Menimbang
Popularitas Jokowi
Nazil Muhsinin ; Direktur
The Cibinong Center
|
REPUBLIKA,
27 Maret 2014
Sebagaimana yang diberitakan
media baru-baru ini, akhirnya PDIP lewat Megawati memberikan mandat kepada
Jokowi untuk maju sebagai calon presiden, setelah sejumlah survei
berkali-kali membeberkan popularitasnya di atas sejumlah tokoh lain yang
disinyalir bakal menjadi calon presiden. Harus diakui, popularitas Jokowi
menjadi dominan karena rakyat Indonesia sudah lama merindukan pemimpin yang
bersahaja.
Kerinduan rakyat tersebut akibat
perilaku para pemimpin (nasional maupun daerah) yang cenderung tidak
bersahaja, bahkan sangat masif menjaga jarak dengan rakyat, kecuali pada saat-saat
tertentu saja seperti masa kampanye.
Lebih konkretnya, jajaran
pemimpin nasional dan pemimpin daerah selama ini cenderung meninggalkan
rakyat setelah memperoleh kekuasaan yang diberikan oleh rakyat. Bahkan, dalam
banyak kasus, banyak rakyat kecil yang sering dikorbankan oleh pemimpinnya
atas nama pembangunan. Misalnya, di banyak daerah, fenomena penggusuran
terhadap rakyat kecil menjadi berita sehari-hari.
Hal ini tentu menimbulkan kesan
bahwa rakyat ditindas oleh pemimpin yang dipilihnya. Pada titik inilah,
rakyat semakin rindu munculnya pemimpin bersahaja yang bersedia memihak
rakyat kecil sebagaimana yang diperlihatkan Jokowi sejak di Solo hingga di
Jakarta.
Oase popularitas
Jokowi, di mata rakyat, bisa
jadi merupakan oase yang mampu menghapus rasa rindu terhadap pemimpin yang sejuk
dan nyaman dipandang. Ibarat sebatang pohon rindang di tengah padang pasir
yang panas, oase itu akan menjadi pusat perhatian rakyat untuk berduyun-duyun
ingin merasakan suasana sejuk dan nyaman. Bagi sejumlah pihak, oase yang
tersirat dalam popularitas Jokowi boleh saja dianggap sekadar fatamorgana
atau sekadar pencitraan. Namun, anggapan demikian akan mudah dipatahkan
manakala faktanya perilaku politik Jokowi tetap konsisten dalam kebersahajaan.
Dan, sebagaimana oase, popularitas Jokowi bisa dianggap tak akan mampu
memuaskan semua pihak atau hanya sekadar menciptakan kesejukan sesaat dan
terbatas.
Namun, oase tetaplah akan sangat
menarik perhatian banyak orang pada situasi dan kondisi yang makin tidak
nyaman akibat perilaku para pemimpin yang tidak bersahaja. Adegan-adegan
kecil bisa menjadi bukti betapa popularitas Jokowi betul-betul menjadi oase
bagi rakyat kecil. Misalnya, setiap kali Jokowi blusukan, rakyat yang sempat
berjabatan tangan dengannya pasti akan memperilihatkan mimik bahagia (wajah
sangat cerah ceria). Adegan tersebut harus bermakna politis yang tak layak diremehkan
oleh setiap pemimpin dan calon pemimpin yang ingin dicintai dan dihormati
oleh rakyat. Lebih gamblangnya, bagi rakyat kecil, meskipun tidak diberi
sesuatu yang dibutuhkannya (sembako misalnya) tapi jika bisa bertemu dengan
pemimpin yang bersahaja sudah cukup menyenangkan. Rakyat akan merasa
diperhatikan oleh pemimpinnya.
Meniru
Begitulah, popularitas Jokowi
selayaknya dipahami oleh pemimpin lain, untuk kemudian menirunya, seperti
yang telah dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan bukti mencoba
sesekali blusukan mendekati rakyat.
Terkait agenda Pemilu 2014
nanti, rakyat Indonesia tampaknya akan segera melihat banyak pemimpin dan calon
pemimpin yang akan meniru Jokowi, yakni memperlihatkan perilaku bersahaja
kepada rakyat. Namun, rakyat pasti akan tahu siapa pemimpin dan calon
pemimpin yang sekadar meniru Jokowi untuk pencitraan politik dalam rangka
kampanye. Pada titik ini, pemimpin dan calon pemimpin yang meniru Jokowi bisa
jadi tidak akan menarik simpati rakyat, jika sebelumnya berperilaku tidak
bersahaja, misalnya suka pamer kemewahan.
Lebih gamblangnya, pemimpin dan
calon pemimpin akan sia-sia meniru Jokowi jika pada saat blusukan mendekati
rakyat justru dengan mengendarai mobil mewah dalam seremonial atau protokoler
yang serbawah, karena hal itu justru bisa membuat rakyat bersikap sinis dan
bahkan antipati. Selain itu, nasib peniru di ranah apa pun memang cenderung
lebih rendah dibanding yang ditiru. Kalau misalnya ada tiruan yang dianggap
sama berharganya dengan yang asli, biasanya karena yang tiruan memiliki
kualitas yang lebih baik.
Oleh karena itu, pemimpin dan
calon pemimpin yang hendak meniru Jokowi agar memiliki popularitas yang
hebat, harus mampu menunjukkan kualitas dirinya dengan dibungkus perilaku
bersahaja kepada rakyat, agar rakyat tertarik dan kemudian berharap akan memiliki
pemimpin baru yang lebih baik dibanding Jokowi. Dengan kata lain, pesona
Jokowi yang sekarang sedang moncer
bukan tidak mungkin dikalahkan oleh calon pemimpin yang memiliki kualitas
kepribadian yang lebih cerdas dan bersahaja yang secara masif dibuktikan
kepada rakyat sehingga tidak muncul kesan sekadar pencitraan atau sedang
kampanye belaka. Selebihnya, rakyat sekarang sudah cerdas dan mampu
membedakan mana emas mana loyang.
Jadi, jangan berharap dianggap
emas jika faktanya hanya loyang yang disepuh warna keemasan yang pasti akan
mudah luntur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar