Korupsi
Pemilu
Ibrahim Fahmy Badoh ; Program
Director Transparency International Indonesia
|
KORAN
SINDO, 27 Maret 2014
Semakin
dekatnya hari pencoblosan Pemilu Legislatif 2014 ditandai dengan semakin
pekatnya aroma korupsi. Laporan dana kampanye yang minimalis serta semakin
gencarnya pembelanjaan hibah dan bantuan sosial pemerintah menjadi ancaman
atas buruknya integritas pemilu.
Banyaknya
lubang penyiasatan aturan dan lemahnya lembaga penyelenggara pemilu dalam
mengawasi dan menegakan aturan memperkuat dugaan korupsi Pemilu 2014 terjadi
secara sistemik. Pemilu 2014 bukan hanya momentum perguliran kekuasaan
eksekutif dan pergeseran kursi-kursi di parlemen. Pemilu kali ini juga
ditandai dengan pertarungan sengit kekuatan ekonomi yang menjadi cukong
kampanye di satu sisi.
Di sisi
yang lain adalah kekuatan penguasa incumbent
yang menguasai sumber daya publik yang tentu akan sengit mempertahankan
posisi kekuasaan meski dilingkupi berbagai skandal. Dalam konteks pertarungan
besar ini, korupsi tidak hanya akan muncul sekadar sebagai sebuah gejala
simptomik— kasus per kasus, tetapi sistemik.
Gejala
sistemik ini terutama terlihat dari lemahnya aturan dan kontrol terhadap dana
kampanye dan penggunaan sumber daya publik untuk kepentingan pemilu seperti
penyaluran hibah dan bantuan sosial.
Dana Kampanye
Sejak
bergulirnya tahapan Pemilu 2014 yang ditandai dengan ditetapkan partai
politik peserta pemilu, hak publik terkait transparansi dan akuntabilitas
dana kampanye telah ”dengan sengaja” dilangkahi. Ini dibuktikan dengan
lalainya partai politik menyerahkan rekening khusus dana kampanye.
Padahal,
kepatuhan penyerahan rekening khusus dana kampanye menjadi persyaratan parpol
menjadi peserta pemilu sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) huruf (i.) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif. Anehnya, Komisi
Pemilihan Umum (KPU) hanya mengang g a p sepi ini sebagai gejala kelalaian
administratif semata. Tidak diserahkan rekening khusus memiliki dampak
lanjutan yaitu buruknya kualitas pelaporan dana kampanye partai politik.
Dalam
pelaporan dana awal kampanye partai politik tahap pertama pada akhir Desember
2013 dan tahap kedua pada awal Maret 2014 tidak ada satu pun partai politik
yang melakukan pencatatan sumbangan dana kampanyenya secara tertib. Hanya
beberapa partai politik (parpol) yang mencantumkan sumbangan perusahaan dan
individu. Mayoritas parpol mencatatkan sumbangan lebih sebagai ”jasa” dari
kandidat calon legislator di semua dapil.
Pencatatan
semacam ini sudah jelas merupakan upaya untuk menghindar dari keharusan
pencatatan melalui rekening khusus. Selain berharap terbebas dari pelacakan
rekening oleh PPATK, partai politik juga dapat berlenggang kangkung untuk
tidak mencantumkan identitas yang jelas.
Hal yang
paling dikhawatirkan dari model pencatatan ini adalah tidak terlacaknya para
cukong kampanye yang dapat ”membeli” para kandidat dengan dana kampanye
mengikat. Publik juga sulit melacak masuknya dana haram kampanye karena
kandidat tidak diwajibkan oleh undangundang pemilu untuk membuat laporan
pencatatan dana kampanye juga untuk transparan kepada publik.
Penyaluran
dana hibah dan bantuan sosial (bansos) oleh penguasa menjelang pemilu bukan
lagi hal baru. Praktik ini telah tercium di banyak daerah yang melakukan
pilkada. Bantuan sosial kerap menjadi ajang bancakan penguasa untuk merebut
simpati pemilih dengan berkedok bantuan sosial. Hibah dan bansos adalah cara
yang paling jitu karena didukung aturan pertanggungjawaban yang sangat lemah,
terutama terkait kelayakan penerima sumbangan.
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah berulang
memberikan peringatan tentang lemahnya pertanggungjawaban penyaluran hibah
dan bansos. Penelusuran yang pernah dilakukan pada hibah/ bansos terkait
Pilkada DKI, Kota Bandung, dan Jawa Barat misalkan membuktikan ada upaya
sistemik dari penguasa untuk menyalurkan dana lewat yayasan atau lembaga
swadaya masyarakat (LSM) yang mendukung salah satu pasangan calon kepala
daerah yang berasal dari incumbent.
Kasus di
DKI bahkan dana tersebut disalurkan lewat yayasan yang dimiliki keluarga atau
ormas yang dibina penguasa. Kasus di Jawa Barat dana hibah dan bansos
disalurkan lewat bank daerah dan alokasi belanja transfer ke setiap desa
dengan nilai yang cukup signifikan. Data Nota Keuangan APBN 2014 menyebutkan
belanja hibah dan bansos pada 2012- 2013 meningkat cukup signifikan.
Dari
tujuh komponen belanja bantuan sosial, beberapa mengalami kenaikan signifikan
seperti bantuan operasional sekolah menengah (BOSm) Rp8,9 triliun, Bantuan
Siswa Miskin (BSM) dari Rp9,5 triliun menjadi Rp16,6 triliun, Jamkesmas
Rp76,4 triliun menjadi Rp86,4 triliun, serta bantuan BLSM sebesar Rp9,3
triliun. Di dalam APBN 2014 nilai alokasi kenaikan ini tetap bertahan dengan
sedikit peningkatan pada belanja hibah sebesar Rp1 triliun.
Postur
anggaran APBD terkait hibah jauh berbeda dengan APBN. Hal yang paling
mengancam adalah bagi-bagi alokasi proyek hibah dan bantuan sosial yang dapat
didistribusikan oleh anggota DPR/ DPRD tanpa indikator capaian yang jelas.
Ancaman korupsi pemilu sudah jelas di depan mata. Pemilih dituntut untuk
lebih kritis menilai parpol dan kandidat mana yang berintegritas dan kampanye
dengan cara-cara korup.
Penyelenggara
juga diharapkan tidak bersembunyi di balik lemahnya sistem dan aturan tetapi
bekerja untuk menegakan prinsip keadilan dan antikorupsi. Pertarungan kuasa
ekonomi dan politik dalam pemilu adalah tantangan terbesar integritas dan
independensi penyelenggara pemilu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar