Mau
Melayani
Rhenald Kasali ; Guru
Besar FEUI; Pendiri Rumah Perubahan
|
JAWA
POS, 30 Maret 2014
PEKAN
lalu saya menghadiri upacara pelantikan seorang pemimpin keagamaan. Upacaranya
megah. Ada seribuan undangan yang hadir. Pada puncak acara, di atas panggung,
tokoh agama tersebut menduduki kursi yang sudah dipersiapkan untuknya.
Kursi
itu sudah dihias dengan segala atribut. Sandaran dan tempat duduknya memakai
beludru merah. Pasti empuk dan nyaman untuk diduduki. Ketika tokoh agama
tersebut diantar oleh pendahulunya untuk menduduki kursinya, tepuk tangan
membahana dari segenap undangan yang hadir
Anda
tahu apa tugas utama tokoh yang baru saja dilantik dan diberi gelar dengan
sangat meriah itu? Melayani! Sekali lagi, tugas utamanya melayani. Jadi,
segala kemegahan itu kita berikan untuk seorang "pelayan" (kita
biasa menyebutnya sebagai "pemimpin").
Orang
yang melayani itu harus sigap, gesit, tanggap, cepat membaca sinyal, tidak
ada keragu-raguan, dan sudah pasti dia rendah hati dan tidak menunjukkan
tanda-tanda ketakutan.
Kontradiksi dan Paradoks
Hidup
kita memang penuh dengan kontradiksi dan paradoks. Kita memberikan kursi yang
nyaman untuk sang pelayan. Ini perangkap. Jika tidak hati-hati, sang pelayan
akan merasa dirinya sebagai penguasa. Alih-alih melayani, dia malah bisa
menjadi seorang yang selalu minta dilayani. Dan, kita pun terperangkap pula:
melayani secara berlebihan orang-orang yang seharusnya justru melayani kita.
Kita
bisa merasakan hal itu di kantor-kantor pemerintahan. Para pegawai
pemerintahan itu mestinya sadar bahwa mereka bekerja untuk kita. Sebab,
mereka digaji dari uang pajak yang kita bayar sehingga mereka bisa rapat di
hotel berbintang dan melakukan kunjungan kerja dengan pesawat terbang.
Tapi,
kita merasakan sendiri perilaku mereka jauh dari sosok yang siap melayani.
Jika pernah berhadapan dengan mereka, Anda pasti akrab dengan ungkapan ini: "Jika bisa diperlambat, mengapa harus
dipercepat".
Beruntung,
belakangan ini kita mulai bisa merasakan adanya perubahan di pemerintahan.
Ada Dahlan Iskan yang sigap dengan sepatu ketsnya mendatangi kantor-kantor
layanan BUMN dan mengajak aparatnya melayani dengan kesungguhan.
Di
Jakarta, kita bisa merasakan itu pada sosok Gubernur Joko Widodo dan
Wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama. Di Surabaya, Wali Kota Tri Rismaharini. Di
Kalimantan Timur, Gubernur Awang Faroek memimpin langsung transformasi di
jajaran pemerintahannya agar lebih sigap melayani masyarakatnya. Dan di
Denpasar, ada Wali Kota IB Rai Darmawijaya Mantra dan istrinya yang melayani
kaum papa dengan penuh kesungguhan.
Hal
serupa mestinya bisa kita rasakan juga di lingkungan korporasi. Seorang
general manager mesti melayani manajernya dan sebaliknya. Seorang manajer
mesti mau melayani supervisornya. Artinya segi tiga struktur kekuasaan dengan
CEO di posisi puncak seharusnya dibalik. CEO di bawah, customer paling atas.
Lalu, di atas CEO, ada GM dan supervisor serta pegawai ujung tombak. Itulah
makna yang terkandung dalam konsep servant
leadership yang kini banyak kembali dipakai di korporasi.
Sayangnya,
hal semacam itu kerap tidak terjadi. Maka, tak heran kalau di kantor kita
sering menemukan telepon di meja resepsionis berdering-dering meski di situ
banyak orang, tidak ada seorang pun yang tergerak untuk mengangkatnya.
Begitu
pula ketika di lantai ada sampah, tidak ada seorang pun yang mau memungutnya.
Semua menganggap itu urusan office boy
(OB) atau petugas cleaning service, bukan urusan saya. Saat Lebaran tiba,
yang ada hanya cacian terhadap petugas kebersihan yang ikut libur. Padahal,
itulah saatnya kita melayani mereka dengan mengucapkan terima kasih.
Padahal,
sejatinya kita semua mesti mau menjadi pelayan bagi sesama. Lantas, apa
jadinya kalau baru kampanye saja, calon presiden sudah dilayani secara
berlebihan? Bagi saya, ini kesalahan fatal demokrasi. Dan, kita semua sudah
mempraktikkannya bukan? Anda semua adalah pemimpin sekaligus pelayan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar