Dari
BUMN Sosialis ke World-Class
Augustinus Simanjuntak ; Dosen
Hukum dan Etika Bisnis
Program Manajemen Bisnis FE Universitas Kristen
Petra Surabaya
|
JAWA
POS, 31 Maret 2014
KINERJA
badan usaha milik negara (BUMN) akhir-akhir ini memang cukup membanggakan.
Meskipun masih cukup banyak kendala, akumulasi laba BUMN kita pada 2013 masih
bisa melebihi target, yakni Rp 150,7 triliun. Tahun itu juga PT Pertamina
berhasil menempati urutan ke-122 di antara 500 perusahaan terbesar dalam
Fortune Global 500 dengan laba USD 2,8 miliar (2012).
Masih
tahun 2013, enam BUMN juga berhasil menorehkan prestasi gemilang di kancah
dunia sebagai perusahaan terbesar versi Forbes Global 2000. Enam BUMN
tersebut ialah Bank Mandiri (peringkat ke-446), BRI (ke-461), PT Telkom
(ke-685), BNI (ke-922), Perusahaan Gas Negara (ke-1.188), dan Semen Gresik
(ke-1.425). Artinya, Pertamina dan enam BUMN itu telah mengambil peran yang
paling strategis dalam upaya mewujudkan pasal 33 UUD 1945, yaitu
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Prestasi
BUMN pada 2013 kian lengkap setelah beroperasinya jembatan tol terpanjang di
Indonesia yang menghubungkan Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa. Tujuh BUMN berhasil
menyukseskan pembangunan tol itu, yaitu PT Jasa Marga, PT Pelindo III, PT
Angkasa Pura I, PT Pengembangan Pariwisata Bali, PT Wijaya Karya, PT Adhi
Karya, dan PT Hutama Karya. Prestasi itu menunjukkan peran BUMN yang terus
meningkat, terutama dalam membangun infrastruktur ekonomi dan menyediakan
barang/jasa bermutu tinggi bagi masyarakat.
Mirip BUMN Tiongkok
Gerak
dan peran BUMN kita sebenarnya mirip dengan dinamika BUMN Tiongkok. Yakni,
sama-sama berevolusi dari budaya korporasi yang penuh regulasi dan intervensi
kekuasaan (ala sosialis) menuju budaya korporasi modern serta profesional.
Reformasi BUMN di Indonesia mulai terjadi seiring dengan berakhirnya rezim
orde baru pada 1998 walaupun masih terus mengalami kendala gara-gara dominasi
kepentingan politik yang terus menggerogoti BUMN. Sedangkan reformasi BUMN di
Tiongkok dimulai kala runtuhnya komunisme dan terus menguat sejak Tiongkok
menjadi anggota World Trade
Organization (WTO) pada 2001.
Sebelum
reformasi, pemerintah Tiongkok menerapkan sistem ekonomi tertutup. BUMN-nya
beroperasi dengan prosedur serta aturan (birokrasi) yang sangat ketat.
Bahkan, BUMN merasa tidak perlu melihat faktor eksternalnya karena berfokus
pada stabilitas ekonomi dan tuntutan produksi semata, bukan pada
produktivitas atau daya saing ke luar.
Sejak
1993, institusi pemerintah dan BUMN di Tiongkok dipisah. Manajemen BUMN mulai
didorong untuk menguasai pola manajemen modern lewat studi banding ke ragam
perusahaan yang sudah sukses di Barat dalam rangka membangun korporasi yang
mampu bersaing di pasar global. Budaya internal perusahaan yang merupakan
warisan masa lalu (sosialis) mau tidak mau harus diubah. Pemerintah Tiongkok
semakin menyadari pentingnya kemandirian BUMN dalam kegiatan operasionalnya.
Pascareformasi
ekonomi, sistem reward dan kontrak kerja pun diterapkan pemerintah Tiongkok
untuk meningkatkan kinerja pekerja plus efisiensi. Pekerja yang masih
berbudaya pegawai negeri di masa lalu dinilai sudah tidak cocok untuk BUMN.
Hasilnya,
suasana kerja di internal BUMN tidak lagi kaku, melainkan semakin dinamis dan
mampu melihat peluang bisnis. BUMN Tiongkok juga semakin menyadari tantangan
eksternalnya, terutama korporasi asing, setelah masuk keanggotaan WTO. Hukum
perusahaan di Tiongkok juga diubah supaya BUMN bisa memakai profit sebagai ukuran
efisiensi, menekankan disiplin anggaran, dan menghukum BUMN yang gagal.
Reformasi
budaya BUMN itulah yang ikut berperan besar dalam membuat ekonomi Tiongkok
tumbuh pesat. Lewat BUMN, sektor-sektor terpenting seperti energi,
transportasi, dan farmasi dijadikan sebagai kunci ambisi Tiongkok untuk
menggerakkan roda ekonomi.
Bagaimana Budaya BUMN Kita?
Saat ini
BUMN kita sudah mulai nyata terbebas dari dominasi kekuasaan. BUMN tidak lagi
sekadar ayam petelur yang telurnya (pendapatan) tidak pernah dieramkan untuk
melahirkan ayam-ayam petelur baru (bisnis baru). Birokrasi, yang dulu sering
mengabaikan profesionalitas BUMN, kini sudah banyak berubah dan tidak lagi
menjadi penghambat bagi aksi-aksi bisnis BUMN. Sama dengan di Tiongkok,
dominasi kekuasaan terhadap BUMN kita harus direduksi. Dengan begitu, BUMN
lebih leluasa dalam membuat keputusan strategis yang terkait dengan kegiatan
bisnisnya.
Karena
itu, terobosan Menteri BUMN Dahlan Iskan yang mendelegasikan puluhan wewenang
kementerian kepada dewan direksi dan komisaris BUMN merupakan pemandirian
sekaligus pemurnian BUMN dari intervensi politik. Aksi-aksi korporasi demi
kemajuan BUMN tidak perlu lagi harus menunggu persetujuan menteri atau
pemerintah. Juga, 12 larangan (kode etik) bagi seluruh jajaran BUMN yang
pernah dirilis Dahlan Iskan merupakan semangat baru untuk membuat BUMN
semakin profesional.
Misalnya
larangan menjadi pengurus/anggota partai politik, ikut atau diikutkan sebagai
pelaksana kampanye pemilihan pejabat, menyalahgunakan jabatan, dan
menggunakan fasilitas perusahaan untuk yang bukan kepentingan perusahaan, dan
seterusnya.
Kuatnya
intervensi politik terhadap BUMN bisa berujung pada politik dagang sapi dalam
pemilihan direksi maupun komisaris BUMN. Atau, BUMN bisa menjadi sapi perah
di saat menjelang pemilu. Akibatnya, tata kelola BUMN menjadi asal-asalan
hingga keadaan BUMN menjadi tidak sehat.
Seperti
peran dan pengembangan BUMN di Tiongkok, kemandirian dan budaya korporasi
yang profesional merupakan conditio
sine qua non bagi BUMN kita demi optimalisasi prestasi dan perannya di
masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar