Menimbang
Prospek BPR
Paul Sutaryono ;
Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI
|
KORAN
SINDO, 11 Maret 2014
2014
merupakan Tahun Kuda Kayu yang penuh tantangan sekaligus harapan bagi Bank
Perkreditan Rakyat (BPR). BagaimanaprospekBPRdi tengah ancaman potensi risiko
baik internal maupun eksternal? Apa saja potensi risiko internal? Kenaikan BI
Rate yang kini mencapai level 7,5%.
Mulai 12
November 2013, BI Ratenaik 25 basis points (bps) (0,25%) dari 7,25% menjadi
7,5% sehingga mulai Juni 2013 BI Rate sudah terkerek 175 bps. Bank Indonesia
(BI) menyatakan kenaikan suku bunga acuan itu bertujuan untuk menurunkan
defisit transaksi berjalan dan mengerem pertumbuhan kredit bank nasional.
Defisit transaksi berjalan mencapai USD9,8 miliar atau 4,4% terhadap produk
domestik bruto (PDB) per kuartal II/2013. Defisit itu diperkirakan akan
menipis menjadi 3,9% dan 3,5% terhadap PDB masing-masing per kuartal III dan IV
tahun 2013.
Apa
ancaman eksternal? Berulang kali pasar keuangan Indonesia goyang ketika
terdengar kabar bahwa bank sentral AS The Fed memangkas stimulus keuangan (tapering off). Mulai 1 Februari 2014,
The Fed memotong kucuran stimulus itu US20 miliar per bulan sehingga menjadi
US65 miliar per bulan ke pasar keuangan untuk membeli US Treasury Bond (obligasi AS). Kebijakan AS yang juga bertujuan
untuk menciptakan suku bunga rendah itu telah mendorong investor global lari
kencang ke negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Mengapa?
Lantaran pasar keuangan Indonesia menawarkan margin yang lebih gurih yang
tercermin pada kenaikan BI Rate. Sebaliknya, ketika terjadi pemangkasan
stimulus keuangan, dana panas di pasar keuangan nasional akan kembali ke AS.
Akibatnya, pasar modal guncang, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bergerak
liar dan inflasi pun melemah. Kebijakan itu pun bertujuan untuk menyuburkan
pertumbuhan ekonomi dan pasar tenaga kerja.
Kini
tingkat pengangguran AS terus membaik dari 7% per November 2013 menjadi 6,7%
per Desember 2013, bandingkan denganIndonesia6,25% perSeptember2013. Artinya,
kalautingkatpenganggurankianmembaik maka stimulus keuangan pun akan kian
menipis. Ringkas tutur, pemangkasan atau bahkan penghentian stimulus keuangan
masih menjadi ancaman serius.
Aneka Langkah Strategis
Di
tengah kondisi itulah, BPR harus menghadapi tantangan. Apa saja langkah
strategis bagi BPR untuk mampu menghadapi tantangan itu? Pertama, menggenjot
modal. Sungguh modal merupakan pilar utama bagi bank untuk mampu bersaing
dengan tangkas. Modal merupakan bantalan untuk mengantisipasi aneka risiko
yakni risiko kredit, pasar, operasional, dan likuiditas. Dalam bahasa
manajemen risiko, modal merupakan bantal yang memberikan perlindungan
terhadap aneka risiko yang melekat pada bisnis suatu institusi.
Risiko
itu akan memengaruhi keamanan dana deposito, kredit yang dikucurkan dan
institusi bersangkutan. Modal ini bertujuan untuk memberikan kepercayaan
kepada deposan, pemberi pinjaman dan pemangku kepentingan (Michel Crouhy, Dan Galai & Robert
Mark, 2000). Oleh karena itu, BI terus mengimbau bank nasional untuk
menggenjot modal. Bagi bank umum, BI telah meluncurkan Peraturan Bank
Indonesia (PBI) Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Pemenuhan Modal
Minimum (KPPM).
Kebijakan
ini memuat dua komponen permodalan yang wajib dipenuhi, pertama, komposisi
modal inti (tier 1) naik dari 5% menjadi 6% dari aset tertimbang menurut
risiko (ATMR). Dari angka tersebut, 4,5% modal inti harus merupakan modal
inti utama. Kedua, bank yang memiliki kriteria tertentu wajib menyediakan
modal tambahan atau penyangga (buffer) di atas KPPM sesuai dengan profil
risiko bank. Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberi sinyal bahwa
modal minimum BPR sekitar Rp3–5 miliar. Data menunjukkan ada 11 BPR masih
memiliki modal minimum rendah atau di bawah Rp1 miliar.
Padahal
kini terdapat 1.639 BPR di seluruh Indonesia. Untuk itu, Perhimpunan BPR
Indonesia (Perbarindo) sudah sepatutnya terus mendorong anggotanya untuk
mengerek modal. Bagaimana kiatnya? Pemegang saham dapat menggelontorkan dana
segar. Hal ini lebih praktis daripada merger. Sesungguhnya merger merupakan
langkah yang senantiasa didengungkan BI dan kini OJK. Hal itu menjadi
mendesak terutama ketika pemegang saham BPR tidak mau (mampu) meningkatkan
modal.
Tetapi
merger itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Mengapa merger terus
menerus dianjurkan? Kini terdapat 121 bank umum dan 1.639 BPR. Nah, dari segi
pengawasan, kian sedikit jumlah bank, akan kian mudah bagi OJK untuk
mengawasi bank umum dan BPR. Sayangnya, merger sebagai langkah konsolidasi
itu selama ini tak membawa hasil yang memuaskan. Untuk itu, BI menerbitkan
PBI Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum (GWM). Kebijakan yang
efektif 31 Desember 2013 itu menitahkan bank umum untuk menyiapkan GWM primer
8% dari dana pihak ketiga (DPK) rupiah dan GWM sekunder 4% dari DPK rupiah.
Selain itu,
industri perbankan nasional harus memiliki GWM LDR (loan to deposit ratio) pada kisaran 78-92% dan GWM dalam valas 8%
dari DPK valas. Kebijakan itu pun memberikan insentif berupa pelonggaran
pemenuhan GWM bagi bank nasional yang melakukan merger. Kedua, menggebrak
kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Jangan lupa BI juga
mewajibkan bank nasional untuk menggelontorkan kredit UMKM minimal 20% dari
kredit produktif (kredit modal kerja dan kredit investasi). Hal itu
ditunaikan secara bertahap selama enam tahun.
Pada
2013 dan 2014, besaran kredit mikro bebas sesuai dengan kemampuan bank lalu
minimal 5% pada 2015, 10% pada 2016, 15% pada 2017 dan 20% pada 2018.
Sejatinya, kebijakan itu merupakan tantangan berat bagi BPR. Lho? Karena
serbuan bank umum akan makin mendesak BPR dari habitatnya terutama perbankan
mikro (micro banking). Dengan
bahasa lebih lugas, dari awal tentu saja bank umum akan mulai menggarap
kredit UMKM sehingga target 20% pada 2018 bakal tercapai lebih cepat. Bank
BRI sebagai pemimpin pasar disegmen ini pasti akan menggeber pangsa pasarnya.
Sebaliknya,
BPR juga akan memperoleh berkah ketika bank umum papan atas lebih memilih
tidak terjun langsung atau cukup dengan penerusan kredit (channelling loan) melalui BPR. Pola
itu akan memberikan margin yang legit bagi BPR. Ketiga, meningkatkan sumber
daya manusia (SDM). Maka, BPR wajib meningkatkan kompetensi SDM. Bagaimana
seninya? Perbarindo dapat menjalin kerja sama dengan bank nasional papan atas
untuk meningkatkan ilmu dan pengetahuan SDM BPR.
Katakanlah,
kredit, audit, manajemen risiko, kepatuhan (compliance) dan hukum. Model pelatihan dan magang itu akan lebih
memperkaya bukan hanya teori tetapi juga memperdalam proses transaksi.
Keempat, meningkatkan penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/ GCG). GCG
merupakan tata kelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan,
akuntabilitas, pertanggungjawaban, independensi dan kewajaran.
Penerapan
GCG itu akan mendorong BPR untuk lebih profesional. Kelima, menerapkan
manajemen risiko. Saat ini, karyawan BPR memang belum disyaratkan untuk
mengikuti Sertifikasi Manajemen Risiko. Namun akan lebih baik bila BPR mulai
membekali manajemen dengan pengetahuan dan praktik manajemen risiko. Hal ini
akan bermanfaat untuk menangkis aneka potensi tersebut. Ingat, kian marak
bisnis, kian tinggi pula potensi risiko yang melekat pada produk, jasa dan
aktivitas bisnis perbankan. Berbekal aneka langkah strategis demikian, BPR
bakal kian trengginas bersaing
dengan bank umum dan bank pembangunan daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar