Swasembada
Pangan Tinggal Kenangan
Siti
Siamah ; Peneliti Global
Data Reform
|
SINAR
HARAPAN, 28 Februari 2014
Lesung sebagai
alat tradisional penumbuk padi dan jagung merupakan simbol swasembada pangan
bagi bangsa Indonesia yang telah populer berabad-abad lamanya.
Banyak seniman
masa lampau mencoba mengabadikannya dalam lukisan, seolah-olah sudah menduga
benda tersebut akan lenyap ditelan zaman. Kini, benda tersebut memang sudah
lenyap dari rumah-rumah rakyat karena telah dijual.
Harus diakui,
lesung dijual karena rakyat merasa tidak memerlukannya lagi sejak beras
selalu mudah diperoleh. Bahkan, bagi rakyat miskin, beras yang populer dengan
sebutan raskin bisa diperoleh dengan gratis karena pemerintah membaginya
secara rutin.
Namun, akibat
lenyapnya lesung dari rumah-rumah rakyat (petani-red) miskin, sering terjadi
tragedi kekurangan pangan atau kelaparan.
Dalam hal ini,
ternyata masih banyak rakyat miskin yang tidak menerima raskin. Setelah
lesung dijual, banyak rakyat miskin tidak bisa lagi menumbuk jagung untuk
dijadikan nasi jagung sebagai pengganti nasi beras.
Kini, lesung
telah menjadi aksesori atau pot bunga di rumah-rumah mewah. Kalaupun sekarang
masih ada rakyat yang memiliki lesung, dia akan malu setiap kali
menggunakannya untuk menumbuk jagung yang akan ditanak menjadi nasi jagung.
Itu karena hal ini bisa membuktikan kemiskinan keluarganya.
Dengan kata
lain, nasi jagung secara umum dianggap sebagai simbol kemiskinan sejak
Indonesia berswasembada beras yang dilanjutkan dengan tradisi impor beras.
Lebih
gamblangnya, rakyat miskin menjual lesung bukan karena dianggap tidak berguna
lagi, melainkan karena malu mengonsumsi nasi jagung akibat suksesnya program
pangan yang diperkuat tradisi impor beras.
Dalam hal ini,
sejak Indonesia dinyatakan sukses berswasembaa beras, pemerintah lebih senang
impor beras daripada mengajak rakyat kembali mengonsumsi nasi jagung ketika
beras mahal seperti sekarang.
Dengan demikian,
program impor beras bisa dikatakan sebagai kesalahan strategi untuk
menyejahterakan rakyat yang hidup dalam budaya agraris. Bukti salah strategi
ini diperkuat dengan tidak adanya kampanye makan nasi jagung yang bisa
meyakinkan rakyat bahwa nasi jagung bukan simbol kemiskinan.
Bahkan,
pemerintah juga tidak pernah mendukung rakyat untuk menanam jagung,
seolah-olah jagung hanya cocok untuk pakan ternak. Setiap tahun jajaran
pemimpin kita selalu senang menggelar panen raya untuk padi yang disiarkan
media secara luas dan tidak pernah menggelar panen raya untuk jagung.
Padahal,
sebenarnya, jagung lebih mudah tumbuh baik di hampir seluruh wilayah
Indonesia yang notabene wilayah agraris. Bahkan, jagung juga lebih aman
karena jarang diserang bermacam-macam hama dibanding padi.
Nasi Jagung
Pengalaman masa
lalu seharusnya dijadikan guru oleh pemerintah sekarang jika ingin mencegah
rakyat kelaparan. Hal ini, misalnya, dari era prakemerdekaan sampai era Orde
Lama. Jika beras langka dan mahal karena banyak petani gagal panen padi
akibat banjir atau terserang hama, rakyat langsung ramai-ramai makan nasi
jagung.
Pada masa lalu,
masing-masing keluarga menumbuk jagung di rumah dengan lesung atau duplak
tanpa merasa malu karena hal itu sudah dianggap umum. Lalu, pemerintah Orde
Lama membantu rakyat agar lebih mudah mengolah jagung. Hal ini ditandai
dengan memberikan bantuan alat penggiling jagung sederhana yang ditopang
bangku kayu.
Saat itu,
pemerintah tentu mengerti selama rakyat mau makan nasi jagung, ketika beras mahal
dan langka, tidak perlu impor beras seperti sekarang. Selain itu, jika rakyat
tidak sulit mengolah jagung tentu tidak akan kelaparan dan tidak akan nekat
mengonsumsi bahan makanan lain yang riskan.
Namun, kini
alat penggiling jagung juga telah ikut dijual karena bangkunya (kayu
jati-red) sangat mahal. Akibatnya, sekarang rakyat miskin memang semakin
kesulitan mengolah jagung setelah lesung serta alat penggiling jagung dijual.
Jika sekarang
masih ada rakyat yang memiliki dan menggunakan lesung untuk menumbuk padi dan
jagung, jumlahnya sangat langka. Dengan demikian, untuk mencegah kelaparan,
alternatif terbaik adalah mengajak rakyat makan nasi jagung.
Mungkin rakyat
akan lebih suka makan nasi jagung jika pemerintah bersedia memeloporinya. Hal
itu karena nasi jagung akan bisa lebih lezat dan menarik jika diolah lagi
dengan kreativitas seni kuliner. Dicontohkan, dibuat nasi jagung goreng, arem
arem, lontong atau nasi jagung uduk yang gurih.
Secara teknis,
menanam jagung dan memprosesnya menjadi nasi jagung jauh lebih mudah
dibanding menanam ketela dan memprosesnya menjadi tiwul. Bahkan bagi rakyat,
jagung juga lebih mudah dan aman untuk disimpan dalam waktu lama.
Dicontohkan, jagung mudah diikat dan bisa disimpan dengan cara digantung di
bubungan rumah, sebagaimana lazimnya dilakukan masyarakat petani pada masa
lalu.
Karena itu,
pemerintah sekarang perlu mengajak rakyat untuk kembali ramai-ramai makan
nasi jagung, ketika beras mahal dan langka. Cuma masalahnya, apakah
pemerintah mau mengajak rakyat kembali makan nasi jagung, kalau tradisi impor
beras dianggap lebih menguntungkan jajaran pejabat? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar