Senin, 31 Maret 2014

Menimbang Popularitas Jokowi

Menimbang Popularitas Jokowi

Nazil Muhsinin  ;   Direktur The Cibinong Center
REPUBLIKA, 27 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Sebagaimana yang diberitakan media baru-baru ini, akhirnya PDIP lewat Megawati memberikan mandat kepada Jokowi untuk maju sebagai calon presiden, setelah sejumlah survei berkali-kali membeberkan popularitasnya di atas sejumlah tokoh lain yang disinyalir bakal menjadi calon presiden. Harus diakui, popularitas Jokowi menjadi dominan karena rakyat Indonesia sudah lama merindukan pemimpin yang bersahaja.

Kerinduan rakyat tersebut akibat perilaku para pemimpin (nasional maupun daerah) yang cenderung tidak bersahaja, bahkan sangat masif menjaga jarak dengan rakyat, kecuali pada saat-saat tertentu saja seperti masa kampanye.

Lebih konkretnya, jajaran pemimpin nasional dan pemimpin daerah selama ini cenderung meninggalkan rakyat setelah memperoleh kekuasaan yang diberikan oleh rakyat. Bahkan, dalam banyak kasus, banyak rakyat kecil yang sering dikorbankan oleh pemimpinnya atas nama pembangunan. Misalnya, di banyak daerah, fenomena penggusuran terhadap rakyat kecil menjadi berita sehari-hari.

Hal ini tentu menimbulkan kesan bahwa rakyat ditindas oleh pemimpin yang dipilihnya. Pada titik inilah, rakyat semakin rindu munculnya pemimpin bersahaja yang bersedia memihak rakyat kecil sebagaimana yang diperlihatkan Jokowi sejak di Solo hingga di Jakarta.

Oase popularitas

Jokowi, di mata rakyat, bisa jadi merupakan oase yang mampu menghapus rasa rindu terhadap pemimpin yang sejuk dan nyaman dipandang. Ibarat sebatang pohon rindang di tengah padang pasir yang panas, oase itu akan menjadi pusat perhatian rakyat untuk berduyun-duyun ingin merasakan suasana sejuk dan nyaman. Bagi sejumlah pihak, oase yang tersirat dalam popularitas Jokowi boleh saja dianggap sekadar fatamorgana atau sekadar pencitraan. Namun, anggapan demikian akan mudah dipatahkan manakala faktanya perilaku politik Jokowi tetap konsisten dalam kebersahajaan. Dan, sebagaimana oase, popularitas Jokowi bisa dianggap tak akan mampu memuaskan semua pihak atau hanya sekadar menciptakan kesejukan sesaat dan terbatas.

Namun, oase tetaplah akan sangat menarik perhatian banyak orang pada situasi dan kondisi yang makin tidak nyaman akibat perilaku para pemimpin yang tidak bersahaja. Adegan-adegan kecil bisa menjadi bukti betapa popularitas Jokowi betul-betul menjadi oase bagi rakyat kecil. Misalnya, setiap kali Jokowi blusukan, rakyat yang sempat berjabatan tangan dengannya pasti akan memperilihatkan mimik bahagia (wajah sangat cerah ceria). Adegan tersebut harus bermakna politis yang tak layak diremehkan oleh setiap pemimpin dan calon pemimpin yang ingin dicintai dan dihormati oleh rakyat. Lebih gamblangnya, bagi rakyat kecil, meskipun tidak diberi sesuatu yang dibutuhkannya (sembako misalnya) tapi jika bisa bertemu dengan pemimpin yang bersahaja sudah cukup menyenangkan. Rakyat akan merasa diperhatikan oleh pemimpinnya.

Meniru

Begitulah, popularitas Jokowi selayaknya dipahami oleh pemimpin lain, untuk kemudian menirunya, seperti yang telah dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan bukti mencoba sesekali blusukan mendekati rakyat.

Terkait agenda Pemilu 2014 nanti, rakyat Indonesia tampaknya akan segera melihat banyak pemimpin dan calon pemimpin yang akan meniru Jokowi, yakni memperlihatkan perilaku bersahaja kepada rakyat. Namun, rakyat pasti akan tahu siapa pemimpin dan calon pemimpin yang sekadar meniru Jokowi untuk pencitraan politik dalam rangka kampanye. Pada titik ini, pemimpin dan calon pemimpin yang meniru Jokowi bisa jadi tidak akan menarik simpati rakyat, jika sebelumnya berperilaku tidak bersahaja, misalnya suka pamer kemewahan.

Lebih gamblangnya, pemimpin dan calon pemimpin akan sia-sia meniru Jokowi jika pada saat blusukan mendekati rakyat justru dengan mengendarai mobil mewah dalam seremonial atau protokoler yang serbawah, karena hal itu justru bisa membuat rakyat bersikap sinis dan bahkan antipati. Selain itu, nasib peniru di ranah apa pun memang cenderung lebih rendah dibanding yang ditiru. Kalau misalnya ada tiruan yang dianggap sama berharganya dengan yang asli, biasanya karena yang tiruan memiliki kualitas yang lebih baik.

Oleh karena itu, pemimpin dan calon pemimpin yang hendak meniru Jokowi agar memiliki popularitas yang hebat, harus mampu menunjukkan kualitas dirinya dengan dibungkus perilaku bersahaja kepada rakyat, agar rakyat tertarik dan kemudian berharap akan memiliki pemimpin baru yang lebih baik dibanding Jokowi. Dengan kata lain, pesona Jokowi yang sekarang sedang moncer bukan tidak mungkin dikalahkan oleh calon pemimpin yang memiliki kualitas kepribadian yang lebih cerdas dan bersahaja yang secara masif dibuktikan kepada rakyat sehingga tidak muncul kesan sekadar pencitraan atau sedang kampanye belaka. Selebihnya, rakyat sekarang sudah cerdas dan mampu membedakan mana emas mana loyang.
Jadi, jangan berharap dianggap emas jika faktanya hanya loyang yang disepuh warna keemasan yang pasti akan mudah luntur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar