Media
Sosial dalam Kampanye Politik
Toto Sugiarto ; Peneliti
Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
|
KOMPAS,
29 Maret 2014
METODE
kampanye konvensional seperti pengerahan massa untuk rapat umum mulai terasa
hampa. Di balik keramaian massa dengan berbagai atribut, terasa sepi makna. Keramaian
ide, gagasan, dan visi-misi terasa mulai berpindah ke ruang-ruang maya.
Diskusi, perdebatan, bahkan saling tuduh secara frontal begitu bebas terjadi
di berbagai media sosial.
Untuk
kalangan yang relatif terdidik, kampanye menggunakan media sosial lebih
efektif ketimbang baliho dan spanduk. Orang yang relatif terdidik dan well inform
ini tidak akan percaya isi baliho atau spanduk, tapi lebih percaya pada
perkataan teman atau koleganya di media sosial.
Di sini
dapat dikatakan bahwa setiap orang dapat berpengaruh bagi orang lain. Maka,
secara berseloroh, di media sosial tidak lagi berlaku one man one vote, tetapi satu orang bisa memiliki kekuatan setara
puluhan, ratusan, atau ribuan lebih orang.
Inilah
kelebihan media sosial: efektif sebagai sarana pertukaran ide. Penyebaran
berbagai ide, termasuk isi kampanye via media sosial, berlangsung amat cepat
dan hampir tanpa batas. Di Twitter, misalnya, hanya dengan men-twit,
informasi tersebar luas ke seluruh follower,
begitu seterusnya dengan cara kerja seperti multi-level marketing.
Efektivitas
media sosial tidak hanya karena jumlah penggunanya yang masif. Karakteristik
media sosial sendiri juga merupakan
kekuatan. Media sosial adalah sarana untuk komunikasi di mana setiap
individu saling memengaruhi. Setiap orang memiliki pengaruh ke sekelilingnya.
Tidak instan
Selain
itu, pengguna media sosial yang well inform dan terdidik ini tidak mudah
dibohongi, tapi mudah terpengaruh dan simpati pada hal-hal yang membuat
mereka tersentuh. Ketenaran dan kekuatan politik yang sekarang menempel pada
Jokowi, misalnya, disumbang besar oleh perbincangan di media sosial yang
mengarah pada kekaguman setiap orang pada keotentikan dan keseriusan Jokowi
selama ini dalam mengurus rakyat.
Di dalam
ruang media sosial hanya informasi yang sesuai fakta yang berharga. Untuk
mencapai keyakinan bahwa informasi itu sesuai fakta, sering kali muncul
perdebatan. Dalam berbagai hal yang menarik perhatian publik terjadi tesis
yang dilawan oleh argumen antitesis. Keajaiban sering kali muncul di media
sosial berupa tercapainya sintesis. Tidak perlu ada seseorang yang
menyimpulkan, tapi dari perdebatan tersebut sering kali muncul ”kesepakatan
sunyi” di antara pihak-pihak yang berdebat beserta para ”pendengarnya”.
Inilah
sintesis tersebut. Proses seperti ini berjalan dalam rentang waktu yang cukup
panjang.
Karena
sifatnya yang memiliki rentang waktu panjang, media sosial tidak memiliki
pengaruh signifikan untuk kampanye yang sifatnya mobilisasi. Kerja-kerja di
media sosial bergerak perlahan dengan membincangkan visi, misi, ide,
ideologi. Pengguna media sosial bukan orang yang bisa digiring, tapi bergerak
dengan kemauan dan kesadaran sendiri.
Media
sosial hanya berpengaruh signifikan bagi politikus yang bekerja sepanjang
waktu. Bukan pekerjaan instan lima tahun sekali. Mereka yang intens
menyebarkan ide-ide dan berdiskusi dalam bidang tertentu secara mendalam
sepanjang waktu akan mendapat hasilnya saat pemilu.
Media
sosial tidak cocok untuk politisi ”kosong”, tapi hanya bagi mereka yang punya
kemampuan berpikir dan berdialektika. Media sosial juga tak cocok bagi yang
egois, melainkan bagi mereka yang memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap berbagai
masalah yang dihadapi masyarakat. Hanya politisi yang memiliki simpati dan
empati terhadap permasalahan rakyat yang akan menuai simpati dan empati
publik.
Sifat
kampanye di media sosial bisa merupakan kebalikan dari kampanye di dunia
nyata. Jika di dunia nyata kampanye begitu berisik, keras suaranya tapi tanpa
bukti nyata, di media sosial adalah antitesis dari berisik dan bising
tersebut, yaitu bermakna. Setiap suara punya arti, memiliki pembuktiannya
sendiri-sendiri.
Politik
di media sosial bisa merupakan politik sejati, yaitu politik yang benar-benar
berisi ide-ide dan aksi nyata untuk kebaikan umum. Inilah politik yang
memiliki daya dobrak. Berbagai isu sosial yang menjadi beban masyarakat
sering kali mendapatkan solusinya di media sosial.
Penyeimbang
Di sisi
lain perlu ada regulasi yang jelas dan komprehensif. Kecurangan dan
pelanggaran amat mungkin terjadi saat regulasi yang ada memiliki banyak
celah. Amat mungkin terjadi kampanye di media sosial saat masa tenang dan
pungut-hitung. Permenkominfo No 14/2014 tentang Kampanye Pemilu melalui
Penggunaan Jasa Telekomunikasi perlu disosialisasikan dan diperkuat dengan
peraturan KPU dan peraturan Bawaslu.
Potensi
pelanggaran lainnya terkait kejelasan aktor dan materi kampanye. Perlu ada
aturan yang jelas untuk mencegah kampanye yang bersifat fitnah, terutama oleh
akun-akun anonim.
Sebagai
catatan, media sosial dapat jadi solusi meminimalkan ketidakadilan. Media
sosial dapat jadi penyeimbang media siaran televisi yang sekarang tak lagi
mampu mempertahankan independensi dan keadilannya. Televisi dimiliki
pengusaha yang sekarang masuk berbagai partai. Kondisi ini menyebabkan media
televisi tersebut menjadi corong partai politik sang pemilik. Di sinilah
urgensi media sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar