Malakama
Presiden Baru
Garin Nugroho ; Sutradara
Film, Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
|
KOMPAS,
30 Maret 2014
Berdiskusi
dengan para ahli ketahanan energi membawa saya pada sebuah kenyataan bahwa
presiden Indonesia pasca 2014 akan menghadapi periode sangat rentan, jika
presiden terpilih tak cukup berkualitas, maka Indonesia pasca 2018 dalam
situasi yang disebut ”terjun bebas”. Alias, krisis besar berbasis energi,
pangan, dan hilangnya produktivitas berbangsa bahkan akan mampu menyulut
kerusuhan sosial.
Salah
satu aspek yang harus dicermati adalah ketahanan energi dan pangan.
Perspektif pertama, produksi minyak sesungguhnya mengalami pelemahan sejak
tahun 1995, meski akan mengalami kenaikan periode 2014-2018, namun berjangka
pendek, sementara pasca 2018 Indonesia hanya mengolah sisa-sisa kecil.
Perspektif
ke dua, pasca 2018 kebutuhan minyak dalam negeri bertumbuh tiga kali lipat
dalam perbandingannya dengan kemampuan produksinya, ditambah lagi konsumsi
yang terus meningkat serta beban subsidi, yang jika dikurangi menjadi
kebijakan yang tidak populer. Perspektif ke tiga, kewajiban membayar utang
yang jika ditunda melahirkan penumpukan masalah. Perspektif ke empat, belum
adanya strategi membangun ketahanan energi alias cadangan energi bagi anak
cucu, lebih cenderung energi dipergunakan untuk stabilitas ekonomi dalam
rentang waktu pengambil kebijakan berkuasa. Sebagai contoh, Indonesia
mengekspor batubara dalam jumlah besar ke Tiongkok, padahal Tiongkok adalah
salah satu negara dengan strategi cadangan energi terbesar di dunia.
Kelima,
menjadi kenyataan politik, bahwa presiden beserta kabinet hingga DPR dari
periode ke periode sebelum 2014, menjalankan kebijakan politik populer di
mata masyarakat, yang mengacu pada kestabilan dan pertumbuhan ekonomi seumur
periode berkuasanya. Sebutlah aspek ketahanan pangan, pasca reformasi terbaca
39 jenis hasil bumi diimpor (beras, garam, kedelai, dsb). Akibatnya, dampak
besar melemahnya produktivitas pangan lokal akan dibebankan kepada presiden
baru pasca 2014.
Oleh
karena itu, presiden pasca 2014 akan memegang bola api panas berbagai
persoalan energi dan pangan serta produktivitas lokal. Bisa diduga, presiden
pasca 2014 layaknya makan buah malakama, di satu sisi wajib menjalankan
kebijakan politik tidak populer, namun penting bagi beragam ketahanan energi,
pangan hingga tenaga kerja. Di sisi lain, masyarakat Indonesia sedang dalam
euforia kepemimpinan dengan jejak kerja populer yang langsung dirasakan
rakyat.
Membaca
situasi malakama di atas, maka presiden dan para menteri pasca 2014
dihadapkan pada tantangan melahirkan strategi panduan komunikasi berbangsa
untuk mentransformasi masyarakat dalam dua perspektif keutamaan. Pertama,
keutamaan warga melihat realitas daya hidup bangsa secara rasional disertai
laku prihatin berbangsa. Kedua, memandu warga memahami serta berpartisipasi
dalam garis besar haluan negara sebagai sebuah proses bukan hasil jadi.
Celakanya,
tantangan transformasi di atas menghadapi kenyataan bahwa pasca reformasi
tumbuh lebih sebagai perlombaan industri komunikasi sebagai komoditas semata,
berbasis konsumerisme kecanggihan teknologi serta rating yang bertumpu lomba
pameran perhatian.
Pada
akhirnya, ranah komunikasi publik dipenuhi konsumerisme komunikasi serba
olok-olok, gosip, heboh peristiwa politik , hiburan vulgar dan dangkal,
demokrasi sebagai kekerasan jalanan, sementara panduan haluan kerja berbangsa
tidak terkomunikasikan. Ranah komunikasi kehilangan kewajiban demokrasi mengelola
komunikasi sebagai informasi publik yang kritis dan produktif. Alias
rendahnya ranah komunikasi-informasi sebagai ketahanan karakter nilai
keutamaan berbangsa mengelola tantangan masa depan.
Agaknya,
sangatlah mendesak melahirkan pemilu sebagai pendidikan warga negara yang
membukakan masyarakat terhadap tantangan presiden pasca 2014 berkait
kapasitas calon presiden. Oleh karena itu, saatnya mengubah pemilih yang
melodramatik serta serba cinta monyet menjadi masyarakat rasional-kritis.
Sebuah
pemilu yang mampu memilih presiden sebagai pemandu partisipasi warga dengan
visi yang panjang, meski penuh beban, namun mampu menumbuhkan Indonesia ke
depan, tidak lagi memilih presiden populer yang mampu mengelola kestabilan,
namun sehabis masa jabatannya melahirkan krisis permanen yang membawa bola
api panas masa depan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar