Jumat, 28 Maret 2014

Korupsi Pemilu

Korupsi Pemilu

Ibrahim Fahmy Badoh ;   Program Director Transparency International Indonesia
KORAN SINDO,  27 Maret 2014
                                     
                                                                                         
                                                      
Semakin dekatnya hari pencoblosan Pemilu Legislatif 2014 ditandai dengan semakin pekatnya aroma korupsi. Laporan dana kampanye yang minimalis serta semakin gencarnya pembelanjaan hibah dan bantuan sosial pemerintah menjadi ancaman atas buruknya integritas pemilu.

Banyaknya lubang penyiasatan aturan dan lemahnya lembaga penyelenggara pemilu dalam mengawasi dan menegakan aturan memperkuat dugaan korupsi Pemilu 2014 terjadi secara sistemik. Pemilu 2014 bukan hanya momentum perguliran kekuasaan eksekutif dan pergeseran kursi-kursi di parlemen. Pemilu kali ini juga ditandai dengan pertarungan sengit kekuatan ekonomi yang menjadi cukong kampanye di satu sisi.

Di sisi yang lain adalah kekuatan penguasa incumbent yang menguasai sumber daya publik yang tentu akan sengit mempertahankan posisi kekuasaan meski dilingkupi berbagai skandal. Dalam konteks pertarungan besar ini, korupsi tidak hanya akan muncul sekadar sebagai sebuah gejala simptomik— kasus per kasus, tetapi sistemik.

Gejala sistemik ini terutama terlihat dari lemahnya aturan dan kontrol terhadap dana kampanye dan penggunaan sumber daya publik untuk kepentingan pemilu seperti penyaluran hibah dan bantuan sosial.

Dana Kampanye

Sejak bergulirnya tahapan Pemilu 2014 yang ditandai dengan ditetapkan partai politik peserta pemilu, hak publik terkait transparansi dan akuntabilitas dana kampanye telah ”dengan sengaja” dilangkahi. Ini dibuktikan dengan lalainya partai politik menyerahkan rekening khusus dana kampanye.

Padahal, kepatuhan penyerahan rekening khusus dana kampanye menjadi persyaratan parpol menjadi peserta pemilu sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) huruf (i.) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif. Anehnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya mengang g a p sepi ini sebagai gejala kelalaian administratif semata. Tidak diserahkan rekening khusus memiliki dampak lanjutan yaitu buruknya kualitas pelaporan dana kampanye partai politik.

Dalam pelaporan dana awal kampanye partai politik tahap pertama pada akhir Desember 2013 dan tahap kedua pada awal Maret 2014 tidak ada satu pun partai politik yang melakukan pencatatan sumbangan dana kampanyenya secara tertib. Hanya beberapa partai politik (parpol) yang mencantumkan sumbangan perusahaan dan individu. Mayoritas parpol mencatatkan sumbangan lebih sebagai ”jasa” dari kandidat calon legislator di semua dapil.

Pencatatan semacam ini sudah jelas merupakan upaya untuk menghindar dari keharusan pencatatan melalui rekening khusus. Selain berharap terbebas dari pelacakan rekening oleh PPATK, partai politik juga dapat berlenggang kangkung untuk tidak mencantumkan identitas yang jelas.

Hal yang paling dikhawatirkan dari model pencatatan ini adalah tidak terlacaknya para cukong kampanye yang dapat ”membeli” para kandidat dengan dana kampanye mengikat. Publik juga sulit melacak masuknya dana haram kampanye karena kandidat tidak diwajibkan oleh undangundang pemilu untuk membuat laporan pencatatan dana kampanye juga untuk transparan kepada publik.

Penyaluran dana hibah dan bantuan sosial (bansos) oleh penguasa menjelang pemilu bukan lagi hal baru. Praktik ini telah tercium di banyak daerah yang melakukan pilkada. Bantuan sosial kerap menjadi ajang bancakan penguasa untuk merebut simpati pemilih dengan berkedok bantuan sosial. Hibah dan bansos adalah cara yang paling jitu karena didukung aturan pertanggungjawaban yang sangat lemah, terutama terkait kelayakan penerima sumbangan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah berulang memberikan peringatan tentang lemahnya pertanggungjawaban penyaluran hibah dan bansos. Penelusuran yang pernah dilakukan pada hibah/ bansos terkait Pilkada DKI, Kota Bandung, dan Jawa Barat misalkan membuktikan ada upaya sistemik dari penguasa untuk menyalurkan dana lewat yayasan atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mendukung salah satu pasangan calon kepala daerah yang berasal dari incumbent.

Kasus di DKI bahkan dana tersebut disalurkan lewat yayasan yang dimiliki keluarga atau ormas yang dibina penguasa. Kasus di Jawa Barat dana hibah dan bansos disalurkan lewat bank daerah dan alokasi belanja transfer ke setiap desa dengan nilai yang cukup signifikan. Data Nota Keuangan APBN 2014 menyebutkan belanja hibah dan bansos pada 2012- 2013 meningkat cukup signifikan.

Dari tujuh komponen belanja bantuan sosial, beberapa mengalami kenaikan signifikan seperti bantuan operasional sekolah menengah (BOSm) Rp8,9 triliun, Bantuan Siswa Miskin (BSM) dari Rp9,5 triliun menjadi Rp16,6 triliun, Jamkesmas Rp76,4 triliun menjadi Rp86,4 triliun, serta bantuan BLSM sebesar Rp9,3 triliun. Di dalam APBN 2014 nilai alokasi kenaikan ini tetap bertahan dengan sedikit peningkatan pada belanja hibah sebesar Rp1 triliun.

Postur anggaran APBD terkait hibah jauh berbeda dengan APBN. Hal yang paling mengancam adalah bagi-bagi alokasi proyek hibah dan bantuan sosial yang dapat didistribusikan oleh anggota DPR/ DPRD tanpa indikator capaian yang jelas. Ancaman korupsi pemilu sudah jelas di depan mata. Pemilih dituntut untuk lebih kritis menilai parpol dan kandidat mana yang berintegritas dan kampanye dengan cara-cara korup.

Penyelenggara juga diharapkan tidak bersembunyi di balik lemahnya sistem dan aturan tetapi bekerja untuk menegakan prinsip keadilan dan antikorupsi. Pertarungan kuasa ekonomi dan politik dalam pemilu adalah tantangan terbesar integritas dan independensi penyelenggara pemilu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar