Sabtu, 01 Maret 2014

Menjaga Keindonesiaan

Menjaga Keindonesiaan

Hasibullah Satrawi  ;   Direktur Aliansi Indonesia Damai, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  28 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                                       
SEBAGAI falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara, Bhinneka Tunggal Ika sangat kaya akan makna, yang menegaskan bahwa Indonesia terdiri dari aneka macam perbedaan baik secara agama, suku, bahasa, budaya, maupun lainnya. Namun, walaupun terdiri dari aneka macam perbedaan, Indonesia tetap satu, yaitu Indonesia yang majemuk. Dengan demikian, Indonesia sesungguhnya dibangun di atas rasa tenggang rasa dan toleransi antarwarga yang berbeda-beda.

Tanpa adanya toleransi dan saling tenggang rasa, aneka macam perbedaan yang ada bisa memecah Indonesia yang satu menjadi kepingan-kepingan kecil. Semoga hal itu tidak pernah terjadi dalam perjalanan Indonesia ke depan. Dalam beberapa waktu terakhir, keindonesiaan kerap mendapatkan tantangan yang harus diwaspadai bersama. Kelompok-kelompok ekstrem dan teroris, contohnya, kerap mengabaikan keindonesiaan sebagai akibat dari keberagamaan ekstrem yang mereka yakini. 

Hingga mereka bercita-cita dan berjuang untuk mengganti negara Pancasila dengan negara agama. Bahkan tak sedikit dari mereka yang mengharamkan penghormatan terhadap bendera Merah Putih dan simbol-simbol negara lainnya.

Indonesia bukan negara agama, tapi juga bukan negara sekuler. Indonesia tidak pernah menghalang-halangi rakyatnya untuk beragama dan menjalankan ajaran agamanya secara utuh karena tak ada ajaran agama yang membolehkan aksi kekerasan secara tidak bertanggung jawab. Sebaliknya, Indonesia melarang keras segala perbuatan yang melecehkan agama dengan semua simbolnya mengingat perbuatan itu dipastikan bisa menimbulkan gesekan dan kesalahpahaman di tengah-tengah masyarakat. Hingga, gesekan dan kesalahpahaman yang ada bisa berkembang menjadi sebuah konflik.

Itulah yang tidak dipahami kelompok-kelompok ekstrem seperti kelompok teroris. Mereka kerap beranggapan bahwa Indonesia adalah negara kafir, musyrik, dan sejumlah label buruk lainnya. Seakan-akan tidak pernah ada suara azan yang setiap saat mengalun syahdu di Indonesia. Begitu juga dengan bunyi lonceng gereja dan simbol-simbol keagamaan lainnya. Seakan-akan tidak ada rumah ibadah dan hari raya keagamaan yang senantiasa dirayakan secara bersama-sama melalui hari libur nasional.

Kampanye kebangsaan

Masa kampanye beberapa waktu mendatang sangatlah rentan. Banyak orang rela mengeluarkan banyak hal untuk mendapatkan kekuasaan di 2014 ini. Semoga mereka yang bertarung dalam Pemilu 2014 tidak sampai menghalalkan segala macam cara, apalagi sampai menutup mata dan hati sekaligus. Kepentingan yang lebih besar terkait dengan keberlang sungan hidup berbangsa yang damai dan toleran harus jauh dikedepankan ketimbang kepentingan pragmatis untuk mendapatkan kekuasaan. 
Apalagi para calon pemimpin bangsa yang akan maju pada Pemilu 2014 (baik legislatif maupun presiden) senantiasa mengklaim demi perubahan dan masa depan Indonesia yang lebih baik.

Disinilah pentingnya menghindari kampanye negatif yang bisa menjadi sumbu konflik, khususnya bila terkait dengan keagamaan, kesukuan, ataupun hal-hal primordial lainnya. Penting disadari bersama-sama, negeri yang majemuk seperti Indonesia menunjukkan adanya perbedaan yang sepadan dengan jumlah keragaman yang ada, baik dari segi suku, agama, keyakinan, maupun aliran.

Bagi kalangan menengah ke atas (khususnya secara pendidikan), segala perbedaan yang ada tentu akan disemai dalam rajutan toleransi dan saling menghormati. Itu harapan kita semua. Namun, bagi masyarakat awam, segala perbedaan yang ada masih bersifat rentan bahkan cenderung tabu. Terlepas dari semua kekurangan yang ada, selama ini telah banyak aneka program yang dilakukan banyak pihak (baik pemerintah, kampus, pesan tren, ormas, LSM, ataupun unsur masyarakat lain) yang membawa semangat toleransi dan saling menghormati.

Oleh karenanya, kampanye para calon pemimpin bangsa ke depan harus memperkuat unsur-unsur pendidikan kebangsaan seperti tadi. Bukan justru membodohi masyarakat, apalagi memprovokasi untuk kepentingankepentingan pragmatis.

Menjaga keindonesiaan

Keindonesiaan harus senantiasa dijaga dan diperhatikan secara bersama-sama. Setidak-tidaknya karena tiga alasan utama. Pertama, keindonesiaan merupakan rahmat yang harus disyukuri. Disebut sebagai rahmat karena secara akal manusia, Indonesia yang sedemikian luas mengandung kekayaan alam yang luar biasa dan penuh dengan keragaman hampir mustahil bisa disatukan. Apalagi dalam kurun sekian abad para penjajah bercokol di atas Bumi Pertiwi secara silih berganti. Hanyalah rasionalisasi takdir ilahi yang membuat Indonesia kemudian menjadi satu dan merdeka dari cengkeraman para penjajah.

Oleh karenanya, sebagai sebuah rahmat, keindonesiaan harus disyukuri bersama. Secara agama, syukur akan menambah bobot dari sebuah rahmat yang ada sebagaimana kerap disampaikan para ustaz dan ahli agama.

Namun, walaupun sebagai rahmat, keindonesiaan bu kanlah rahmat yang turun dari langit begitu saja. Inilah hal kedua yang membuat keindonesiaan harus senantiasa dijaga secara bersama-sama.

Keindonesiaan ialah rahmat yang diperoleh melalui perjuangan se genap jiwa raga oleh para pejuang bangsa ini. Baik pejuang yang beragama Islam, Kristen, Hindu, Buddha, ataupun agama lainnya. Semuanya bersatu padu untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Sebagai generasi penerus, kita semua berkewajiban menjaga keindonesiaan dan mengisi pencapaian yang telah diraih para pendiri bangsa. Tentu saja kerja berat meng isi keberhasilan para pendiri bangsa membu tuhkan kerja sama yang kuat dari semua pihak, sebagaimana para pendiri bangsa dahulu berhasil memerdekakan bangsa ini melalui semangat kebersamaan. Tanpa adanya kebersamaan, bukan tidak mungkin yang akan terjadi ialah perpecahan dan permusuhan. Hingga, kehidupan berbangsa dan bernegara semakin jauh dari cita-cita luhur yang hendak diwujudkan para pendiri bangsa.

Pada tahap tertentu, aksi kelompok teroris dapat disebut sebagai upaya memecah belah kesatuan bangsa ini. Melalui semangat keagamaan ekstrem, mereka kerap menihilkan keindonesiaan. Bahkan tak jarang mereka melabeli Indonesia dengan pelbagai macam istilah yang buruk, sebagaimana telah disampaikan.

Ketiga, keindonesiaan menegaskan dan mengedepankan perdamaian ketimbang pilihan lain-lain yang bersifat konfliktual. Mengabaikan keindonesiaan sama halnya dengan mendorong segenap perbedaan yang ada di tengahtengah masyarakat menjadi bola-bola konflik yang dapat meledak setiap saat.

Padahal, Indonesia terdiri dari aneka macam perbedaan. Segala macam perbedaan yang ada mempunyai dua potensi secara bersamaan, yaitu konflik dan saling menghormati. Dengan kata lain, segala macam perbedaan yang ada di Indonesia sangat berpotensi berubah menjadi sebuah konflik yang berdarah-darah, sebagaimana segala macam perbedaan yang ada juga sangat berpotensi menjadi semangat menuju terwujudnya kehidupan yang penuh harmoni.

Di sinilah pentingnya perspektif keindonesiaan. Sebagai sebuah perspektif, keindonesiaan membuat potensi saling menghormati lebih berpeluang jika dibandingkan dengan potensi konflik dalam kehidupan yang penuh dengan perbedaan seperti di Indonesia. Sebagaimana telah disebutkan, keindonesiaan merupakan semangat toleransi dan saling menghormati dalam kehidupan yang majemuk. Melalui semangat keindonesiaan, aneka macam perbedaan bisa menjadi sebuah gemerlap hidup yang penuh dengan warna-warni indah. Mari bersama-sama kita menjaga keindonesiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar