Selalu
Ada Harapan
Asep Salahudin ; Peneliti
Lakpesdam PWNU Jawa Barat,
Dekan di Fakultas Syariah IAILM Suryalaya,
Tasikmalaya
|
KOMPAS,
29 Maret 2014
ENTAHLAH. Mungkin pemilu dirayakan nalar utamanya untuk merawat
harapan. Homo esperans, manusia
sebagai makhluk yang selalu berharap. Meminjam kitab tebal curhat Susilo
Bambang Yudhoyono, Selalu Ada Pilihan, termasuk pilihan untuk tidak memilih
sekian partai dengan sekian wajah yang setiap saat terpampang di ruang
publik, menjajakan di media sosial, dan menawarkan diri di banyak televisi.
Apalagi kalau televisi itu milik sendiri, tentu iklan politik itu menjadi
semacam khotbah yang dirutinkan tidak peduli jemaah mengantuk. Sesuatu yang
dirutinkan biasanya menyisakan defisit pencerahan dan surplus pembodohan.
Orang yang tidak memilih tidak otomatis tak punya harapan
seperti fenomena absennya orang masuk ke tempat pemungutan suara (TPS) dalam
setiap pemilihan kepala daerah. Minimal mengharapkan sikapnya sebagai ”kritik
ideologis” atas tindakan para politisi yang selama ini dianggap tidak mampu
menurunkan kemustahilan menjadi kemungkinan, mengaksentuasikan harapan
khalayak menjadi sekian kebijakan yang memihak hajat orang banyak. Dan untuk
pilihan ini, tidak perlu fatwa haram dari lembaga mana pun.
Tak ubahnya juga mereka yang giat menyambut siklus demokrasi
lima tahunan. Datang ke TPS, lagi-lagi, nalar pokoknya ditautkan pada sebuah
fantasi kebangsaan yang diharapkan ke depan jauh lebih beradab, negara mampu
mendistribusikan kesejahteraan dan hanya berpihak kepada akal sehat.
Inilah semacam ”politik harapan” yang dibilang Erich Fromm
(1996), sebagai kesadaran warga yang akan mampu melepaskan suasana kehidupan berbangsa
dari sekapan keterasingan, kehampaan, dan keterperosokan, agar kita
tidak kehilangan otentisitas
pengalaman sebagai manusia. Menemukan kembali
renaisans humanisme universal, menemukan lagi makna eksistensial
sebagai bangsa.
Kata Fromm, khitah harapan itu berwatak paradoks. Harapan
bukanlah menunggu secara pasif, juga bukan pemaksaan yang tidak masuk akal
terhadap realitas yang tidak bisa dilakukan. Harapan tak ubahnya harimau buas
yang tertangkap. Sang harimau akan melompat ketika tiba waktu yang tepat,
bersiaga menunggu sang penunggu lengah. Berharap tidak seperti seorang
laki-laki tua dalam The Trial Kafka
yang diam berabad-abad menunggu pintu surga terkuak, tetapi tatkala pintu itu
terbuka, ia masih diam dan meminta izin sampai kemudian sang penunggu itu
berkata, ”Tak seorang pun yang begitu
bersikeras meminta izin kecuali Anda. Sekarang saya mau menutupnya!”
Berharap berarti siap setiap saat terhadap apa yang belum lahir,
dan tidak menjadi nestapa jika tidak ada kelahiran. Orang yang memiliki
harapan selalu memandang masa depan dengan optimistis dan tidak pernah henti
menghargai datangnya fajar baru dan selalu siap membantu kelahiran dari rahim
kehidupan yang lebih menyegarkan menawarkan angin perubahan.
Sumbu harapan
Harapan yang pada praktiknya diacukan pada sumbu keyakinan fitri
(feith). Keyakinan bukan sekadar
pantulan keberagamaan monolitik yang menganggap ”liyan” sebagai keliru, tetapi adalah visi terang tentang keadaan
masa depan dalam kehidupan warga yang plural.
Keyakinan yang tidak bertalian dengan urusan administrasi
politik keagamaan yang berwatak mesianistik dengan paradigma bipolar
hitam-putih, bidah-sunnah, khilafah-demokrasi, dan lainnya khas paradigma
para penggiat laskar keagamaan skolastik yang selalu mengidealisasikan format
negara masa silam, tetapi adalah keyakinan yang dapat diukur akal budi yang
ajek dan bisa dimusyawarahkan secara diskursif di ruang publik dalam
kesetaraan. Di sini, seluruh warga berdiri sama tegak mendiskusikan masa
depan bangsa, bukan disibukkan urusan eksklusif penghargaan terhadap masjid
yang sesak saat shalat berjemaah dan ihwal lain yang seharusnya diselesaikan
di ruang privat-keumatan bukan publik-kebangsaan.
Bukan keyakinan metafisis di mana ormas satu dengan lainnya
berkontestasi saling berebut mendekat negara, merayu agar melakukan pemihakan
terhadapnya. Memaksa pejabat negara untuk memiliki satu pandangan yang sama
terhadap apa yang disebut mungkar yang sebermula telah terdefinisikan secara
sepihak.
Haluan keberanian
Keyakinan yang dipadupadankan dengan keberanian (courage) dan ketabahan (Spinoza). Keberanian untuk mengatakan
bukan sekadar ”tidak” terhadap
segala bentuk korupsi, melainkan juga bertindak jelas dan bekerja keras atas
dasar kepentingan bangsa walaupun tindakan itu dalam jangka pendek tidak populer.
Bukankah tempo hari keyakinan dan keberanian ini yang membuat
manusia pergerakan bukan saja tidak mengenal rasa takut menghadapi kaum
kolonial, melainkan juga mampu membangun sebuah imajinasi visioner tentang
sebuah ”negara” yang dibayangkan. Jauh
sebelum Indonesia diproklamasikan di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56,
Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, Agus Salim, Tan Malaka, Muso, Hasyim Asy’ari,
Ahmad Dahlan, Syahrir, Natsir, Amir Syarifuddin, dan tokoh lainnya
menyuntikkan harapan kepada seluruh rakyat.
Yakni, bahwa ideologi yang mereka tawarkan bisa sangat berbeda,
tetapi mereka bisa saling menghormati sekeras apa pun perbedaan itu. Entah
berhaluan kiri, kanan, ataupun tengah, semuanya diperdebatkan di ruang
konstituante sebagai sebentuk ijtihad mempercepat ”revolusi harapan”, revolusi yang dianggap Soekarno belum
selesai. Meskipun untuk itu, mereka akhirnya harus mengalami akhir kehidupan
mengenaskan. Sebut saja Soekarno yang diasingkan ke Istana Yaso, Bogor;
Syahrir kesepian di Zurich, Swiss; Muso, Amir, dan Tan Malaka yang ditembak;
Natsir yang dianggap ”kurap” oleh
negara fasis Orde Baru, dan sebagainya.
Hanya harapan yang dapat menyatukan ”Indonesia” yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dengan
ribuan pulau, etnik tidak sama, pilihan agama berbeda, dan budaya berlainan.
Bersatu mengarak bendera, bahasa, dan negara yang sama. Minimal tergambarkan
lewat puisi Muhamad Yamin berjudul ”Sumpah Pemuda” yang dideklarasikan tahun
1928. Sumpah penuh rajah yang tidak pernah menjadi sampah. Mengharapkan
kelahiran manusia bijak dari rahim pemilu tentu adalah sahih, tetapi ketika
petahana ”itu-itu” juga yang didapatkan, mungkin kita masih
harus merawat takdir sebagai bangsa yang masih lama hamil mengandung janin
harapan.
Janji kebangsaan kita harus diinjeksikan pada palung spirit ”menjadi” (to be), bukan ”memiliki”
(to have). Yang pertama yang akan
mempertegas identitas bangsa penuh marwah, sementara modus memiliki yang hari ini telah menyeret satu per satu
mereka yang mengklaim ”pemimpin” ke
terali besi karena terbelit kasus korupsi, menjadi bangsat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar