Menyoal
Kampanye Hitam
Sabam Leo Batubara ; Wartawan
Senior
|
TEMPO.CO,
28 Maret 2014
Berita
di Koran Tempo (23 Maret 2014) berjudul "Pelesiran Aburizal dan Artis
Diklaim untuk Syukuran" memuat pengakuan Sekretaris Jenderal Partai
Golkar Idrus Marham yang membenarkan sosok yang ada dalam video berjudul "Azis Syamsuddin dan Capres Golkar
ARB Menikmati Maldives Bersama Marcella dan Olivia Zalianty" adalah
Ketua Umum Golkar sekaligus calon presiden partai itu, Aburizal Bakrie. Pada
edisi hari berikutnya, koran yang sama memuat bahwa Aburizal mengaku mengajak
dua artis itu ke Maladewa untuk memperbaiki wisata Indonesia. Dia menganggap
peredaran video itu sebagai "kampanye hitam" terhadap dirinya.
Pertanyaannya,
apakah peredaran video tersebut, yang informasinya juga disebarluaskan oleh
media massa, dapat dituduh melakukan kampanye hitam (black campaign) terhadap Aburizal?
Dalam
perspektif demokrasi dan kebebasan pers, dalam penyelenggaraan pemilu, peran
media adalah mengupayakan well informed
voters. Untuk mewujudkan itu, pers dilarang melakukan negative campaign berkategori kampanye
hitam karena kampanye seperti itu berbahan keterangan dusta, bohong, fitnah
dan beriktikad buruk. Pelanggaran seperti itu tidak hanya melanggar Kode Etik
Jurnalistik (KEJ), tapi juga berpotensi dapat diproses ke jalur hukum, tidak
berdasarkan UU Nomor 40/1999 tentang Pers.
Tapi negative campaign yang menguliti rekam
jejak, kebaikan, dan keburukan para kontestan-parpol, calon legislator,
capres dan cawapres-sesuai dengan KEJ, artinya berdasarkan fakta-fakta yang
benar dan tersedia berimbang, justru membantu rakyat pemilih untuk memilih
secara benar. Dengan demikian, pers membantu pemilih untuk tidak lagi membeli
kucing dalam karung.
Mempedomani
uraian di atas, berikut ini dikemukakan beberapa contoh kampanye negatif
berkategori kampanye hitam. Dalam kampanye Pilpres Juli 2009, Cawapres
Boediono diberitakan berkedok beristrikan seorang Islam, padahal Katolik.
Tuduhan itu adalah bagian dari kampanye hitam, karena fakta sebenarnya istri
Boediono beragama Islam.
Dalam
Pemilihan Gubernur Provinsi DKI Jakarta 2012, sejumlah pendukung lawan cagub
Joko Widodo (Jokowi)-cawagub Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mencoba
mempengaruhi rakyat pemilih untuk tidak memilih pasangan tersebut lewat black campaign dengan mempersoalkan
agama, ras, dan etnis Ahok.
Pada
pertengahan Februari lalu, Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Hashim
Djojohadikusumo mengungkap ada tujuh jenderal yang termasuk daftar hitam
pemerintah AS untuk ditangkal masuk ke negara itu. Sekretaris Komite Konvensi
Capres Partai Demokrat Suaidy Marabessy (13 Februari 2014) menuding
Hashim-yang juga menyebut Jenderal TNI (Purn) Pramono Edhie Wibowo salah satu
dari tujuh jenderal tersebut-melakukan kampanye hitam. Pramono Edhie
menegaskan, bagaimana mungkin dia dicekal ke AS, padahal pada 1985, 1986, dan
1998 dia menjalani pendidikan special
forces di negeri itu. Dia juga masih menerima undangan (6 Februari 2014)
dari Presiden AS Barrack Obama untuk menghadiri suatu acara yang diprakarsai
Dewan Kongres AS di Washington.
Ketua
Fraksi Demokrat, Nurhayati Ali Assegaf, di gedung DPR (6 Desember 2013)
mengemukakan, "Fraksi Demokrat di
DPR meminta media menghentikan apa yang disebutnya sebagai kebohongan publik
terkait dengan Partai Demokrat, sehingga elektabilitas partai merosot. Dengan
menyebar fitnah dan menjelek-jelekkan orang tanpa dasar, maka apa jadinya
dengan 240 juta rakyat Indonesia."
Pendapat
yang menuduh media melakukan kebohongan publik dan fitnah-menurut saya-adalah
juga kampanye hitam terhadap media nasional. Apa nalarnya media dituduh
berbohong dan memfitnah, padahal fakta-fakta jurnalistik tentang performa
orang-orang parpol di DPR dan birokrasi justru bersumber dari lembaga penegak
hukum, terutama KPK. Fakta-fakta terbaru menunjukkan jumlah pejabat yang
terpidana, tersangka, dan terduga, atau disebut-sebut terlibat tindak
korupsi, sepertinya lebih banyak kader Partai Demokrat.
Di
Amerika Serikat, rakyat pemilih mengapresiasi medianya yang mengungkap bukan
hanya keunggulan, tapi juga keburukan calon-calon pemimpinnya. Gary Hart dari
Partai Demokrat, menurut hasil survei, berpotensi besar untuk memenangi
pemilihan Presiden AS 1988. Namun, ketika pelesirannya dengan artis Donna
Rise ke satu tempat wisata disiarkan oleh media, publik marah dan menolak
pencalonannya. Kenapa? Karena publik berpendapat, capres yang mengkhianati
istrinya pasti juga akan mengkhianati rakyat pemilihnya.
Dari
paparan di atas, tersimpulkan bahwa penyiaran dan pemberitaan media tentang
pelesiran Aburizal dengan artis ke Maladewa sama sekali bukan kampanye hitam
terhadap capres tersebut. Karena informasinya berdasarkan fakta yang benar
dan kebenarannya juga sudah dikonfirmasi kepada Aburizal sendiri.
Dalam
konsep demokrasi dan kebebasan pers, tugas media tidak hanya memberitakan
hal-hal positif tentang calon pemimpin negaranya, tapi juga keburukan-keburukannya.
Dengan demikian, hak rakyat sebagai pemilik kedaulatan untuk mengetahui rekam
jejak calon pemimpinnya secara utuh terpenuhi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar