Ban
Serep
M Subhan SD ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS,
29 Maret 2014
KALAU ada
benda yang paling berguna dipakai saat kondisi darurat, itu antara lain ban
serep. Ketika ban-ban lain tidak berfungsi, ban serep-lah yang mengambil alih
peran. Tetapi, kita tak sedang membicarakan onderdil kendaraan bermotor. Kita
bicara soal politik. Dalam politik, sejak era Soeharto, ban serep menunjuk
posisi wakil presiden.
Percaya atau
tidak, dalam suksesi tahun 2014 ini, ban serep tampaknya menjadi komoditas
paling laris, dibandingkan dengan jualan presiden. Bukan apa-apa, sejak
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dicalonkan Ketua Umum PDI-P
Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden dari PDI-P pada 14 Maret lalu,
tiba-tiba ada sebagian pihak yang merasakan bahwa ”pemilihan presiden telah
selesai”. Seolah-olah presiden periode 2014-2019 telah terpilih.
Ini tak lain
karena Jokowi hampir selalu mendominasi bursa capres. Pada hampir setiap
survei, elektabilitas Jokowi selalu berada di posisi tertinggi, melampaui
tokoh-tokoh lain, seperti Prabowo Subianto (Gerindra), Aburizal Bakrie
(Golkar), Wiranto (Hanura), Hatta Rajasa (PAN), Sutiyoso (PKPI), atau
nama-nama lain semisal Jusuf Kalla, Mahfud MD, Rhoma Irama, Dahlan Iskan, dan
tokoh lainnya yang sudah bersiap-siap terjun ke dalam bursa capres.
Barangkali
satu-satunya hasil survei yang menunjuk Jokowi bukan di nomor satu adalah
survei Pol-Tracking Institute yang melibatkan 330 profesor—sebagai tim
penilai—dari 33 provinsi, sepekan silam. Survei itu mengunggulkan Jusuf Kalla
sebagai tokoh yang memiliki kualitas dan kompetensi personal paling baik.
Skor Jusuf Kalla 7,70. Jokowi di urutan kedua dengan skor 7,66, lalu Mahfud
MD di tempat ketiga (skor 7,55).
Akan tetapi,
survei itu tetap saja sulit membendung elektabilitas Jokowi yang selalu
tinggi, yang menjadi modal politik dalam Pilpres 2014. Banyak pihak percaya
Jokowi sepertinya sulit tertandingi. Jadi, ketika bursa capres diprediksi tak
akan ramai lagi, hampir bisa dipastikan pertarungan sengit akan berubah.
Posisi wapres kemungkinan besar akan menjadi rebutan banyak tokoh.
Kelihatannya bukan kompetisi antarwapres, melainkan rebutan ingin dipasangkan
dengan Jokowi. Rasa-rasanya sih, tidak sedikit tokoh partai atau
politisi yang merapat ke PDI-P.
Jokowi dan
PDI-P sekarang ini memang lagi di atas angin. Pasti banyak tokoh lain dan
partai lain yang merapat ke mereka. Dulu yang jauh dengan PDI-P bisa jadi
akan berdekat-dekatan. Namanya juga politik, antara kawan dan musuh bedanya
tipis sekali, yang abadi adalah kepentingan. Kata ahli politik Harold
Lasswell (1902- 1978), politics adalah who gets what, when, how. Karena
di atas angin, PDI-P jangan sampai salah langkah lagi. Tahun 1999, PDI-P menang
pemilu, tetapi justru tak berkuasa sebagai pemenang pemilu. Kalau terulang
lagi, bukan tidak mungkin modal politik yang jelas berupa Jokowi sebagai
calon presiden masa depan akan hilang kembali. Bisa-bisa, partai-partai lain
beralih ke tempat lain. PPP sudah ”bersilaturahim”
dengan Gerindra. Bahkan DPP PPP hadir dalam kampanye Gerindra di Gelora Bung
Karno, Jakarta, Minggu lalu. Bisa jadi ada motif lain, namanya juga politik.
Tetapi, bagaimanapun PDI-P mesti bermain cantik dan tidak besar kepala.
Komunikasi politik harus dibangun secara anggun pula. Kalau merujuk pakar
politik Jack Nagel, PDI-P mesti menguatkan jangkauan kekuasaannya (domain of power), bukan hanya ruang
lingkup kekuasaan (scope of power).
Kembali ke
soal ban serep, memang krusial pada suksesi tahun 2014 ini. Apalagi pola
hubungan kerja presiden-wapres lebih sejajar dalam pilpres secara langsung.
Zaman Soeharto, wapres memang ibarat ban serep. Contoh saja, katakanlah cuma
urusan membuka atau meresmikan proyek. Memang, kekuasaan Soeharto sangat
luas, dan tak pernah turun-turun dari kursi presiden sampai akhirnya
ditumbangkan rakyat pada tahun 1998. Selama 32 tahun itu, wapresnya selalu
berganti: Sultan Hamengku Buwono IX (1973-1978), Adam Malik (1978-1983), Umar
Wirahadikusumah (1983-1988), Sudharmono (1988-1993), Try Sutrisno
(1993-1998), dan BJ Habibie (Maret-Mei 1998).
Era Sultan HB
IX sampai Adam Malik barangkali romantika perjuangan membuat hubungan
presiden dan wapres lebih setara. Mereka sama-sama generasi 1945, yang
merupakan generasi pembebas negeri ini. Soeharto-Sultan-Adam pernah jadi trio
tokoh pada 1966. Peran Sultan sangat besar dalam sejarah Serangan Umum 1
Maret 1949 yang melambungkan nama Soeharto. Adam Malik yang energik adalah
diplomat dan wartawan ulung. Sejak Umar sampai Try Sutrisno, sama-sama
berasal dari militer. Ketika Soeharto menjadi Pangkostrad saat krisis tahun
1965, Umar adalah Pangdam V Jaya. Kalau Sudharmono, sejak 1965 dekat dengan
Soeharto sehingga dipercaya menduduki posisi penting di kabinet dan memimpin
Golkar. Try Sutrisno adalah mantan Panglima ABRI yang pernah menjadi ajudan
Soeharto tahun 1974.
Namun, pada
zaman Sudharmono, posisi wapres justru diberi tugas khusus, yaitu berupa
pengawasan melekat (waskat), mengawasi birokrasi. Namun, era demokrasi
langsung, orang kedua bukanlah ban serep yang dipakai hanya kondisi darurat.
Karena sama-sama dipilih rakyat, wapres pun punya tanggung jawab yang jelas.
Jadi, pembagian tugas, menjadi syarat utama. Contoh penting saat Jusuf Kalla
mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode 2004-2009. Kala itu
Kalla sangat berperan dalam keputusan penting secara langsung seperti
menangani perdamaian Aceh (RI dan GAM) atau bantuan langsung tunai. Saking
aktifnya Kalla malah dijuluki the real president. Wapres Boediono
tak setuju jika wapres disebut ban serep.
Tetapi, tahun
2014 ini jualan ban serep pasti laris. Juga jualan presiden karena pilpres
pun belum dimulai. Tokoh-tokoh lain mesti berani bertanding, agar demokrasi
tetap hidup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar