Responsibilitas
Politik Demokratik
Max Regus ;
Studi Doktoral di Belanda
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Maret 2014
DUNIA serasa hendak membubarkan
dirinya sebagai satu rumpun kehidupan yang beradab. Keguncangan politik yang
sudah terjadi di Ukraina, Venezuela, Suriah, belum lagi kekerasan berdarah
yang terus berlangsung di Pakistan, merobek rasa damai serentak mengirimkan
sunyi yang mencekam. Sekali lagi disodorkan kepada kita dengan sangat
gamblang bahwa kekuasaan selalu menjadi muasal pertama kebrutalan politik.
Tanpa rasa hormat pada
kemanusiaan dan keadilan, kekuasaan dalam sekejap menjadi mesin pembantai
sosial tanpa tandingan.
Demokrasi tidak sepenuhnya
seperti hembusan ‘angin surga.’ Kontradiksi terus tergelar secara telanjang.
Perilaku tengik menghunus dari kedalaman kuasa. Politik haus darah telah
membantai kemanusiaan tanpa titik akhir. Pada waktu yang hampir bersamaan,
Daniel Ross (2004) menulis buku Violent Democracy, dan Michael Mann (2005)
dengan buku The Dark Side of Democracy. Keduanya coba membongkar wajah suram
peradaban.
Di tahun-tahun itu, terorisme
dan perang terhadapnya, menghadirkan mimpi buruk dalam sejarah kemanusiaan. Tragisnya,
apa yang telah melukai humanitas justru terbungkus dalam sebentuk kepercayaan
suci pada demokrasi.
Keajaiban
Meski ada kesuraman, demokrasi
dan kebebasan tetap memikat dunia. Dua dekade sesudah kesuksesan gerakan
anti-apartheid, Afrika Selatan mengenang dan merayakan kebebasan pada 27
April 2014 mendatang. Di antara semua rasa suka akan demokrasi, mereka
menyebut kebebasan yang sudah datang itu sebagai keajaiban. Tahun ini, mereka
ingin merayakannya dengan kesungguhan, disertai komitmen membangun bangsa
yang kian beradab.
Dengan tema 20 years of freedom,
warga Afrika Selatan menaruh hormat kepada proses pahit yang mereka lewati
untuk meraih kemerdekaan. Di situ, ada satu hal yang mencolok. Mereka tidak
merayakan demokrasi melulu dengan pendekatan mekanistik-institusionalistik. Yang
dilakukan sekedar untuk memenuhi standar mekanisme formal dan menjawab
tuntutan pelembagaan demokrasi.
Mereka ingin merayakan demokrasi
dan kebebasan dengan pengalaman nyata. Yang terjadi ketika keadilan sosial
tercantum di lalel-label harga kebutuhan pokok rakyat. Ketika jalan bagi
rakyat untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan lebih mudah daripada periode
gelap sebelumnya. Sebab, sebetulnya demokrasi tidak pernah dirayakan dengan
murni sebagai keajaiban manakala penguasa tidak membangun hubungan politik
dengan rakyat. Demokrasi tidak menjadi keajaiban saat rakyat kehilangan
pembela politik di tengah kemiskinan yang kian mendera.
Komitmen
Demokrasi tetap menggetarkan
kesadaran global. Sebuah website yang diberi nama Democracy-Day dibuat untuk
menggalang pendidikan politik bagi generasi muda Amerika Serikat (AS). Ada
kegelisahan substansial di balik gagasan ini. Tercatat, setiap hari di AS,
tidak kurang 18.000 calon pemilih pemula bertanya tentang proses politik.
Mereka ingin mengelola rasa
ingin tahu kaum muda tentang kekuatan utama dari partisipasi politik.
Terutama berkaitan dengan proses pembuatan kebijakan publik yang adil,
demokratis, dan beradab. Dengan itu, mereka juga ingin memastikan
keberlanjutan nilai-nilai demokrasi. Untuk mendukung aksi ini, mereka merayakan
Democracy Day pada 21 Maret 2014.
Pelajaran yang dapat kita petik
cukup sederhana. Negara yang dikenal sebagai kampiun demokrasi ternyata masih
memikirkan cara paling tepat untuk merayakan demokrasi. Mereka ingin mendidik
generasi muda agar melek politik, menghidupi cara pikir demokrasi substansial
dan mengontrol proses-proses politik secara langsung dan benar. Begitu cara
mereka merayakan demokrasi.
Keadaban
Berselang sebulan lagi, kita
akan menyelengarakan pemilu ke empat sesudah tumbangnya rezim Orde Baru. Agaknya
cukup mudah untuk dikatakan bahwa kualitas tanggung jawab politik kita akan
menentukan cerita indah demokratisasi di negeri ini. Proses politik ini bisa
menjadi lorong lurus menuju kesejahteraan sosial, atau malahan menjadi jalan
tanpa hambatan menuju keruntuhan.
Tidak terbantahkan, tanggung
jawab politik yang semakin matang akan memperkecil sisi gelap demokrasi
sekaligus memompakan komitmen yang bening dalam membangun bangsa yang
beradab.
Titik utama dari usaha membangun
keadaban demokrasi ada pada kerelaan penguasa membuka mata batin politik pada
kegelisahan dan kecemasan publik.
Mereka harus memelihara dan
menyegarkan harapanharapan sosial di kedalaman jiwa publik. Mereka juga harus
memotong rantai kecemasan sosial dengan kesigapan politik.
Di satu kasus spesifik, kisruh
RUU KUHP dan KUHAP belakangan ini, Media Indonesia dalam Editorial (1/3)
mengajak penguasa untuk menyimak suara publik.
Tentu,
bukan hanya pada soal ini, tapi pada sederet persoalan pelik lainnya.
Kualitas tanggung jawab politik demokratik (responsibilitas demokratik)
penguasa diukur dari kemauan mendengar suara batin publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar