Para
Pejuang Demokrasi
Komaruddin Hidayat ; Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 28 Maret 2014
Saya
bertemu beberapa teman yang sekarang tengah berjuang memenangkan kontestasi
dalam pemilihan calon legislatif 9 April nanti. Di antara mereka ada yang
sangat yakin, percaya diri, pasti akan lolos duduk sebagai wakil rakyat.
Ada lagi
yang setengah yakin, namun tetap optimistis. Ada lagi yang mengeluh kehabisan
amunisi tenaga, waktu, dan uang. Karena merasa sebagai pejuang demokrasi yang
hendak memperjuangkan aspirasi rakyat, ada yang kemudian minta dukungan dana
ke sana kemari. Pejuang kebangsaan itu berhak mendapatkan dukungan rakyat,
sebagaimana para pejuang kemerdekaan dahulu juga dibantu rakyat, moral maupun
materiil.
Namun,
ada juga pikiran usil. Benarkah semua peserta pileg itu valid disebut sebagai
pejuang rakyat dan kebangsaan? Secara umum, saya ingin berprasangka baik
saja. Satu hal yang pasti, agenda demokratisasi politik, ekonomi dan ilmu
pengetahuan mesti didukung. Di dalam demokrasi tersimpan sebuah nilai dan
cita-cita mulia, yaitu sebuah pengakuan akan hak-hak asasi individu untuk
mendapatkan hak politik, keamanan, dan kesejahteraan sebagai warga negara
yang sah dan baik.
Demokrasi
ingin memberikan kesempatan yang sama pada siapa pun untuk tampil menjadi
wakil rakyat, jadi pemimpin, dan berhak menyuarakan aspirasinya melalui
aturan yang ada. Bahwa dalam praktiknya antara cita dan realita demokrasi
terhadap jarak menganga, itu tidak aneh dalam perjalanan sejarahnya.
Jadikanlah itu sebagai agenda perjuangan yang mesti dibenahi. Bukankah hal
yang serupa juga terjadi pada agama?
Antara
kemuliaan ajaran agama di satu pihak dan perilaku umatnya di pihak lain
sering kali berseberangan dan bertabrakan? Yang mesti dilakukan oleh pimpinan
parpol adalah menegakkan aturan dan etika yang jelas dan tegas, jika terdapat
kader parpol yang merusak kemuliaan citacita demokrasi harus diamputasi.
Sebagaimana
yang terjadi pada tubuh Mahkamah Konstitusi, ketika salah seorang anggotanya
merusak prinsip dan etika MK, maka harus dipecat, bahkan masuk tahanan KPK.
Jadi, agenda perjuangan demokrasi dihadapkan pada beberapa medan tantangan.
Pertama,
tantangan dari dalam parpol sendiri. Bisa saja terjadi, parpol teriak-teriak
memperjuangkan demokrasi, namun kultur yang dibangun dalam tubuhnya tidak
demokratis. Kedua, ketika kader parpol berhasil duduk di lembaga wakil rakyat
atau tubuh pemerintahan, prinsipprinsip demokrasi yang menekankan
transparansi dan fairness dalam persaingan dan pertarungan politik, semua itu
menguap.
Faktor
uang dan koncoisme sering kali merusak nilainilai dasar demokrasi, sehingga
nama dan konsep demokrasi menjadi luntur, kehilangan makna dan wibawa di mata
masyarakat. Ikon pejuang demokrasi yang melekat pada Bung Hatta semakin sulit
dijumpai padanannya. Ketiga, meskipun sistem demokrasi dianggap paling baik
di antara yang lain, sehebat apa pun demokrasi tetap memiliki kekurangan.
Dan
lagi, demokrasi bukanlah tujuan akhir. Dia sebagai instrumen untuk meraih
tujuan yang lebih tinggi lagi, yaitu terwujudnya masyarakat yang sejahtera,
cerdas, makmur dan terlindungi hak-hak sipilnya. Makanya menjadi ironis
ketika mereka yang tampil menjadi wakil rakyat dan petinggi di negeri ini
berkat reformasi dan gerakan demokratisasi, lalu lupa diri. Dalam waktu yang
sangat singkat, sebagian dari mereka hidupnya berubah.
Secara
materi menjadi kaya raya, sementara rakyat daerah pemilihannya tetap miskin,
sarana dan mutu sekolah tak berkembang, infrastruktur semakin rusak. Orang
pun bertanya-tanya, lalu rakyat mendapatkan keuntungan apa dari hiruk-pikuk
demokrasi dan reformasi yang telah menelan biaya mahal dan membuat rakyat
dirusak mentalnya dengan money politics? Ada lagi keluhan warga, garagara
desentralisasi telah memunculkan istilah ”putra daerah asli” dan ”nonasli”.
Sebuah
keluarga yang telah puluhan tahun tinggal di satu daerah tibatiba dianggap warga
pendatang dan hak politiknya terganjal, karena bukan putra daerah asli.
Ketika berlangsung pencalonan wakil rakyat, bupati, wali kota ataupun
gubernur, isu putra daerah dan pendatang lalu dimunculkan. Inikahdemokrasi
yang hendak mengangkat hak warga negara secara setara di depan hukum?
Gara-gara
bukan putra daerah, meskipun secara moral-intelektual lebih berkualitas,
kalah oleh putra daerah yang mutunya di bawah standar. Demikianlah, masih
banyak deviasi dan anomali dari hirukpikuk reformasi dan demokrasi yang mesti
diselesaikan oleh para wakil rakyat dan kabinet mendatang. Jadilah pejuang
demokrasi yang benar, bukannya sekadar pencari kerja dan popularitas.
Rakyat
sudah lelah, ingin perubahan dan perbaikan. Perjuangan politik tentu saja
memerlukan ongkos. Tetapi yang namanya money
politics, jelas merusak kemuliaan politik dan merusak mental rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar