Kamis, 06 Maret 2014

Responsibilitas Politik Demokratik

Responsibilitas Politik Demokratik

Max Regus  ;   Studi Doktoral di Belanda
MEDIA INDONESIA,  05 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
DUNIA serasa hendak membubarkan dirinya sebagai satu rumpun kehidupan yang beradab. Keguncangan politik yang sudah terjadi di Ukraina, Venezuela, Suriah, belum lagi kekerasan berdarah yang terus berlangsung di Pakistan, merobek rasa damai serentak mengirimkan sunyi yang mencekam. Sekali lagi disodorkan kepada kita dengan sangat gamblang bahwa kekuasaan selalu menjadi muasal pertama kebrutalan politik.

Tanpa rasa hormat pada kemanusiaan dan keadilan, kekuasaan dalam sekejap menjadi mesin pembantai sosial tanpa tandingan.

Demokrasi tidak sepenuhnya seperti hembusan ‘angin surga.’ Kontradiksi terus tergelar secara telanjang. Perilaku tengik menghunus dari kedalaman kuasa. Politik haus darah telah membantai kemanusiaan tanpa titik akhir. Pada waktu yang hampir bersamaan, Daniel Ross (2004) menulis buku Violent Democracy, dan Michael Mann (2005) dengan buku The Dark Side of Democracy. Keduanya coba membongkar wajah suram peradaban.

Di tahun-tahun itu, terorisme dan perang terhadapnya, menghadirkan mimpi buruk dalam sejarah kemanusiaan. Tragisnya, apa yang telah melukai humanitas justru terbungkus dalam sebentuk kepercayaan suci pada demokrasi.

Keajaiban

Meski ada kesuraman, demokrasi dan kebebasan tetap memikat dunia. Dua dekade sesudah kesuksesan gerakan anti-apartheid, Afrika Selatan mengenang dan merayakan kebebasan pada 27 April 2014 mendatang. Di antara semua rasa suka akan demokrasi, mereka menyebut kebebasan yang sudah datang itu sebagai keajaiban. Tahun ini, mereka ingin merayakannya dengan kesungguhan, disertai komitmen membangun bangsa yang kian beradab.

Dengan tema 20 years of freedom, warga Afrika Selatan menaruh hormat kepada proses pahit yang mereka lewati untuk meraih kemerdekaan. Di situ, ada satu hal yang mencolok. Mereka tidak merayakan demokrasi melulu dengan pendekatan mekanistik-institusionalistik. Yang dilakukan sekedar untuk memenuhi standar mekanisme formal dan menjawab tuntutan pelembagaan demokrasi.

Mereka ingin merayakan demokrasi dan kebebasan dengan pengalaman nyata. Yang terjadi ketika keadilan sosial tercantum di lalel-label harga kebutuhan pokok rakyat. Ketika jalan bagi rakyat untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan lebih mudah daripada periode gelap sebelumnya. Sebab, sebetulnya demokrasi tidak pernah dirayakan dengan murni sebagai keajaiban manakala penguasa tidak membangun hubungan politik dengan rakyat. Demokrasi tidak menjadi keajaiban saat rakyat kehilangan pembela politik di tengah kemiskinan yang kian mendera.

Komitmen

Demokrasi tetap menggetarkan kesadaran global. Sebuah website yang diberi nama Democracy-Day dibuat untuk menggalang pendidikan politik bagi generasi muda Amerika Serikat (AS). Ada kegelisahan substansial di balik gagasan ini. Tercatat, setiap hari di AS, tidak kurang 18.000 calon pemilih pemula bertanya tentang proses politik.

Mereka ingin mengelola rasa ingin tahu kaum muda tentang kekuatan utama dari partisipasi politik. Terutama berkaitan dengan proses pembuatan kebijakan publik yang adil, demokratis, dan beradab. Dengan itu, mereka juga ingin memastikan keberlanjutan nilai-nilai demokrasi. Untuk mendukung aksi ini, mereka merayakan Democracy Day pada 21 Maret 2014.

Pelajaran yang dapat kita petik cukup sederhana. Negara yang dikenal sebagai kampiun demokrasi ternyata masih memikirkan cara paling tepat untuk merayakan demokrasi. Mereka ingin mendidik generasi muda agar melek politik, menghidupi cara pikir demokrasi substansial dan mengontrol proses-proses politik secara langsung dan benar. Begitu cara mereka merayakan demokrasi.

Keadaban

Berselang sebulan lagi, kita akan menyelengarakan pemilu ke empat sesudah tumbangnya rezim Orde Baru. Agaknya cukup mudah untuk dikatakan bahwa kualitas tanggung jawab politik kita akan menentukan cerita indah demokratisasi di negeri ini. Proses politik ini bisa menjadi lorong lurus menuju kesejahteraan sosial, atau malahan menjadi jalan tanpa hambatan menuju keruntuhan.

Tidak terbantahkan, tanggung jawab politik yang semakin matang akan memperkecil sisi gelap demokrasi sekaligus memompakan komitmen yang bening dalam membangun bangsa yang beradab.

Titik utama dari usaha membangun keadaban demokrasi ada pada kerelaan penguasa membuka mata batin politik pada kegelisahan dan kecemasan publik.
Mereka harus memelihara dan menyegarkan harapanharapan sosial di kedalaman jiwa publik. Mereka juga harus memotong rantai kecemasan sosial dengan kesigapan politik.

Di satu kasus spesifik, kisruh RUU KUHP dan KUHAP belakangan ini, Media Indonesia dalam Editorial (1/3) mengajak penguasa untuk menyimak suara publik.
Tentu, bukan hanya pada soal ini, tapi pada sederet persoalan pelik lainnya. Kualitas tanggung jawab politik demokratik (responsibilitas demokratik) penguasa diukur dari kemauan mendengar suara batin publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar