Tantangan
Perundingan Palestina-Israel
Hasibullah Satrawi ;
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam,
Direktur
Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Jakarta
|
KORAN
SINDO, 06 Maret 2014
Pada
Senin kemarin (3/3), Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama, bertemu
empat mata dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih.
Pertemuan dua pemimpin negara kali berlangsung secara saling ”menyerang dan
menekan”.
Netanyahu
menekan Obama dalam persoalan isu nuklir Iran yang justru disikapi oleh
Gedung Putih dengan politik diplomasi lunak. Padahal, Israel kerap mendesak
AS segera bertindak tegas untuk menghadapi ancaman nuklir Iran. Sebaliknya,
Obama menekan Netanyahu dalam persoalan perundingan damai antara Palestina
dengan Israel. Apalagi setelah Parlemen Israel, Knesset, memulai sesi debat
untuk memaksakan kedaulatan Israel atas Kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem.
Sebelum
berangkat ke AS, Netanyahu berjanji akan bertahan dari segala tekanan yang
mungkin ada (aljazeera.net, 2/3, 13: 58). Pertemuan Obama kali ini bisa
dipahami sebagai bentuk turun tangan langsung untuk menyelamatkan perundingan
damai antara Palestina-Israel yang tak mengalami kemajuan signifikan (2/3).
Padahal, perundingan ini telah dimulai sejak akhir Juli 2013 lalu di bawah
prakarsa Menteri Luar Negeri AS John Kerry.
Daur Ulang
Telah
banyak kali perundingan damai antara dua negara bertetangga, Israel dan
Palestina, diupayakan, termasuk oleh pihak luar seperti AS. Perundingan damai
terakhir antara keduanya terjadi pada 2010 lalu yang juga diprakarsai AS.
Setiap inisiatif perundingan damai antara Israel dan Palestina sepantasnya
didukung oleh semua pihak, berapa pun tingginya pesimisme yang ada terkait
keberhasilan upaya yang ada.
Karena
hanya perundingan yang menjadi jalan terbaik bagi Israel dan Palestina untuk
menyelesaikan segala persoalan yang ada, hingga kedua bangsa bertetangga itu
bisa samasama tegak dan saling menghormati satu sama lain. Selama ini,
Palestina kerap mendapatkan dukungan dari komunitas internasional untuk
menjadi negara yang merdeka dan berdaulat secara penuh.
Namun demikian, dukungan dari pihak luar
bukan segala-galanya bagi Palestina. Bahkan, dukungan dari komunitas
internasional acap tak bermakna tanpa adanya ”dukungan sepadan” dari Israel
sebagai pihak yang bersengketa dengan Palestina. Faktanya, Palestina selama
ini acap diserang secara semena- mena oleh Israel, seakanakan Palestina bukan
sebuah negara yang diakui oleh komunitas internal.
Dan
lebih dari semua itu, komunitas internasional acap diam membisu ketika Israel
menyerang Palestina secara brutal, seakan mereka tak pernah mengakui
Palestina sebagai sebuah negara. Di sinilah pentingnya perundingan damai
antarkedua belah pihak untuk mengakui hak dan kedaulatan masingmasing. Israel
mengakui keberadaan Negara Palestina dengan segala hak dan kewajibannya.
Pun
demikian sebaliknya. Persoalannya adalah upaya perdamaian antara Israel dan
Palestina melalui perundingan selama ini acap macet di tengah jalan yang
kemudian diulang kembali di lain waktu tak ubahnya kaset. Di mana suatu
perundingan kerap berhenti di tengah jalan karena satu persoalan, seperti
pembangunan perumahan ilegal oleh Israel ataupun persoalan keamanan yang
melibatkan kelompok-kelompok ekstrem di Palestina.
Apa yang
terjadi dengan perundingan terakhir antara keduanya pada tahun 2010 lalu bisa
dijadikan sebagai contoh dari yang disampaikan di atas. Perundingan yang
mengalami kemajuan pesat saat itu berhenti di tengah jalan setelah
pemerintahan Israel membangun sejumlah perumahan ilegal di daerah tepi Barat.
Perundingan perdamaian antarkedua negara saat ini juga mengalami hal yang
kurang lebih sama.
Di saat
dua tim perunding kerap bertemu, Israel justru mengeluarkan kebijakan
pembangunan perumahan ilegal di wilayah Palestina, yaitu 1031 perumahan di
Tepi Barat dan 828 di Yerusalem Timur (Al-Hayat, 8/11/13). Bahkan Israel
belakangan memaksakan klaim kedaulatan atas Wilayah masjid Al-Aqsa di
Yerusalem.
Solusi
Sejauh
mana perundingan damai antara Israel-Palestina (khususnya yang sedang
berproses saat ini) akan berhasil? Jawabannya adalah akan sangat ditentukan
oleh sejauh mana rintangan dan tantangan seperti di atas bisa diantisipasi,
khususnya oleh AS sebagai mediator. Dengan kata lain, perhatian terhadap
rintangan- rintangan di tengah jalan perundingan seperti diatas harus sama
besar dengan perhatian terhadap perdamaian Israel-Palestina itu sendiri.
Setidaknya
ada dua hal yang harus dilakukan untuk mengantisipasi rintangan-rintangan
seperti di atas. Pertama, menekan Israel agar tidak mengeluarkan kebijakan
yang kontroversial seperti pembangunan perumahan di atas tanah Palestina,
khususnya pada masamasa perundingan sedang berlangsung.
Hal ini
tentu tidak mudah dilakukan, khususnya kepada Israel yang bahkan kerap
bersitegang dengan pemerintahan AS pada masa pemerintahan Obama sekarang.
Apalagi, Israel bisa dikatakan mengambil keuntungan dari gagalnya sebuah
perundingan damai. Dikatakan demikian, karena gagalnya sebuah perundingan
damai akan mempertahankan posisi Israel sebagai ”penjajah” yang didukung oleh
pelbagai macam perangkat kenegaraan yang merdeka, khususnya persenjataan.
Sedangkan
Palestina tetap sebagai ”bangsa terjajah” yang acap tidak memiliki perangkat
sebuah negara merdeka. Kondisi ini akan berbeda seratus persen bila
perundingan damai berjalan secara sukses. Dalam kondisi seperti ini, kedua
negara bisa berdiri secara tegak dan setara. Hingga Palestina bisa mendapatkan
haknya dalam membangun bangsanya seperti yang telah didapatkan dan dinikmati
oleh Israel selama ini.
Kedua,
mengendalikan kelompok- kelompok militan di Palestina, baik yang ada di
lingkaran faksi Fatah ataupun faksifaksi lain. Hingga mereka tidak melakukan
serangan apa pun kepada Israel, khususnya pada masa-masa perundingan seperti
sekarang. Seperti halnya menekan Israel, mengendalikan kelompok militan
Palestina bukanlah hal mudah. Apalagi, Palestina saat ini berada dalam
kepemimpinan yang terbelah antara faksi Fatah di Tepi Barat dan faksi Hamas
di Jalur Gaza.
Sejatinya,
pihak-pihak luar seperti AS memberikan perhatian khusus kepada realitas
kepemimpinan terbelah di Palestina, khususnya dalam rangka mendorong
Palestina agar kembali ke meja perundingan bersama Israel. Yaitu bahwa Palestina
bukan hanya Fatah ataupun otoritas Palestina di Tepi Barat, melainkan juga
Hamas dan faksi-faksi lain, seberapa pun mereka tidak suka terhadap
faksi-faksi ini.
Inilah yang selama ini kurang diperhatikan oleh pihak-pihak luar yang
mendorong perundingan damai antara Israel dengan Palestina, tak terkecuali
AS. Hingga perundingan damai kerap diperlakukan seperti kaset yang diputar
secara berulang-ulang, sebagaimana telah disebutkan. Alih-alih menyelesaikan
konflik yang ada, justru acap membosankan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar