MK
Kian Tak Terawasi
Ferry
Ferdiansyah ; Alumni Pasca Sarjana Universitas Mercubuana
Jakarta Program Studi Magister Komunikasi
|
OKEZONENEWS,
28 Februari 2014
Nampaknya, cita-cita
yang ditelurkan oleh reformasi harus mengalami ujian kembali. Jalan terjal
ini terlihat dikabulkannya gugatan Mahkamah Konstitusi (MK). Jelas, dengan
adanya keputusan ini telah membawa keterpurukan bagi perjalanan lembaga
penegak hukum di negeri ini. Dalam pernyataannya, Menteri Hukum dan HAM Amir
Syamsuddin pun angkat bicara, dirinya berpendapat, bukan hanya pemerintah
yang kecewa, kekecewaan publik sangat jelas terlihat atas putusan MK
tersebut.
Sebelumnya, MK dengan suara bulat membatalkan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Perubahan Kedua atas
Undang-undang Mahkamah Konstitusi.
Seperti
diketahui, dalam pertimbangan hukum, MK telah melakukan penolakan atas
undang-undang tersebut terkait syarat hakim konstitusi yang harus berhenti
dari partai politik minimal 7 tahun. Dengan penilaian, dalam aturan yang
tertuang pasal 15 ayat merupakan buah dari stigamatisasi terhadap politisi.
Dapat dipastikan, penolakan yang kemudian berujung dengan dikabulkannya
gugatan ini, keinginan dan dorongan seluruh lapisan masyarakat di negeri ini
untuk mengembalikan wibawa MK menjadi tidak terpenuhi karena Undang-undang
nomor 4 tahun 2014 telah dibatalkan sendiri oleh lembaga tinggi negara dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman
bersama-sama dengan Mahkamah Agung.
Selayaknya MK
dapat memberikan contoh penegakan hukum, bukan sebaliknya merobohkan
kekokohan pondasi hukum di negeri ini.
Bagaimana hukum bisa tegakkan, jika mereka yang lebih memahami hukum
justru tidak mau menghormati hukum, seharusnya keberadaan MK lepas dari
muatan politisi. Karena kekhawatiran akan adanya kepentingan politik dalam
penegakan hukum bisa saja terjadi. Bisa saja mereka yang nantinya berurusan
dengan MK, karena adanya muatan politis dan kepentingan golongan MK tak mampu
bekerja maksimal yang akhirnya menyakiti hati rakyat.
Pasca-ditangkapnya
mantan Ketua MK, Akil Mochtar, nampaknya tidak dijadikan pelajaran yang
berharga. Lembaga ini tetap menunjukan ambisi kepentingan politik, ketimbang
memperbaiki wibawanya demi terciptanya supermasi hukum. Pemberitaan terkait
tertangkapnya mantan politisi Partai Golongan Karya yang terpilih sebagai
anggota DPR RI periode 1999-2004, tentu masih terngiang diingatan publik. Di
berbagai pemberitaan media di tanah air dikabarkan, pada tanggal 5 Oktober
2013, Akil Mochtar yang menjabat Ketua MK terlibat kasus suap MK pada
perselisihan Pemilu Kabupaten Lebak dan dinyatakan sebagai terdakwa sehingga
dia diberhentikan dari jabatan Ketua MK oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada tanggal 5 Oktober 2013.
Bukan sebatas
memberhentikan, kepala negara menginstruksikan agar Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) mempercepat proses penyidikan kasus suap yang menjerat Ketua
nonaktif MK agar penegakkan hukum yang dilaksanakan KPK bisa dilakukan cepat
dan konklusif. Selain itu, Yudhoyono mengambil langkah penyelamatan MK,
diantarannya penundaan sidang jangka pendek, pengajuan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (Perppu) soal aturan dan seleksi hakim MK, pengawasan
peradilan MK oleh Komisi Yudisial, dan MK agar melakukan audit internal.
Terkesan,
kesalahan era reformasi saat ini adalah terbukanya kran kebebasan menyatakan
pendapat, serta campur tangan kepentingan politik atas hukum. Siapapun berhak
mengeluarkan pendapat tanpa adanya batasan yang jelas. Elit politik cenderung
mengatasnamakan rakyat dalam mengeluarkan pendapat, pada hal pada akhirnya
pendapat tersebut hanya melahirkan kesengsaraan bagi rakyat. Pandangan
penulis, demokrasi bukanlah satu-satunya jalan keluar dalam mengatasi krisis
yang terjadi, demokrasi reformasi harus diimbangi dengan meletakan hukum
sebagai panglima, bukan menjadikan hukum dari bagian kepentingan politik.
Penulis
meyakini, penegakan hukum dan berbagai persoalan di Indonesia akan berhasil
jika hukum benar-benar menjadi panglima bukan sebagai alat kepentingan
politik maupun pribadi. Menjadikan hukum sebagai panglima di dalam sistem
kenegaraan di Indonesia sesuai dengan harapan sejak era reformasi bergulir
yang menyangkut kepentingan rakyat, salah satu pilar demokrasi adalah prinsip
trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif,
legislatif, yudikatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang
saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama
lain.
Kesejajaran dan
independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga
negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances. Kepentingan
politik sudah sepatutnya dipisahkan dari kekuatan hukum. Hukum harus mampu
dijadikan patokan dasar dalam penyelengaraan negara. Apa yang disampaikan
Aristoteles terkait penegakan hukum ada benarnya. Dalam pandangannya, suatu negara yang baik ialah negara yang
diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Oleh sebab itu
supremasi hukum sebagai tanda negara yang baik dan bukan semata-mata sebagai
keperluan yang tak layak.
Untuk
mewujudkan penegakan hukum di negeri ini, diperlukan kesadaran dari elit
politik untuk tidak mencampuri hukum apa lagi mengarahkan hukum ke ranah
politik. Hukum harus dipisahkan dari kepentingan politik. Secara pribadi saya
menilai sangat tidak etis bila nantinya kasus Akil Mochtar terulang lagi di
MK yang menjadikan lembaga ini sebagi bunker koruptor dengan cara memenangkan
suatu perkara berdasarkan kepentingan dan keuntungan peribadi.
Menyikapi
keberadaan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang diatur dalam UU No
4/2014, MK pun mempersoalkan keterlibatan Komisi Yudisial (KY), meski tidak
secara langsung. Sesuai dengan putusan MK No 005/PUU-IV/2006 tentang
pengujian UU KY, MK secara tegas menyatakan bahwa hakim MK tidak terkait
dengan ketentuan yang diatur di dalam Pasal 24 B UUD 1945. KY bukan lembaga
pengawas MK, apalagi lembaga yang berwenang menilai benar atau tidaknya
putusan MK sebagai lembaga peradilan. Pelibatan KY, menurut MK, merupakan
salah satu bentuk penyelundupan hukum karena hal itu jelas bertentangan
dengan putusan MK tentang UU KY.
MK pun
menyebut, KY tidak mempunyai kemampuan dalam mengawasi para hakim konstitusi.
Dengan berpegangan pada Pasal 24 ayat
(1) UUD 1945 dengan tegas MK menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan. Penulis memuji langkah MK yang berupaya menciptakan penegakan
hukum dengan adanya kekhawatiran
apabila ada lembaga lain yang ikut campur dengan tugas MK sebagai lembaga
peradilan, maka hal tersebut dapat mengancam hukum dalam bernegara, termasuk
adanya KY dalam tim panel ahli seleksi hakim MK dan pengawas hakim MK.
Namun, yang
patut diperhatikan belajar dari permasalahan yang ada, sepatutnya MK tak
sepatutnya merasa selalu benar dan lembaga yang benar-benar mampu berdiri sendiri.
Realitas ini setidaknya menunjukan keberadaan MK yang kian menunjukkan diri
sebagai lembaga peradilan yang tidak ingin diawasi. Padahal, Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013, tentang Perubahan
Kedua atas Undang-undang Mahkamah Konstitusi didasarkan pada iktikad baik
untuk memulihkan trust publik terhadap Mahkamah Konstitusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar