Pembangunan
= Proyek + Rente
B Herry Priyono ;
Dosen pada Program Pascasarjana
Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara, Jakarta
|
KOMPAS,
06 Maret 2014
TULISAN
kecil ini ditujukan kepada calon presiden dan wakil presiden, calon gubernur
dan bupati, calon anggota legislatif di tingkat pusat, daerah tingkat I, dan
II; semua yang ingin memimpin dan menjadi wakil rakyat melalui Pemilu 2014.
Karena penentuan siapa yang memenangi mandat juga berasal dari pemilih,
tulisan ini juga ditujukan kepada 186.569.233 pemilih terdaftar. Pemilu
memang bukan keseluruhan demokrasi, melainkan pemilu adalah metode kunci bagi
demokrasi.
Maksudnya,
demokrasi akan mulai terhubung dengan pemberantasan korupsi, pengurangan
kemiskinan, perbaikan lingkungan, atau perbaikan hak asasi jika, dan hanya
jika, pemilih sanggup memilih para eksekutif dan legislator yang punya rekam
jejak dan berdarah daging memberantas korupsi, dihantui oleh luasnya
kemiskinan, marah pada penghancuran lingkungan, dan terbukti sebagai pejuang
hak asasi. Istilah ”jika, dan hanya jika” di atas begitu sentral. Sinisme
terhadap demokrasi akan terbukti mengada-ada jika, dan hanya jika, pemilih
sanggup memilih sosok-sosok seperti itu.
Urusan tata
cara memilih sudah sering dibedah dan kriteria pemimpin yang baik juga telah
banyak diurai. Tulisan kecil dan sederhana ini hanya akan membuat lugas apa
yang sudah terang benderang dalam bingkai yang sedikit lebih besar. Jika
tujuan bernegara-berbangsa adalah ’kebaikan bersama’ (the common good), dan demokrasi adalah metodenya, maka pemilu
sebagai metode kunci demokrasi perlu menghasilkan para legislator-eksekutor
yang siang-malam melibati teknologi mencapai kebaikan bersama. Teknologi itu
disebut ’pembangunan’ (development).
Ringkasnya,
demokrasi akan mulai terhubung dengan kebaikan bersama Indonesia jika, dan
hanya jika, dalam Pemilu 2014 nanti kita sanggup memilih para
legislator-eksekutor yang siang-malam diburu oleh kegelisahan melaksanakan
pembangunan sejati.
Pembusukan pembangunan
Saya
sepenuhnya sadar istilah ”pembangunan” memicu rasa mual pada banyak kaum
terpelajar dan warga biasa. Salah satunya lantaran istilah itu mengalami
pembusukan semantik luar biasa di zaman Orde Baru. Pembusukan itu terkait
erat dengan pemakaian ”pembangunan” sebagai idiom ideologis untuk membenarkan
tualang kediktatoran: dari pengejaran perempuan untuk pemasangan paksa alat
kontrasepsi sampai pembunuhan misterius, dari pemberangusan hak berserikat
sampai sensor ketat media.
Praktik-praktik
bengis itu lalu tercetak dalam proses mental dan memperanakkan pengertian
kita tentang pembangunan sebagai identik dengan kediktatoran. Maka
”pembangunan” menjadi isme yang terasa kotor dan jorok.
Itulah
kecelakaan historis, bukan keniscayaan logis. Satu sentuhan logika klasik
mungkin perlu untuk menjernihkan perkara: abusus
non tollit usum. Artinya, fakta bahwa sesuatu telah disalahgunakan
tidaklah berarti sesuatu itu tidak lagi berguna; fakta bahwa pembangunan
telah disalahgunakan tidaklah berarti pembangunan tidak lagi berguna.
Sebagaimana yang inheren kotor/jorok bukanlah kekuasaan, melainkan
penggunaannya, begitu pula yang kotor/jorok bukan pembangunan itu sendiri,
melainkan bagaimana pembangunan dilaksanakan.
Saya
juga sadar keruwetan akademik soal pembangunan yang kini telah terbelah ke
dalam sekurangnya tiga kubu: mazhab pembangunan konvensional yang
Eropa-sentris dan ekonomistik, mazhab pembangunan alternatif yang coba
mengatasi bias ekonomistik, dan mazhab pasca pembangunan yang meninggalkan
pemakaian istilah ”pembangunan”. Perdebatan antara tiga mazhab itu terus
berlangsung sengit, dan kita tidak perlu berharap perdebatan itu akan mereda.
Sesengit
apa pun perdebatan, cita-cita yang diemban tidak banyak berubah, semua menunjuk
”upaya berkelanjutan bersama/kelompok memperbaiki kualitas hidup” sering pula
dimengerti sebagai ”upaya bersama/kelompok bagi pemberadaban berkelanjutan”.
Istilah ’pemberadaban’ (civilising process) di situ tak perlu diartikan dalam
idiom tualang kolonial dan penjajahan ratusan/puluhan tahun lalu.
Luasnya
kemiskinan, penghancuran lingkungan, tingginya malanutrisi dan busung lapar,
atau juga penyingkiran kelompok-kelompok minoritas tentulah kondisi tidak
beradab. Kondisi perbaikan/terberantasnya semua itu disebut kondisi lebih
beradab, entah upaya ke arah itu disebut ”pembangunan” atau istilah lain.
Rupanya
apa yang terjadi adalah gejala ini. Kita tahu apa yang dimaksud dengan
istilah ”pembangunan”. Tetapi, pembusukan semantik telah mencampakkan isi
yang diemban istilah ”pembangunan”. Maka, ketika lintasan sejarah menggedor
kita dengan urgensi perbaikan kualitas hidup bersama, padahal istilah untuk
itu dicampakkan, kita tersesat bahkan untuk menemukan nama bagi upaya bersama
itu. Tentu urusan semantik ini hanyalah sebab kecil kesesatan karena pada
dataran praktik apa yang sering disebut ”pembangunan” dewasa ini telah
membusuk menjadi penjarahan proyek dan rente.
Proyek dan rente
Dengarkan
sinisme orang-orang biasa di kota ataupun desa. Ketika mereka melihat jalan
yang diaspal, jembatan yang diperbaiki, gedung sekolah yang dibangun, warga
yang dikumpulkan untuk penataran gizi, atau pembuatan KTP elektronik, mereka
bilang: ”Itu hanya proyek!” Yang mereka maksud adalah kolusi penjarahan
anggaran pembangunan oleh para kontraktor/pengusaha, politisi, dan pejabat
pemerintah.
Itu
bahasa sederhana yang mengisyaratkan seberapa akut dan kolosal pembangunan
telah membusuk. Bisa saja istilah ”pembangunan” tetap dipakai, tetapi isinya
tak lebih dari kontrak-kontrak bisnis melalui kolusi para pengusaha,
politisi, dan pejabat. Kalau tak ada kebutuhan riil dan manfaat bagi warga,
proyek-proyek itu akan diciptakan dari ketiadaan. Penjarahan anggaran
kompleks Hambalang disebut pembangunan olahraga.
Penjarahan
anggaran pengadaan kitab suci disebut pembangunan agama atau mungkin
pembangunan akhlak. Penjarahan anggaran alat-alat medis disebut pembangunan
kesehatan. Bahkan, penjarahan lisensi mobil murah dengan emisi rendah mungkin
disebut pembangunan transportasi dan lingkungan. Makin terdengar luhur
istilahnya, makin konyol faktanya.
Silakan
menambah daftar contoh. Jika cara menjarah itu dilakukan melalui
penggelembungan nilai proyek (mark up),
pembuatan perusahaan fiktif, atau cara lain, itu hanya soal taktik dan kadar.
Sebagian besar kasus megakorupsi yang sedang meledak ke publik dan ribuan
kasus lain di daerah yang tidak diproses berisi penjarahan anggaran
pembangunan ini. Itulah mengapa istilah proyek menjadi kotor dan jorok.
Proyek-proyek
yang sebagian atau seluruhnya dilakukan untuk menjarah anggaran pembangunan
itu umumnya dipahami sebagai bagian dari apa yang disebut ’pemburuan rente’ (rent-seeking). Istilah itu dipakai
sejak dasawarsa 1960-an oleh para ekonom yang berpandangan bahwa ancaman
terbesar terhadap pasar bebas berasal dari regulasi negara. Adanya otoritas
regulasi pemerintah membuat para penjarah berlomba memenangkan
privilese-monopoli yang disebut ”rente”.
Itulah
mengapa ekonom neoliberal Gary Becker menulis di tahun 1994: ”Jika kita hapus negara, kita lenyapkan
korupsi” dan pemburuan rente. Debat perkara ini berlanjut, termasuk
pandangan bahwa tidak semua jenis rente merusak. Namun, argumen bahwa korupsi
dan pemburuan rente akan lenyap dengan menghapus negara adalah omongan
konyol.
Keruwetan
debat akademik itu tidak perlu mengganggu kita. Yang mau dikatakan, luasnya
penjarahan anggaran pembangunan melalui proyek-proyek merupakan bentuk
pemburuan rente. Itulah mengapa bisa dikatakan bahwa pembangunan di Indonesia
telah dan sedang membusuk menjadi proyek memburu rente (pembangunan = proyek
+ rente). Hampir semua terjadi melalui kolusi pebisnis, politisi, dan
pejabat.
Mungkin
bermimpi, tetapi bisa dikatakan pemilu akan membuat demokrasi mulai terkait
dengan pengurangan kemiskinan atau perbaikan lingkungan jika, dan hanya jika,
melalui Pemilu 2014 kita sanggup mengenyahkan calon-calon legislator dan
eksekutor pemburu proyek dan rente. Itu pun belum cukup! Pilihan perlu
ditujukan pada jenis calon politisi dan pejabat yang sanggup ”menanam”
kembali pembangunan sebagai gerakan perbaikan kualitas hidup bersama dan
pemberadaban.
Mencabut dan menanam
Gejala
di atas menunjukkan betapa tercerabutnya kepemimpinan dan pembangunan di
negeri ini. Seluruh praktik busuk itu tentu menghancurkan tata negara. Namun,
lebih khusus lagi, apa yang didaku ”pembangunan” sama sekali tak punya kaitan
apa pun dengan perbaikan kualitas hidup bersama dan pemberadaban.
Tak
pernah terjadi pembangunan jika prevalensi gizi buruk melonjak dari 4,9
persen (2010) ke 5,7 persen (2013), seperti ditunjuk Riset Kesehatan Dasar
2013. Tidak juga terjadi pembangunan jika tingkat kematian ibu saat melahirkan
melonjak dari 229 (2010) ke 359 (2012) per 100.000 kelahiran, seperti dicatat
Bank Dunia. Tidak ada pembangunan jika tingkat kesenjangan (Koefisien Gini)
melonjak dari 0,33 (2002) dan 0,39 (2007) ke 0,41 (2011). Tak ada pembangunan
jika 62 persen jalan di Provinsi Banten rusak, sementara dinasti politik dan
bisnis di provinsi itu menjarah anggaran pembangunan secara kolosal.
Di depan
saya terpajang grafik, pemberian teman ahli statistik, tentang perbandingan
besaran anggaran pemberantasan kemiskinan dan tingkat kemiskinan Indonesia
(2004-2012). Grafik itu menyimpan absurditas: lonjakan anggaran yang
mencengangkan dari 2004 sampai 2012 tak punya kaitan logis dengan pengurangan
angka kemiskinan yang beringsut bagai siput. Mengapa? Olok-oloknya,
kemiskinan yang sedikit berkurang bagai siput itu tidak disebabkan besarnya
anggaran pemberantasan kemiskinan lewat program bermakna, tetapi karena
(seperti kita) orang miskin secara alami berjuang keras keluar dari
kemiskinan, entah ada atau tidak ada anggaran dan program pemberantasan
kemiskinan.
Tentu
menyakitkan disebut sebagai pemerintahan irelevan. Namun, suara kencang
tentang ”negara dan pemerintah yang absen” atau ”negara tidak hadir” rupanya
menunjuk pada tingkat ketercerabutan sedemikian kronis dari arti dan praktik
pembangunan. Yang menghibur para pejabat mungkin tinggal fakta ini:
membusuknya pembangunan menjadi proyek pemburuan rente tidak hanya dilakukan
oleh banyak pejabat, tetapi juga secara kolosal dilakukan oleh banyak
legislator di Senayan, daerah tingkat I dan II, serta penjaga yudikatif.
”Menanam”
kembali pembangunan ke dalam denyut hajat hidup warga biasa tentu sesulit
jerih payah menata lagi sebuah negeri. Namun, dalam keterperangkapan sejarah
ini, pintu masuk untuk ”menanam” kembali pembangunan perlu digedor melalui
Pemilu 2014. Cabut semua politisi dan pejabat pemburu rente, pilih
calon-calon yang sekecil apa pun telah membuktikan diri bahwa tugas wakil
rakyat dan pejabat adalah membuat arti dan praktik pembangunan tertanam
kembali dalam denyut hajat hidup warga biasa.
Seperti Anda, saya juga tidak yakin agregasi pilihan kita dalam Pemilu
2014 sanggup membasmi para penjarah pembangunan. Namun, kita tidak mungkin
mencabut diri dari sejarah. Kita hanya bisa menunggang keterbatasan sejarah
itu dan mengoreksinya dengan memilih sosok-sosok yang cacatnya lebih dapat
kita tanggung daripada para pemburu rente, penjarah pembangunan, dan benalu
bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar