Jumat, 07 Maret 2014

Tantangan Perundingan Palestina-Israel

Tantangan Perundingan Palestina-Israel

Hasibullah Satrawi  ;   Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam,
Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Jakarta
KORAN SINDO,  06 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
Pada Senin kemarin (3/3), Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama, bertemu empat mata dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih. Pertemuan dua pemimpin negara kali berlangsung secara saling ”menyerang dan menekan”.

Netanyahu menekan Obama dalam persoalan isu nuklir Iran yang justru disikapi oleh Gedung Putih dengan politik diplomasi lunak. Padahal, Israel kerap mendesak AS segera bertindak tegas untuk menghadapi ancaman nuklir Iran. Sebaliknya, Obama menekan Netanyahu dalam persoalan perundingan damai antara Palestina dengan Israel. Apalagi setelah Parlemen Israel, Knesset, memulai sesi debat untuk memaksakan kedaulatan Israel atas Kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem.

Sebelum berangkat ke AS, Netanyahu berjanji akan bertahan dari segala tekanan yang mungkin ada (aljazeera.net, 2/3, 13: 58). Pertemuan Obama kali ini bisa dipahami sebagai bentuk turun tangan langsung untuk menyelamatkan perundingan damai antara Palestina-Israel yang tak mengalami kemajuan signifikan (2/3). Padahal, perundingan ini telah dimulai sejak akhir Juli 2013 lalu di bawah prakarsa Menteri Luar Negeri AS John Kerry.

Daur Ulang

Telah banyak kali perundingan damai antara dua negara bertetangga, Israel dan Palestina, diupayakan, termasuk oleh pihak luar seperti AS. Perundingan damai terakhir antara keduanya terjadi pada 2010 lalu yang juga diprakarsai AS. Setiap inisiatif perundingan damai antara Israel dan Palestina sepantasnya didukung oleh semua pihak, berapa pun tingginya pesimisme yang ada terkait keberhasilan upaya yang ada.

Karena hanya perundingan yang menjadi jalan terbaik bagi Israel dan Palestina untuk menyelesaikan segala persoalan yang ada, hingga kedua bangsa bertetangga itu bisa samasama tegak dan saling menghormati satu sama lain. Selama ini, Palestina kerap mendapatkan dukungan dari komunitas internasional untuk menjadi negara yang merdeka dan berdaulat secara penuh.

 Namun demikian, dukungan dari pihak luar bukan segala-galanya bagi Palestina. Bahkan, dukungan dari komunitas internasional acap tak bermakna tanpa adanya ”dukungan sepadan” dari Israel sebagai pihak yang bersengketa dengan Palestina. Faktanya, Palestina selama ini acap diserang secara semena- mena oleh Israel, seakanakan Palestina bukan sebuah negara yang diakui oleh komunitas internal.

Dan lebih dari semua itu, komunitas internasional acap diam membisu ketika Israel menyerang Palestina secara brutal, seakan mereka tak pernah mengakui Palestina sebagai sebuah negara. Di sinilah pentingnya perundingan damai antarkedua belah pihak untuk mengakui hak dan kedaulatan masingmasing. Israel mengakui keberadaan Negara Palestina dengan segala hak dan kewajibannya.

Pun demikian sebaliknya. Persoalannya adalah upaya perdamaian antara Israel dan Palestina melalui perundingan selama ini acap macet di tengah jalan yang kemudian diulang kembali di lain waktu tak ubahnya kaset. Di mana suatu perundingan kerap berhenti di tengah jalan karena satu persoalan, seperti pembangunan perumahan ilegal oleh Israel ataupun persoalan keamanan yang melibatkan kelompok-kelompok ekstrem di Palestina.

Apa yang terjadi dengan perundingan terakhir antara keduanya pada tahun 2010 lalu bisa dijadikan sebagai contoh dari yang disampaikan di atas. Perundingan yang mengalami kemajuan pesat saat itu berhenti di tengah jalan setelah pemerintahan Israel membangun sejumlah perumahan ilegal di daerah tepi Barat. Perundingan perdamaian antarkedua negara saat ini juga mengalami hal yang kurang lebih sama.

Di saat dua tim perunding kerap bertemu, Israel justru mengeluarkan kebijakan pembangunan perumahan ilegal di wilayah Palestina, yaitu 1031 perumahan di Tepi Barat dan 828 di Yerusalem Timur (Al-Hayat, 8/11/13). Bahkan Israel belakangan memaksakan klaim kedaulatan atas Wilayah masjid Al-Aqsa di Yerusalem.

Solusi

Sejauh mana perundingan damai antara Israel-Palestina (khususnya yang sedang berproses saat ini) akan berhasil? Jawabannya adalah akan sangat ditentukan oleh sejauh mana rintangan dan tantangan seperti di atas bisa diantisipasi, khususnya oleh AS sebagai mediator. Dengan kata lain, perhatian terhadap rintangan- rintangan di tengah jalan perundingan seperti diatas harus sama besar dengan perhatian terhadap perdamaian Israel-Palestina itu sendiri.

Setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan untuk mengantisipasi rintangan-rintangan seperti di atas. Pertama, menekan Israel agar tidak mengeluarkan kebijakan yang kontroversial seperti pembangunan perumahan di atas tanah Palestina, khususnya pada masamasa perundingan sedang berlangsung.

Hal ini tentu tidak mudah dilakukan, khususnya kepada Israel yang bahkan kerap bersitegang dengan pemerintahan AS pada masa pemerintahan Obama sekarang. Apalagi, Israel bisa dikatakan mengambil keuntungan dari gagalnya sebuah perundingan damai. Dikatakan demikian, karena gagalnya sebuah perundingan damai akan mempertahankan posisi Israel sebagai ”penjajah” yang didukung oleh pelbagai macam perangkat kenegaraan yang merdeka, khususnya persenjataan.

Sedangkan Palestina tetap sebagai ”bangsa terjajah” yang acap tidak memiliki perangkat sebuah negara merdeka. Kondisi ini akan berbeda seratus persen bila perundingan damai berjalan secara sukses. Dalam kondisi seperti ini, kedua negara bisa berdiri secara tegak dan setara. Hingga Palestina bisa mendapatkan haknya dalam membangun bangsanya seperti yang telah didapatkan dan dinikmati oleh Israel selama ini.

Kedua, mengendalikan kelompok- kelompok militan di Palestina, baik yang ada di lingkaran faksi Fatah ataupun faksifaksi lain. Hingga mereka tidak melakukan serangan apa pun kepada Israel, khususnya pada masa-masa perundingan seperti sekarang. Seperti halnya menekan Israel, mengendalikan kelompok militan Palestina bukanlah hal mudah. Apalagi, Palestina saat ini berada dalam kepemimpinan yang terbelah antara faksi Fatah di Tepi Barat dan faksi Hamas di Jalur Gaza.

Sejatinya, pihak-pihak luar seperti AS memberikan perhatian khusus kepada realitas kepemimpinan terbelah di Palestina, khususnya dalam rangka mendorong Palestina agar kembali ke meja perundingan bersama Israel. Yaitu bahwa Palestina bukan hanya Fatah ataupun otoritas Palestina di Tepi Barat, melainkan juga Hamas dan faksi-faksi lain, seberapa pun mereka tidak suka terhadap faksi-faksi ini.

Inilah yang selama ini kurang diperhatikan oleh pihak-pihak luar yang mendorong perundingan damai antara Israel dengan Palestina, tak terkecuali AS. Hingga perundingan damai kerap diperlakukan seperti kaset yang diputar secara berulang-ulang, sebagaimana telah disebutkan. Alih-alih menyelesaikan konflik yang ada, justru acap membosankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar