Lanjutkan
Semangat Bung Karno
Sabam Sirait ; Politikus
Senior
|
MEDIA
INDONESIA, 29 Maret 2014
“Untuk
mewujudkan gagasannya tersebut, Bung Karno pun memerintahkan untuk membangun
monumen, landmark, patung-patung dalam ukuran raksasa di seantero Kota
Jakarta.”
MUNGKIN tak banyak orang yang
tahu bahwa Bung Karno, selaku Presiden RI, pernah berniat memindahkan ibu
kota negara dari Jakarta. Pilihannya jatuh ke Kota Palangkaraya, ibu kota
Provinsi Kalimantan Tengah. Niat itu tak sekadar diucapkan, tapi sudah dalam
bentuk desain tata kota. Bahkan, pada 17 Juli 1957, Bung Karno meresmikan
tiang pancang pembangunan di tengah Kota Palangkaraya.
Mengapa Palangkaraya? Ada
beberapa pertimbangan Bung Karno. Pertama, Kalimantan ialah pulau terbesar di
Indonesia dan letaknya di tengah-tengah gugus pulau Indonesia. Kedua
menghilangkan sentralistis Jawa. Selain itu, pembangunan di Jakarta dan Jawa
ialah konsep peninggalan Belanda. Bung Karno ingin membangun sebuah ibu kota
dengan konsepnya sendiri. Bukan peninggalan penjajah, melainkan sesuatu yang
orisinal. “Jadikanlah Kota Palangkaraya
sebagai modal dan model,“ kata Bung Karno saat pertama kali menancapkan
tonggak pembangunan Kota Palangkaraya.
Untuk mewujudkan gagasannya itu,
Bung Karno mendesain sendiri konsep tata ruang Palangkaraya sebagai ibu kota
negara. Sejumlah insinyur dari Uni Soviet pun didatangkan untuk membangun
jalan raya di lahan gambut. Pembangunan itu berjalan dengan baik selama dua
tahun (1957-1959). Namun, seiring dengan terpuruknya perekonomian Indonesia
di awal 1960-an, pembangunan Palangkaraya terhambat. Puncaknya pasca1965,
Bung Karno dilengserkan. Presiden Soeharto tak ingin melanjutkan rencana
pemindahan ibu kota ke Kalimantan. Jawa pun kembali jadi sentral semua segi
kehidupan.
Terus berjalan
Meski Bung Karno terhambat
memindahkan ibu kota, bukan berarti ambisi dan visi Bung Karno tentang sebuah
ibu kota negara Republik Indonesia yang `sejajar dengan ibu kota
negara-negara lain' terhenti. Visi itulah yang kemudian mewarnai Kota
Jakarta.
Sebagai seorang arsitek lulusan Technicshe School Bandung (kemudian
menjadi ITB), Bung Karno meyakini bahwa arsitektur dapat digunakan untuk
mencapai tujuan `revolusi Indonesia'--yang ia nyatakan sebagai peristiwa
terbesar dalam sejarah, karena Indonesia akan memimpin dunia dalam
pertarungan melawan imperialisme.
Gagasan Bung Karno itu kemudian
berkembang dengan menggalang negara-negara dunia ketiga, yang disebutnya sebagai
New Emerging Forces (Nefos), yaitu
bangsa-bangsa progresif yang melawan kekuatan imperialis lama (Oldefos). Dalam
kaitan ini, visi Bung Karno tentang Jakarta ialah sebagai `mercusuar', kota
yang akan menjadi personifikasi semangat baru.
Saat berpidato dalam rangka
ulang tahun Kota Jakarta pada 1962, Bung Karno menyerukan, “Marilah saudara-saudara, kita bangun Kota
Jakarta dengan cara semegah-megahnya....Megah, bukan saja ia punya
monumen-monumen indah; megah dalam segala arti, sampai di dalam rumah-rumah
kecil daripada marhaen di Kota Jakarta harus ada rasa kemegahan. ...Berikan
Jakarta satu tempat yang hebat di dalam kalbu rakyat Indonesia sendiri sebab
Jakarta adalah milik daripada orang-orang Jakarta. Jakarta adalah milik
daripada seluruh bangsa Indonesia. Jakarta jadi mercusuar daripada perjuangan
seluruh umat manusia. Ya, the New Emerging Forces.“
Untuk mewujudkan gagasannya
tersebut, Bung Karno pun memerintahkan untuk membangun monumen, landmark,
patung-patung dalam ukuran raksasa di seantero Kota Jakarta. Maka,
dibangunlah Monumen Nasional (Monas), Gelanggang Olahraga (Gelora) Senayan,
Jembatan Semanggi, Pusat Perbelanjaan Sarinah, dan sejumlah patung raksasa
yang hingga saat ini menjadi kebanggaan warga Jakarta.
Gagasan besar
Sebagai warga Jakarta sejak
1955, saya menyaksikan kemegahan tersebut dan merasakan kebanggaan. Beberapa
kali saya berkesempatan menyaksikan secara langsung Bung Karno berpidato di
Gelora Senayan. Stadion olahraga yang saat itu merupakan yang terbesar di
kawasan Asia ialah tempat yang pas untuk menggaungkan gagasan-gagasan besar
Bung Karno tidak saja ke penjuru Tanah Air, tapi juga ke seantero dunia.
Sekarang pun, kalau melewati monumen, patung, atau bangunan `warisan' Bung
Karno itu, saya masih tergetar dengan semangat dan visi Bung Karno membangun
Jakarta.
Dalam sejumlah
kesempatan berbincang dengan Gubernur DKI Jakarta Jokowi, juga dengan Wakil
Gubernur Basuki Tjahja Purnama alias Ahok, saya menangkap semangat yang sama
dengan yang pernah dimiliki Bung Karno: menyejajarkan Jakarta, ibu kota
negara Republik Indonesia, dengan ibu kota negara-negara besar di dunia.
Berbagai pembenahan yang dilakukan Jokowi-Ahok, selama dua tahun kepemimpinan
mereka, saya kira cukup berdampak positif bagi warga Jakarta.
Memang sejumlah masalah kronis
Jakarta--seperti kemacetan lalu lintas dan banjir--belum bisa diatasi dengan
memuaskan. Namun, bagaimanapun, masalah perkotaan yang sudah kronis seperti
itu membutuhkan waktu yang tidak singkat. Pembenahan yang dilakukan baru akan
terasa bertahun-tahun kemudian, mungkin setelah Jokowi-Ahok tak memimpin
Jakarta lagi.
Saya sering mengatakan kepada
Jokowi-Ahok bahwa langkah dan kebijakan yang mereka tempuh sudah betul. Bahwa
muncul berbagai kritik atau kecaman terhadap kebijakan mereka, itu hal biasa
saja. Menjadi seorang pemimpin, apalagi untuk kota sebesar dan sekompleks
Jakarta, memang tak bisa memuaskan semua pihak.
Hal yang sama juga dialami Bung
Karno dan Ali Sadikin ketika memimpin dan membangun Jakarta. Namun, kini
terbukti bahwa kebijakan merekalah yang benar. Jadi, kepada Jokowi-Ahok saya
serukan, “Maju terus membangun Jakarta
baru. Lanjutkan visi dan semangat Bung Karno.“ ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar