Sabtu, 01 Maret 2014

Swasembada Pangan Tinggal Kenangan

Swasembada Pangan Tinggal Kenangan

Siti Siamah  ;   Peneliti Global Data Reform
SINAR HARAPAN,  28 Februari 2014

                                                                                         
                                                                                                                       
Lesung sebagai alat tradisional penumbuk padi dan jagung merupakan simbol swasembada pangan bagi bangsa Indonesia yang telah populer berabad-abad lamanya.

Banyak seniman masa lampau mencoba mengabadikannya dalam lukisan, seolah-olah sudah menduga benda tersebut akan lenyap ditelan zaman. Kini, benda tersebut memang sudah lenyap dari rumah-rumah rakyat karena telah dijual.

Harus diakui, lesung dijual karena rakyat merasa tidak memerlukannya lagi sejak beras selalu mudah diperoleh. Bahkan, bagi rakyat miskin, beras yang populer dengan sebutan raskin bisa diperoleh dengan gratis karena pemerintah membaginya secara rutin.

Namun, akibat lenyapnya lesung dari rumah-rumah rakyat (petani-red) miskin, sering terjadi tragedi kekurangan pangan atau kelaparan.

Dalam hal ini, ternyata masih banyak rakyat miskin yang tidak menerima raskin. Setelah lesung dijual, banyak rakyat miskin tidak bisa lagi menumbuk jagung untuk dijadikan nasi jagung sebagai pengganti nasi beras.

Kini, lesung telah menjadi aksesori atau pot bunga di rumah-rumah mewah. Kalaupun sekarang masih ada rakyat yang memiliki lesung, dia akan malu setiap kali menggunakannya untuk menumbuk jagung yang akan ditanak menjadi nasi jagung. Itu karena hal ini bisa membuktikan kemiskinan keluarganya.

Dengan kata lain, nasi jagung secara umum dianggap sebagai simbol kemiskinan sejak Indonesia berswasembada beras yang dilanjutkan dengan tradisi impor beras.

Lebih gamblangnya, rakyat miskin menjual lesung bukan karena dianggap tidak berguna lagi, melainkan karena malu mengonsumsi nasi jagung akibat suksesnya program pangan yang diperkuat tradisi impor beras.

Dalam hal ini, sejak Indonesia dinyatakan sukses berswasembaa beras, pemerintah lebih senang impor beras daripada mengajak rakyat kembali mengonsumsi nasi jagung ketika beras mahal seperti sekarang.

Dengan demikian, program impor beras bisa dikatakan sebagai kesalahan strategi untuk menyejahterakan rakyat yang hidup dalam budaya agraris. Bukti salah strategi ini diperkuat dengan tidak adanya kampanye makan nasi jagung yang bisa meyakinkan rakyat bahwa nasi jagung bukan simbol kemiskinan.

Bahkan, pemerintah juga tidak pernah mendukung rakyat untuk menanam jagung, seolah-olah jagung hanya cocok untuk pakan ternak. Setiap tahun jajaran pemimpin kita selalu senang menggelar panen raya untuk padi yang disiarkan media secara luas dan tidak pernah menggelar panen raya untuk jagung.

Padahal, sebenarnya, jagung lebih mudah tumbuh baik di hampir seluruh wilayah Indonesia yang notabene wilayah agraris. Bahkan, jagung juga lebih aman karena jarang diserang bermacam-macam hama dibanding padi.

Nasi Jagung

Pengalaman masa lalu seharusnya dijadikan guru oleh pemerintah sekarang jika ingin mencegah rakyat kelaparan. Hal ini, misalnya, dari era prakemerdekaan sampai era Orde Lama. Jika beras langka dan mahal karena banyak petani gagal panen padi akibat banjir atau terserang hama, rakyat langsung ramai-ramai makan nasi jagung.

Pada masa lalu, masing-masing keluarga menumbuk jagung di rumah dengan lesung atau duplak tanpa merasa malu karena hal itu sudah dianggap umum. Lalu, pemerintah Orde Lama membantu rakyat agar lebih mudah mengolah jagung. Hal ini ditandai dengan memberikan bantuan alat penggiling jagung sederhana yang ditopang bangku kayu.

Saat itu, pemerintah tentu mengerti selama rakyat mau makan nasi jagung, ketika beras mahal dan langka, tidak perlu impor beras seperti sekarang. Selain itu, jika rakyat tidak sulit mengolah jagung tentu tidak akan kelaparan dan tidak akan nekat mengonsumsi bahan makanan lain yang riskan.

Namun, kini alat penggiling jagung juga telah ikut dijual karena bangkunya (kayu jati-red) sangat mahal. Akibatnya, sekarang rakyat miskin memang semakin kesulitan mengolah jagung setelah lesung serta alat penggiling jagung dijual.

Jika sekarang masih ada rakyat yang memiliki dan menggunakan lesung untuk menumbuk padi dan jagung, jumlahnya sangat langka. Dengan demikian, untuk mencegah kelaparan, alternatif terbaik adalah mengajak rakyat makan nasi jagung.

Mungkin rakyat akan lebih suka makan nasi jagung jika pemerintah bersedia memeloporinya. Hal itu karena nasi jagung akan bisa lebih lezat dan menarik jika diolah lagi dengan kreativitas seni kuliner. Dicontohkan, dibuat nasi jagung goreng, arem arem, lontong atau nasi jagung uduk yang gurih.

Secara teknis, menanam jagung dan memprosesnya menjadi nasi jagung jauh lebih mudah dibanding menanam ketela dan memprosesnya menjadi tiwul. Bahkan bagi rakyat, jagung juga lebih mudah dan aman untuk disimpan dalam waktu lama. Dicontohkan, jagung mudah diikat dan bisa disimpan dengan cara digantung di bubungan rumah, sebagaimana lazimnya dilakukan masyarakat petani pada masa lalu.

Karena itu, pemerintah sekarang perlu mengajak rakyat untuk kembali ramai-ramai makan nasi jagung, ketika beras mahal dan langka. Cuma masalahnya, apakah pemerintah mau mengajak rakyat kembali makan nasi jagung, kalau tradisi impor beras dianggap lebih menguntungkan jajaran pejabat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar