SJSN,
untuk Apa dan Siapa?
Sulastomo ; Ketua Tim SJSN 2001-2004
|
KOMPAS,
26 Maret 2014
Setelah Jaminan Kesehatan
Nasional berlaku mulai 1 Januari 2014, banyak pertanyaan tentang pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan
juga UU No 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Meski
informasi begitu gencar di berbagai media, ternyata masyarakat banyak yang
masih belum paham SJSN.
Tujuan UU Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) adalah untuk memperluas kepesertaan, cakupan, dan peningkatan
kualitas manfaat program jaminan sosial yang selama ini telah dinikmati oleh
sebagian masyarakat agar semua tanpa kecuali memperoleh manfaat jaminan
sosial dari lahir hingga meninggal.
UU SJSN melindungi masyarakat
dari risiko ekonomi yang tidak terduga, misalnya sakit, kecelakaan kerja,
atau memasuki masa pensiun.
Karena itu, jaminan sosial
sesuai UU N0 40/2004 terdiri dari Jaminan Kesehatan (JK), Jaminan Kecelakaan
Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan
Kematian.
Sebenarnya, masih ada satu
program jaminan sosial yang perlu diberikan, yaitu Jaminan Pemutusan Hubungan
Kerja (JPHK). Tetapi, JPHK telah termaktub dalam UU 13/2003 tentang Tenaga
Kerja yang menjamin pekerja akan memperoleh pesangon.
Selain cakupan kepesertaan masih
sedikit, tidak ada kelompok masyarakat yang memiliki semua manfaat jaminan
sosial itu.
Pegawai negeri sipil dan anggota
TNI/Polri belum memiliki program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Sementara
pekerja swasta, sebagian besar belum memiliki program jaminan pensiun
meskipun sebagian kecil telah memiliki jaminan pensiun sukarela.
Dengan gambaran seperti di atas,
ada urgensi untuk membangun sistem jaminan sosial yang komprehensif, yang
mampu memberikan perlindungan sosial kepada setiap warga negara. Untuk itu,
kepesertaannya bersifat wajib, menerapkan konsep asuransi sosial, sekaligus
mengintegrasikan kelompok masyarakat yang mampu dan masyarakat yang tidak
mampu.
Pendekatan sistem
SJSN diselenggarakan berdasar
pendekatan sistem sehingga berbagai pihak terkait harus mematuhi sistem yang
diberlakukan. Ini berarti segenap informasi yang diperlukan harus dipahami
dan dilaksanakan bersama. Setiap warga negara/peserta, penyelenggara negara
baik di pusat maupun daerah, pemberi pelayanan kesehatan dan juga Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) harus mengetahui hak dan kewajiban serta
melaksanakan program jaminan sosial sesuai UU No 40/2004.
Misalnya, manfaat Jaminan
Kesehatan (JK) yang selama ini diberikan oleh PT (Persero) Jamsostek, ketika
dialihkan ke BPJS Kesehatan akan memperoleh manfaat JK sesuai UU No 40/2004.
Demikian juga manfaat jaminan pensiun, ketika dimulai pada pertengahan 2015
oleh BPJS Ketenagakerjaan, juga harus mengintrodusir ”manfaat pasti” (defined benefit).
Demikian juga pensiunan pegawai
negeri/anggota TNI/Polri selayaknya juga ikut mengiur atau membayar
kontribusi bersama pemberi kerja (pemerintah) dan tidak dibebankan pada APBN
semata. Dengan demikian, beban APBN akan lebih ringan.
Untuk kepesertaan yang bersifat
wajib, kita dapat membayangkan potensi program jaminan pensiun sebagai
mekanisme mobilisasi dana sangat besar sehingga mampu memupuk tabungan
nasional. Dana inilah yang di banyak negara telah mampu menunjang pembangunan
ekonomi dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Selanjutnya, dengan mekanisme
asuransi sosial, hukum bilangan banyak (the
law of large numbers) akan terpenuhi. Dalam penyelenggaraan jaminan
kesehatan, terbuka lebar iuran yang sekecil-kecilnya dengan manfaat sangat
besar. Karena itu, cakupan program jaminan kesehatan sesuai SJSN sangat
komprehensif, meliputi preventif, promotif, dan rehabilitatif.
Hal itu terlepas dari adanya
syarat bahwa dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan harus diberlakukan
sistem pemberian pelayanan (delivery
system) dan pembiayaan (payment
system) yang terintegrasi sesuai prinsip managed-healthcare concept, di mana diberlakukan sistem pelayanan
berjenjang dan pembayaran pradana dengan menerapkan kendali mutu dan biaya.
Dengan pendekatan seperti itu, orientasi pelayanan kesehatan cenderung ke
arah pencegahan (preventive) dan
bukan pengobatan (treatment).
Implementasi bertahap
Namun, semua itu harus
diimplementasikan secara bertahap sehingga perlu kesabaran semua pihak.
Implementasi UU No 40/2004 dan UU No 24/2011 itu memerlukan perencanaan yang
matang agar tidak justru menjadi bumerang. Perumusan peraturan turunan UU No
40/2004 dan UU No 24/2011 akan lebih baik kalau dapat terbit lebih awal
sehingga cukup waktu untuk sosialisasinya.
Dalam BPJS Kesehatan, tampaknya
persiapan itu belum optimal. Berbagai peraturan turunan itu baru terbit pada
Desember sehingga banyak persoalan di lapangan.
Selain Jaminan Kesehatan, kita
juga menyongsong penyelenggaraan program Jaminan Pensiun (wajib) bagi pekerja
pertengahan tahun 2015. Sekali lagi, kita juga harus bersabar. Sebab, tidak
serta-merta seluruh pekerja akan memperoleh jaminan pensiun. Diperlukan
semacam skenario makro, peta jalan, tahapan untuk mencakup seluruh pekerja,
sebagaimana dalam implementasi jaminan kesehatan. Dengan demikian, program
jaminan pensiun dapat berkelanjutan dan tidak menimbulkan keruwetan. Dengan
program Jaminan Pensiun Wajib, terbuka peluang menyelenggarakan Jaminan Pensiun
Sosial bagi kelompok masyarakat usia lanjut nonkerja.
Dengan gambaran
sebagaimana dikemukakan di atas, manfaat SJSN akan sangat luas, yakni
meringankan beban negara dan dunia usaha, meningkatkan kesejahteraan rakyat,
mewujudkan keadilan sosial, dan meningkatkan daya saing bangsa. SJSN juga
mampu memobilisasi dana masyarakat sehingga kita mampu memupuk tabungan
nasional yang sangat besar.
Karena itu, meski
masih banyak kekurangan, kita tidak boleh mundur lagi dalam
mengimplementasikan JKN/SJSN/BPJS. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar