Lomba
Propaganda Menjelang Pemilu
Yunandho Yulio Rachmat ; Mahasiswa
Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran
|
HALUAN,
28 Maret 2014
Propaganda
menjadi satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hiruk pikuk pemilu.
Propaganda dipandang kian penting guna menarik perhatian calon pemilih.
Dengan ragam yang kian menarik, warna-warni propaganda berupa baliho parpol
dengan sederet caleg-calegnya, tersenyum menyapa masyarakat calon pemberi hak
suara di sepanjang jalan. Mulai dari calon-calon perwakilan suara masyarakat
di kursi legislatif hingga tokoh-tokoh
calon RI 1 selanjutnya.
Propaganda
sendiri diilhami dari bahasa Latin modern yaitu propagare yang berarti mengembangkan
atau memekarkan. Dalam arti lebih luas, propaganda dimaknai sebagai suatu
rangkaian pesan yang bertujuan untuk memengaruhi pendapat dan kelakuan
masyarakat atau sekelompok orang.
Propaganda
terkadang menyampaikan pesan yang benar, namun seringkali menyesatkan. Dimana
umumnya isi propaganda hanya menyampaikan fakta-fakta yang dipilih guna
menghasilkan pengaruh tertentu, sehingga lebih menghasilkan reaksi emosional
daripada reaksi rasional.
Sesuai
yang pernah dinyatakan Jozef Goebbels, Menteri Propaganda Nazi di zaman
Hitler, “Sebarkan kebohongan
berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat
publik menjadi percaya”.
Banyak
janji yang dilampirkan para caleg di baliho-balihonya. Mulai dari tembok
bangunan, batang pohon, tiang listrik, bahkan tempat-tempat umum yang seharusnya
bersih dari atribut parpol pun dijejali manisnya rangkaian kata penakluk hati
rakyat. Baliho-baliho ini dipersiapkan dengan jumlah dan dana yang luar biasa
demi tercapainya keinginan tersebut.
Namun
banyak sekali kiranya permasalahan yang ditimbulkan dari
propaganda-propaganda ini. Mulai dari kasus curi start pemasangan propaganda
kampanye, pelanggaran lokasi penyebaran atribut kampanye, hingga rusaknya
kelestarian dan keindahan lingkungan akibat banyaknya baliho yang terpasang.
Sekiranya
ini dapat menjadi perhatian bersama. Pertanyaannya sederhana, seharusnya bagaimana
mungkin masyarakat percaya dengan caleg dan parpol yang sebelum dipilih saja
sudah melanggar aturan? Seharusnya masyarakat cerdas dalam menanggapi hal
tersebut. Masih maukah dibuai
kata-kata manis yang terpampang, sementara pemasangannya menyalahi aturan?
Walaupun regulasinya telah diatur dalam Peraturan
Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 15/2013, masih banyak saja parpol maupun
caleg yang tidak mengindahkan hal tersebut. Walaupun sebelumnya sudah cukup
banyak aksi penertiban yang dilaksanakan, namun tindakan tegas dan tak pandang bulu KPU kiranya masih menjadi
sorotan dalam menanggapi hal tersebut.
Propaganda Kreatif?
Seiring
semakin dituntutnya baliho-baliho caleg memikat hati calon pemilihnya,
cara-cara “kreatif” pun dilakukan. Muncul berbagai cara-cara unik dalam
menyampaikan maksud propaganda kepada masyarakat.
Paling
sering dijumpai adalah pencantuman sosok fenomenal, Joko Widodo atau Jokowi,
di berbagai baliho caleg. Walaupun tidak dipayungi satu almamater partai yang
sama, banyak sekali caleg yang menambahkan sosok Jokowi di baliho propaganda
mereka. Entah niatan apa yang ingin
disampaikan, ketenaran sosok DKI 1 ini dirasa mampu membantu menjaring
perhatian publik.
Lain
pula halnya dengan caleg-caleg yang menggambarkan diri layaknya superhero di
baliho mereka. Menggambarkan diri sebagai pahlawan dirasa mampu membuat
rakyat untuk bersimpati. Cara kreatif tersebut setidaknya mencoba menunjukkan
bahwa si caleg merupakan orang yang juga kreatif dan berani beda.
Kembali
ke hakikat propaganda itu sendiri, baliho-baliho caleg ditujukan sebagai sarana
penarik perhatian dan dapat memengaruhi pendapat masyarakat. Gunanya tentu
agar dipilih pada pemilihan umum nanti. Tak peduli besarnya biaya, yang
penting masyarakat tertarik terlebih dahulu.
Tak
jarang dijumpai satu kawasan yang dijejali banyak propaganda dari berbagai
parpol maupun caleg. Masing-masing lembaran propaganda saling sikut berlomba
menarik perhatian. Akibatnya propaganda yang saling tumpang tindih dan
mengganggu kesejukan mata.
Mata
warga dibingungkan dengan banyaknya warna yang menutupi keindahan
lingkungan. Lingkungan jadi terlihat berantakan dan tidak teratur. Parahnya
lagi setelah copot atau rusak, propaganda-propaganda tersebut malah semakin
mengotori dan merusak lingkungan.
Pemasangan
baliho dan propaganda-propaganda lainnya akan terus menjamur. Paling tidak
hingga pemilihan presiden bulan Juli nanti. Entah siapa yang fotonya
terpampang di baliho-baliho tersebut. Namun yang terlihat, selagi ada lahan
terbuka, berarti masih ada kawasan strategis untuk memasang baliho.
Berbanding Terbalik
Bagaikan
siang dan malam, maraknya propaganda-propaganda parpol dan caleg ternyata
tidak seiring dengan jumlah propaganda dari KPU sendiri. Propaganda-propaganda
yang mengimbau masyarakat untuk menggunakan hak suarannya tenggelam oleh
banyaknya baliho partai. Melihat kondisi tersebut amat disayangkan rasanya.
Kasus-kasus kurangnya pengetahuan masyarakat dan maraknya golput setidaknya
dapat dikurangi jikalau ada media-media propaganda ini. Sayang sekali
propaganda KPU harus kalah jumlah.
Walaupun
masih banyak cara untuk mensosialisasikan
pemilu selain dengan baliho, namun kiranya hal ini tidak dapat
dilewatkan. Jika alat peraga kampanye
parpol tidak dibolehkan untuk dipasang di ruang umum maka sebaliknya,
seharusnya propaganda untuk menggunakan hak suara pada pemilu mendatang
disebarkan di tempat umum.
Menanggapi
masih kurangnya minat masyarakat untuk turut memberikan suaranya pada pemilu,
harusnya ditanggapi dengan cerdas. Jika untuk kemaslahatan umat dan bangsa
kenapa tidak sosialiasi melalui media baliho diperbanyak.
Lagipula
ajakan untuk memilih tidak merugikan siapapun dan tidak membawa kepentingan
kelompok manapun. Malahan baik adanya jika seluruh calon pemilih memberikan
hak suaranya. Tingkat keterwakilan masyarakat akan tinggi. Partisipasi untuk
membangun daerah dan bangsa akan nyata terlihat. Akan terwujud masyarakat
dan elemen pemerintahan yang saling
mendukung dan terbuka.
Contohnya
pemilihan walikota yang baru saja dilaksanakan di Kota Padang. Jumlah
partisipasi pemilih yang pada putaran pertama sebanyak 57,27 persen, turun
jadi 51, 75 persen pada putaran kedua. Harusnya hal ini dapat menjadi bahan
pelajaran, bahwa masih butuh adanya peningkatan sarana sosialiasi pemilu,
salah satunya baligo informasi dari KPU.
Jangan
cepat merasa puas dengan usaha yang telah dilakukan. Penertiban dan tindakan
tegas pada pihak-pihak yang melanggar sudah seharusnya dilakukan. Jangan
saling tunggu dengan ketidakjelasan untuk melakukan eksekusi. Sekali lagi,
aturan dibuat untuk dipatuhi, tanpa pandang bulu.
Masyarakat
pun hendaknya cerdas melihat fenomena. Jangan mudah terbuai propaganda yang
“wah”. Hendaknya ketertiban dan cara yang dilakukan untuk melakukan
propaganda juga harus jadi bahan pertimbangan dalam memilih. Melanggar
aturan bahkan sebelum terpilih menjadi wakil rakyat hendaknya dikritisi oleh
masyarakat. Sehingga timbullah norma sosial yang membuat kapok para pelaku
curang tersebut.
Dari
segala aspek di atas, tentu yang perlu diperhatikan adalah caleg-caleg yang
menebar senyum manis di propaganda. Apakah besaran dana yang dikeluarkan
untuk kampanye akan berbanding lurus dengan usaha untuk mensejahterakan
rakyat saat terpilih nanti? Jangan sampai saat terpilih nanti malah
sibuk mencari celah untuk
mengembalikan besarnya dana kampanye. Akibatnya malah lebih mementingkan
kepentingan pribadi.
Memang
tak hanya masalah baliho yang perlu digarisbawahi. Banyak aspek-aspek yang
perlu diperhatikan demi kematangan bangsa menghadapi pemilu ke depannya. Oleh
karena itu jangan sampai hanya menunggu usaha satu pihak saja. Secara
serentak semua elemen harus memulai perubahan. Ciptakanlah iklim pemilu yang
kondusif. Tidak ada kata terlambat untuk memulai. Terakhir, jadilah pemilih yang cerdas! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar