Argumen
Golput
Azis Anwar Fachrudin ; Penulis
|
TEMPO.CO,
27 Maret 2014
Ada
sekurang-kurangnya tiga argumen kontra-golput (saya memaknai golput-golongan
putih-di sini dalam makna awam-simpel saja: tidak ikut nyoblos-pemilih pemula kini tak banyak tahu soal
sejarah istilah golput).
Pertama,
golput setelah tumbangnya Orde Baru tidak lagi relevan dan kontekstual. Dulu
relevan, karena golput, yang dikenalkan oleh Arief Budiman, ialah bentuk
suara protes terhadap pemilu rekayasa ala Orde Baru. Sekarang, setelah
terbuka lebarnya keran demokrasi, golput, menurut kaum kontra-golput, tak
lebih dari merupakan apatisme belaka. Golput di masa kini, menurut mereka,
adalah cermin ketaksadaran politik.
Menurut
saya, klaim itu oversimplifikatif. Orang memilih golput dengan berbagai
alasan, tapi kebanyakan darinya bersebab pada dua latar belakang: (1) tahu
betul kondisi politik kini dan setelah menimbang-nimbang memutuskan bahwa
golput adalah satu-satunya sikap yang mewakili aspirasi politiknya; atau (2)
tahu bahwa dia nyoblos atau tidak, tentu dengan kadar pengetahuannya, negara
tetaplah sama adanya; tak mempengaruhi kesejahteraan hidupnya.
Yang
pertama, alasan dari yang melek politik. Yang kedua, alasan dari yang agak
melek politik. Argumen dari yang kedua ini: politik, sebagai salah satu modus
bernegara, mestinya bisa mencapai tujuan negara: mensejahterakan rakyat.
Kalau sudah Reformasi tapi tetap "repotnasi",
apa gunanya nyoblos? Pertanyaan satir hanya olok-olokan memang, tapi
begitulah datangnya dari mereka yang agak melek politik.
Dan
kedua alasan itu tak bisa dikatakan apatis. Mereka berpikir,
mempertimbangkan, berangkat dari pengetahuan (dengan wawasan masing-masing),
dan karena itu masih peduli. Mereka peduli dengan cara lain: diam tentu tak
bisa serta-merta diartikan pengabaian.
Kedua,
yang kontra-golput biasanya bilang begini: "Kalau sampai pemerintahan nanti mengecewakan, jangan protes,
sebab kamu tidak ikut memilihnya!" Naif kiranya bila yang boleh
memprotes suatu parpol hanya yang memilih parpol tersebut. Apa kalau begitu
yang boleh memprotes partai penguasa saat ini hanya mereka yang dulu
memilihnya? Tentu tidak.
Golput
kini masih jadi alternatif sikap protes dan karena itu juga sikap politis.
Apatisme publik pada pemilu bukan karena publik tak sadar akan politik, tapi
juga karena politikus yang belum berhasil membuat publik tertarik merayakan
pemilu. Bagaimana tak aras-arasen nyoblos
kalau caleg-caleg "cabe-cabean"
masih juga diusung sebagian parpol hanya demi meraup suara?
Politikus
mesti sadar bahwa yang membuat para pejalan kaki di pasar tidak mau beli
bukan karena mereka abai, tapi karena dagangannya tidak menarik, atau bahkan
tidak berguna. Golput adalah suara protes agar dagangan partai (supply side) mengundang ketertarikan
publik (demand side).
Ketiga,
kaum kontra-golput sering bilang: bobroknya
negara bukan karena banyaknya penjahat, tapi diamnya orang-orang baik. Statement ini seolah-olah heroik, tapi
fondasi argumennya memiliki asumsi lemah: seolah-olah publik tak bisa lagi
bergerak di luar pemilu. Kaum golput tetap punya fungsi kontrol terhadap
pemerintah yang sama dengan mereka yang nanti, dengan segala pertimbangan dan
baik sangkanya, mau nyoblos pemilu. Jangan dilupakan, bagi beberapa orang,
menjadi golput telah melalui serangkaian ijtihad politik. Dan itu, sekali
lagi, bukan apatisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar