Mengubah
Nasib Satinah
Nur Khasanah ; Bekas TKW
di Abu Dhabi, Kini guru TK ABA Sodong, Kecamatan Wonotunggal, Kabupaten
Batang
|
SUARA
MERDEKA, 28 Maret 2014
"Kasus Satinah menjadi tantangan wakil rakyat
dan caleg, terutama sejauh mana pemikiran terhadap persoalan TKI"
UPAYA
pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan Satinah, TKW dari Mrunten Wetan Desa
Kalisidi Ungaran Barat Kabupaten Semarang makin diintensifkan. Sebelumnya,
Presiden SBY memanggil mantan Satgas TKI Maftuh Basyuni dan juru bicara
satgas, Humphrey Djemat guna membantu Kemenlu menyelesaikan kasus itu,
kendati masa kerja satgas sudah berakhir. (SM, 26/3/14).
Presiden
juga sudah menyurati Raja Saudi untuk kali kedua, meminta penundaan eksekusi,
dan menyatakan siap melanjutkan negosiasi dengan keluarga korban. di sisi
lain, kelompok masyarakat menggalang gerakan sosial, mengumpulkan uang, guna
membantu pemerintah membayar diyat yang diminta pemerintah Saudi. Termasuk
yang dilakukan duta antiperbudakan modern untuk 8 negara, Melanie Subono.
Sejumlah
persoalan mendasar muncul dari beberapa kasus TKI yang terancam hukuman
mati. Telah terjadi semacam pemerasan
terselubung oleh keluarga korban, dengan meminta tebusan dalam jumlah besar.
Jika untuk pembebasan Darsem, TKI asal Kampung Trungtum Desa Patimbang
Kabupaten Subang Jabar, mereka meminta ’’hanya’’ Rp 4 miliar, dan pemerintah
Indonesia memenuhinya, kini untuk Satinah mereka meminta diyat Rp 21 miliar.
Banyak pihak menilai ahli waris keluarga korban seolah-olah merasa berada di
atas angin dan bisa berbuat semaunya dalam menentukan besaran denda.
Andai
kecenderungan ini berlanjut, dikhawatirkan menjadi preseden buruk terhadap
penanganan kasus serupa, mengingat saat ini ada 280 TKI yang menunggu
pelaksanaan hukuman mati, 39 di antaranya di Saudi. Kita bisa membayangkan
kesulitan pemerintah bila Saudi selalu meminta diyat sebesar-besarnya, makin
hari makin naik, untuk membebaskan buruh migran kita dari hukuman pancung.
Penyumbang Devisa
Inilah
tantangan yang dihadapi pemerintah saat ini bagaimana melindungi buruh migran
dari hukuman mati. Pemerintah kita saat ini hanya mempunyai dua pilihan:
menebus dengan uang atau ’’membiarkan’’ mereka dipancung sebagai pembelajaran
bagi masyarakat. Jika menempuh pilihan pertama, konsekuensinya harus siap membayarkan
dana besar untuk membebaskan TKI dari hukuman mati. Andai pasrah dan memilih
jalan kedua, pemerintah dihujat karena tidak mampu melindungi TKI yang
notabene telah menyumbang devisa negara begitu besar.
Menurut
Deputi Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) Agustin Subiantoro, TKI yang
bekerja di berbagai negara Asia, Eropa, dan lainnya telah menghasilkan devisa
hingga Rp 100 triliun per tahun. Kontribusi cukup besar tersebut diperoleh
dari 4 juta TKI yang bekerja pada berbagai sektor di luar negeri seperti,
Jepang, Korea, Thailand, dan China, termasuk beberapa negara di Eropa. (Antaranews.com).
Pantaskah
pemerintah merasa keberatan membayar denda untuk membebaskan Satinah dan
terpidana lainnya? Diyat Rp 21 miliar tentunya belum seberapa dibanding
devisa sekitar Rp 100 triliun yang disumbangkan para TKI, dan sudah lama
berlangsung. Sekilas muncul kesan tidak adil bila pemerintah terlalu
’’memanjakan’’ para terpidana, sementara masih banyak rakyat Indonesia yang
perlu dibebaskan dari belenggu kemiskinan.
Langkah
Pemrov Jateng menggalang dana dari masyarakat rasanya patut diapresiasi
sebagai usaha menolong Satinah. Tidak ada seorang pun yang mampu mengubah
takdir kematian, tapi manusia wajib berusaha. Hasilnya nanti bisa menjadi
tolok ukur kepedulian masyarakat terhadap nasib TKI yang terancam hukuman
mati. Selain itu, kasus Satinah menjadi tantangan khusus bagi anggota dan
calon anggota legislatif, terutama sejauh mana gagasan dan pemikiran mereka
terhadap persoalan TKI ke depan. Namun pada tahun politik ini tampaknya
isu-isu seputar permasalahan TKI kurang mendapatkan perhatian. Padahal
bagaimanapun, buruh migran adalah bagian dari elemen rakyat yang semestinya juga mendapatkan perhatian
dari wakil rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar