiaran harus diakhiri melalui
politik kebudayaan yang berpihak pada
budaya lokal dan bahasa daerah. Negara harus melestarikan, mengembangkan, melindungi, dan memanfaatkan
budaya lokal serta bahasa daerah
melalui strategi kebudayaan dan politik anggaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar