Disorientasi
Partai Politik
Wiliam Chang ; Pengampu
Kuliah Etika Sosial STIE Widya Dharma, Pontianak
|
KOMPAS,
28 Maret 2014
POTRET
parlementer negara kita kian buram. Gara-gara sejumput duit, status yuridis
puluhan wakil rakyat berubah menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan.
Padahal, tak sedikit duit yang sudah dialokasikan buat gelanggang parlemen.
Disorientasi partai politik atau krisis identitas ”wakil rakyat”?
Krisis
jati diri anggota parlemen di Jakarta, Papua, Padang, dan daerah lainnya
melahirkan disorientasi seluruh sistem perwakilan rakyat. Gaya hidup aji
mumpung memintal mental profitisasi kursi parlementer yang menyedot uang
semir, siluman, THR, dan komisi dari individu/instansi terkait DPR(D). Tentu
keadaan ini menyemarakkan gawai korupsi di kalangan anggota parlemen, pejabat
pemerintah, dan penentu kebijakan.
Sebenarnya
sudah lama tercium bau tak sedap di kalangan anggota parlemen yang tergiur
fee proyek, penentuan jabatan-jabatan strategis, dan pemberian izin-izin
khusus. Hanya saja sebagian anggota parlemen menutup sebelah mata dan
berusaha meredam bau bangkai ini. Namun, kebocoran cerobong migas di
Gelanggang Gelora Senayan tak terbendungkan. Dalam suasana disorientatif ini,
di manakah suara dan kepentingan rakyat ditempatkan? Apakah hanya kepentingan
individual dan parpol yang diperjuangkan anggota parlemen?
Lambang parpol
Tampaknya
gejala ”skizofren” sedang menyerang sejumlah anggota parlemen. Di satu sisi,
mereka adalah pribadi yang memiliki suara dan kepentingan individual. Namun,
di sisi lain mereka adalah ”wakil rakyat” yang bernaung di bawah parpol.
Bagaimana mereka seharusnya menempatkan diri dalam keadaan dilematis ini?
Apakah mereka lebih memprioritaskan kepentingan parpol di atas
suara/kepentingan rakyat dan pribadi? Tanpa skala prioritas yang proporsional
akan timbul disorientasi sistem perwakilan bangsa kita.
Hampir
semua anggota parlemen mengenakan pralambang parpol sebagai kendaraan menuju
kursi parlementer. Masalahnya, benarkah visi dan misi setiap parpol de facto
mendahulukan kepentingan rakyat? Atau sesama parpol berkolusi menyelamatkan
diri dari jeratan hukum atas diri pelanggar hukum dengan menyalahgunakan
wewenang, korupsi, dan permainan politik kelas tinggi?
Sejumlah
(anggota) parpol tampaknya bersikeras memandulkan kekuatan sanksi hukum
positif melalui RUU KUHAP yang akan mereka sahkan. Pada- hal, MA, Polri, BNN,
PPATK, dan rakyat Indonesia berkeberatan mengesahkan RUU KUHAP.
Sekarang
rakyat bisa melihat dengan mata hati selebar-lebarnya untuk mengevaluasi
orientasi setiap parpol di Tanah Air. Apakah setiap parpol sungguh memihak
dan memperjuangkan kepentingan rakyat? Apakah parpol itu diwakili oleh
anggota-anggotanya yang korup dalam badan perwakilan rakyat? Masih akankah
kita memilih anggota parpol yang bolos rapat, memikirkan kepentingan
individual, dan tidak membawa perbaikan berarti dalam lembaga perwakilan
rakyat?
Sebagai
makhluk paradoksal, setiap pemilih memiliki akal sehat (rasionalitas) dan
perasaan manusiawi. Dalam konteks pemilihan politik, terjadi persaingan
dominasi rasional dan perasaan? Dimensi rasional atau perasaan yang akan
lebih diprioritaskan? Tinjauan metafisis mengingatkan bahwa perasaan pada
hakikatnya tidak dapat diperdebatkan (de gustibus non disputandum est).
Sementara itu, rasionalitas mengandung butir-butir pemikiran yang benar dan
baik. Dengan sendirinya, yang sebaiknya diprioritaskan adalah peran
rasionalitas ketimbang perasaan sesaat dalam pemilihan wakil rakyat atau
presiden.
Radar suara rakyat
Secara
konstitusional keberadaan parpol mengungkapkan kesetiakawanan diri dan
keterlibatan aktif dalam peningkatan keadilan dan kesejahteraan di kalangan
rakyat jelata. Dalam ajang perpolitikan, parpol berperan sebagai radar yang
menangkap, menyergap, serta mengerti aspirasi dan tuntutan rakyat. Seharusnya
setiap parpol memiliki kuping yang panjang, tajam, dan bijaksana menelaah
suara rakyat berlalu tanpa bekas.
Menurut
Gino Concetti dalam I partiti politici e l’ordine morale (1981), setiap
parpol perlu mengingat enam peran utama dalam hidup berpolitik.
Pertama,
setiap parpol seharusnya menjadi ekspresi dan artikulasi kepentingan rakyat
melalui sistem kepartaian. Dalam konteks ini parpol tampil sebagai
pengantara.
Kedua,
parpol mentransformasi bahan baku politik menjadi kebijakan dan keputusan
dalam memajukan kepentingan umum.
Ketiga,
melalui proses partisipasi, parpol seharusnya mengintegrasikan individu ke
dalam suatu sistem politik.
Keempat,
parpol berusaha mengajukan usul-usul kebijakan supaya mendapat dukungan
seluas mungkin. Parpol berani menjatuhkan sanksi bagi anggota yang tidak
loyal dengan visi-misi parpol.
Kelima,
setiap parpol memiliki sistem kontrol internal dan terhadap pemerintah dalam
kegiatan harian.
Keenam,
parpol tidak hanya memobilisasi dan memerintah, tetapi juga harus menciptakan
kondisi-kondisi bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan rakyat.
Benarkah
semua mesin parpol di Tanah Air telah memerankan lakon utama tersebut atau
parpol-parpol di Tanah Air lebih sibuk memikirkan kekuatan finansial internal
parpol? Sudahkah legitimasi etis diterapkan dengan konsisten dalam tubuh
parpol? Opini dan sepak terjang anggota parpol mencerminkan orientasi sebuah
parpol dalam mengurus masalah-masalah bangsa.
Pemilihan
anggota legislatif dan presiden/wakil presiden mendatang sebaiknya tidak
dipengaruhi oleh merdunya lagu- lagu dan slogan-slogan kampanye bernada
politik. Setiap pemilih yang kritis tentu menggunakan akal sehat, ketelitian,
dan kebijaksanaan dalam menjatuhkan suara.
Yang
jelas, perlu diwaspadai pasar perdagangan suara pemilih dengan bujuk rayu dan
deretan janji politik yang menggiurkan. Sudah waktunya parpol yang
disorientatif ditinggalkan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar