Hukum
Mati Koruptor
Moh Mahfud MD ; Guru
Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 29 Maret 2014
Kamis
dan Jumat pekan ini tersiar berita tentang laporan Amnesti Internasional
bahwa pada 2013 Republik Rakyat China (RRC) merupakan negara yang paling
banyak melaksanakan hukuman mati.
Pada
2013 China menjatuhkan hukuman terhadap 778 orang. Hukuman mati di China
secara tegas memang dijatuhkan, terutama terhadap para koruptor. Ketika saya
berkunjung ke China, akhir tahun 2007, di sana ada eksekusi hukuman mati
terhadap dua pejabat perusahaan listrik negara karena penyuapan. Beberapa
tahun sebelum itu, seorang jaksa tinggi di sebuah provinsi juga dijatuhi
hukuman mati karena mengunjungi suatu negara di Eropa dengan menggunakan
anggaran negara secara koruptif.
Jaksa
tinggi itu menghadiri undangan dari kejaksaan di satu negara di Eropa untuk
satu pembicaraan bidang hukum antarkejaksaan kedua negara. Sang jaksa tinggi
menggunakan anggaran negara untuk kunjungan dinasnya itu. Sialnya, Pemerintah
China akhirnya mengetahui bahwa sang jaksa bukan murni diundang tapi minta
diundang melalui koleganya di negara Eropa tanpa agenda yang jelas, dengan
akal-akalan, agar dapat berkunjung dengan menggunakan anggaran negara.
Sang
jaksa pun dijatuhi hukuman mati. Itulah hebatnya China, sangat keras
memerangi korupsi dan menghukum berat pelakunya tanpa pandang bulu. Terhadap
korupsi biasa yang tak spektakuler saja, pelakunya dijatuhi hukuman mati.
Pada saat menerima kunjungan pejabat tinggi dari China beberapa tahun lalu
Presiden SBY mengatakan ingin belajar pada China dalam pemberantasan korupsi.
China
memang perlu dicontoh dalam memerangi korupsi. Faktanya di Indonesia
teriakan-teriakan agar koruptor dihukum mati sudah banyak bergema di
masyarakat. Alasannya, koruptor telah merampas hak-hak rakyat dalam meraih
kesejahteraan sesuai dengan hak yang diberikan oleh konstitusi yang resminya
tertuang di dalam dasar dan tujuan negara. Di Indonesia tiga indikator utama
kesejahteraan rakyat yaitu kecukupan ekonomi, pemerataan pendidikan, dan
pelayanan kesehatan sungguh memilukan.
Kecukupan
ekonomi masyarakat jauh dari harapan, kemiskinan masih masif, distribusi
kekayaan dan pertumbuhan ekonomi sangat jomplang, tidak merata. Pembangunan
pendidikan tersendat-sendat, banyak anak seusia sekolah yang tak terjangkau.
Yang terjangkau pun banyak yang asal-asalan. Bahkan, banyak murid yang setiap
hari menempuh jalan jauh dan menyeberangi jembatan bambu yang digantung
dengan tali di atas sungai yang curam.
Pelayanan
kesehatan pun sungguh memilukan. Belum lama ini seorang pasien miskin dibuang
oleh pegawai rumah sakit di Lampung karena tidak ada yang menjamin untuk
membayar perawatannya. Orang yang bernama Suparman itu meninggal di tepi
jalan, tempat dirinya dicampakkan begitu saja. Banyak orang tak berani masuk
ke rumah sakit karena harus menyerahkan jaminan pembayaran lebih dulu.
Banyak pula
yang tak bisa keluar dari rumah sakit karena tak mampu membayar setelah
dirawat. Mereka itu tidak boleh pulang sebelum membayar dan setiap tambahan
hari ditahan di rumah sakit harus menambah jumlah pembayarannya. Ketakcukupan
ekonomi, tak menjangkaunya program pendidikan yang memadai, dan tak
terpeliharanya kesehatan rakyat oleh negara sebagai indikator utama
kesejahteraan sebenarnya bisa dimaklumi apabila negara ini benar-benar tidak
mampu karena tidak punya anggaran.
Persoalannya,
meski terbatas, anggaran-anggaran untuk membangun kesejahteraan itu sudah
disediakan oleh negara melalui APBN dan APBD tetapi dikorup secara
besar-besaran oleh para pejabatnya dalam jumlah yang gila-gilaan. Itulah
sebabnya, banyak yang berteriak agar koruptor dalam skala tertentu, apalagi
oleh pejabat tinggi tertentu, perlu dijatuhi hukuman mati.
Secara
konstitusional, untuk tindak pidana tertentu yang sangat membahayakan negara
dan mengancam kemanusiaan, hukum kita membenarkan dijatuhinya hukuman mati.
Untuk kejahatan terorisme, narkoba, dan pembunuhan berencana, misalnya,
ancaman hukuman mati dan penjatuhan kepada pelakunya di Indonesia sudah
berjalan dan banyak yang dieksekusi.
Mengapa
untuk kejahatan korupsi hukumannya kok ringan-ringan melulu? Bukankah korupsi
tak kalah jahatnya daripada terorisme, narkoba, dan pembunuhan berencana? Ada
soal penafsiran atas ancaman hukuman pidana mati bagi korupsi. Di dalam UU
kita tindak pidana korupsi ”hanya” bisa dituntut dan dijatuhi hukuman mati
jika korupsi tersebut dilakukan ketika negara dalam keadaan krisis.
Karena
tidak ada kriteria hukum yang jelas tentang ”negara dalam keadaan krisis” yang bisa dikaitkan langsung dengan
korupsi maka tidak ada jaksa yang menuntut hukuman mati terhadap koruptor,
sekakap apa pun. Para hakim pun bersikap sama, tak ada yang berijtihad untuk
menjatuhkan hukuman mati. Maka ketentuan UU yang mensyaratkan ”saat negara dalam keadaan krisis”
perlu dihapus melalui revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ke
depan, kita perlu menyejajarkan kejahatan korupsi dengan kejahatan terorisme
dan narkoba, yakni sama-sama diancam maksimal hukuman mati tanpa syarat ”ketika negara dalam keadaan krisis”.
Ada yang mengatakan, ancaman hukuman mati itu melanggar konstitusi.
Tetapi,
Mahkamah Konstitusi sudah membuat putusan yang final dan mengikat bahwa
pengancaman maksimal dan penjatuhan hukuman mati itu konstitusional asal
dicantumkan di dalam UU sesuai dengan ketentuan Pasal 28J UUD 1945. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar