Makam
dan Ceng Beng
Agus Dermawan T ; Pengamat
Budaya dan Seni
|
TEMPO.CO,
29 Maret 2014
Pada 5
April 2014, masyarakat Tionghoa merayakan ceng
beng (atau cing ming). Kita
tahu, ceng artinya bersih,
sedangkan beng artinya terang atau
bercahaya. Berkaitan dengan ritusnya, ceng
beng dimaknai sebagai hari untuk mencerahkan ingatan kita akan anggota
keluarga yang telah tiada. Presentasi fisiknya adalah berkunjung, membersihkan,
dan merias makam leluhur.
Ihwal
ritual itu, ibu saya memberi penjelasan kepada anak-anaknya puluhan tahun
lalu. "Merenung di makam kala ceng
beng adalah momentum untuk mengenang yang baik-baik dari kakek, nenek, atau
siapa pun yang pergi duluan. Mengenang hal serba baik adalah energi positif
yang menuntun setiap orang agar terhindar dari jiong atau musuh nasib, serta
akan selalu diterangi chai shen alias pelita dewa rezeki."
Berdasarkan
pemahaman itu, lantas ada persepsi bahwa makam adalah rumah yang teduh dan
bersahabat. Hal itu pula yang terasa ketika saya berkesempatan mengunjungi
makam orang-orang penting di banyak negara, yang sengaja dijadikan obyek
pariwisata. "Makam adalah sebuah
tamasya yang mendalam. Sebab, dari makam kita membuka lembaran panorama
kehidupan dan belajar tentang keutamaan," kata banyak pemandu
wisata.
Maka,
lihatlah yang terjadi di kompleks pemakaman kuno Recoleta di Buenos Aires,
tempat tokoh-tokoh besar Argentina lintas abad dimakamkan. Masyarakat sedunia
menghayati makam Domingo Faustino Sarmento sampai Evita Peron dari aspek
bangunannya yang unik dan luar biasa. Kemudian mereka menyepadankan kehebatan
bentuk makam dengan aura kebesaran setiap jasad yang "tidur" di
dalamnya.
Di
Xi'an, Tiongkok, Chin Shih Huang tidur selamanya ditemani ribuan patung
perajurit yang tegak berbaris di sebelahnya. Makam segede truk tronton ini
ditatap orang sejagad sebagai monumen kedahsyatan Kaisar Chin dalam
menyatukan berbagai kerajaan di Tiongkok, yang sebelumnya saling perang tiada
berketentuan. Di Giza, Mesir, menjulang makam berbentuk piramid. Dari situ,
orang membayangkan kegilaan gagasan, semangat, dan hasrat Raja Cheops untuk
menembus zaman.
Keramaian
berkunjung ke makam juga terjadi di Indonesia, terutama pada minggu-minggu
ini, ketika pemilu legislatif dan pemilu presiden hampir tiba. Tengok makam
Mbah Lancing di Kebumen, makam Sukarno di Blitar, makam Gus Dur di Jombang,
dan makam Soeharto di Yogyakarta. Juga makam Mbah Priok, Habib Kuncung
Kalibata, Habib Husein bin Abubakar Alaydrus, serta Habib Ali Kwitang di
Jakarta.
Bedanya,
sementara di banyak negara makam-makam itu dibaca secara positif seraya
ditebari aneka kembang sehingga hadir keceriaan, makam di Indonesia tampak
bercitra suram, angker, misterius, dan mistis lantaran diselimuti asap dupa.
Di sela-sela asap itu, berhamburan berbagai permintaan, rengekan, bahkan
tuntutan yang isinya cuma lumpur panas ego si peziarah makam. Dan berbagai
aliran permintaan itu bertemu di satu muara: menang dalam pemilu, karena
kemenangan dianggap sebagai jalan menuju kekuasaan. Adapun kekuasaan
dipercaya akan menyeret kemuliaan dan kekayaan.
Makna ceng beng menarik untuk dijadikan
pelajaran. Betapa sesungguhnya makam adalah rumah pencerah jiwa, bukan tempat
meminta-minta! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar