Politik
Teror dalam Demokrasi
Umbu TW Pariangu ;
Dosen Fisipol Universitas Nusa Cendana, Kupang
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Maret 2014
SAAT ini musim politik kian
`mekar ' ke puncak `perayaannya', yaitu pemilu legislatif (9 April) dan
pemilu presiden (9 Juli) 2014. Kehendak sejarah lima tahunan ini akan
menentukan arah demokrasi, apakah ia bisa membawa pemerintahan (kratos) bergerak lurus dan menautkan
sauhnya di pelabuhan kesejahteraan rakyat (demos), atau tinggal di tempat.
Salah satu indikator kematangan
demokrasi yang berpotensi mendekatkan demos pada tujuan kemaslahatannya ialah
budaya demokrasi. Tahun 2013, berdasarkan survei majalah Economist, dari 167 negara yang disurvei, kualitas demokrasi kita
bertengger di peringkat 53 dengan kategori cacat. Peringkat tersebut memang
naik dari 67 pada 2012, tetapi tetap disertai catatan soal masih cederanya
kultur demokrasi sehingga negara kita tak kunjung menjadi negara yang full democracy.
Teror
Yang menjadi problem di kultur
demokrasi kita salah satunya ialah rendahnya internalisasi nilai dan prinsip
kompetisi politik yang bersih, adil, dan beradab dalam perilaku ataupun
lembaga politik sehingga politik menghalalkan segala cara serta politik ke
kerasan yang menegasi etika dan moral terus dipraktikkan. Merebaknya aksi
teror menjelang pemilu yang memantik keresahan dan melukai politik batin
rakyat seperti pengeroyokan di Aceh yang menewaskan Ketua DPK Partai Nasional
Aceh (6/2); penembakan Posko Pemenangan Caleg NasDem di Aceh (16/2); dan
serangan bom molotov di rumah Caleg NasDem di Aceh (21/2).
Kekerasan politik selalu tak
terlepas dari minimnya modal sosial berupa apresiasi publik terhadap
demokrasi yang selama ini lebih didikte nafas prosedural dan kekuatan
kapital. Napas pemilihan langsung yang sebetulnya dihembuskan untuk
menghidupkan organ dan roh demokrasi justru kerap disabotase oleh nafsu
politik uang yang menjungkalkan akal sehat dan rasionalitas publik.
Akibatnya, politik terdegradasi menjadi ruang pemberhalaan kekuasaan
menggiurkan bagi mahkluk politik (zoon
politikon) untuk menggadaikan sportivitas, kejujuran, dan integritas demi
uang, kursi, dan selir.
Kita menyaksikan bagaimana
sosok-sosok berintegritas (seperti menteri, ketua partai, kepala SKK Migas,
ketua MK, para kepala daerah, dan pimpinan jabatan publik lainnya), yang
harusnya jadi role model perilaku sosial yang beradab, justru keburu tumbang
diseret Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Judul novel Christopher Koch, The Year of Living Dangerously kurang
lebih cocok untuk melukiskan keadaan demokrasi kita. Dikatakan, demokrasi
sejatinya tidak mengurangi, tetapi justru memperbanyak risiko atau bahaya.
Demokrasi yang dijalankan di tengah-tengah kondisi masyarakat yang diliputi
kemiskinan, kesenjangan sosial, dan pendidikan rendah hanya akan melahirkan democrazy yang dipenuhi kaum tirani
modal dan para oligarki.
Kita khawatir Pemilu 2014 akan
menjadi sumbu pendek kekerasan jika situasi politik terus dibiarkan
dicengkeram oleh perang kepentingan yang berujung bedil dan darah. Saat ini
kita melihat bagaimana politik pencemaran nama baik, kampanye hitam, dan
siasat adu domba politik mulai muncul di mana-mana. Atmosfer religius di
ruang-ruang ibadah mulai berubah panas dan sumuk oleh hembusan propaganda
politik murahan berbungkus ibadah. Karenanya, negara (pemerintah dan aparat
hukum) semestinya harus tampil sebagai alat pencegah dan proteksi terdepan un
tuk meng eliminasi benih-benih kekerasan se terus menjadi hingga tidak terus
menjadi `negara darurat' (notstaat) yang hanya eksis dalam mem peragakan
hukum rimba bagi rakyat kecil.
Mengubah pilihan
Di sisi lain, agar pemilu tidak
terus memproduksi `badut-badut politik' yang korup, rakyat harus setop
memanjakan diri dengan apati politik. Menurut Jac Ranciere (2010:78), rakyat
sebaliknya perlu melakukan politik subjektifikasi, yakni politik penggalangan
kekuatan sosial bersama media (koran, televisi, radio, internet) untuk mengawal
dan menyelamatkan pemilu dari politik manipulasi dan para caleg pengobral
janji yang miskin gagasan dan in tegritas.
Salah
satunya, harus ada perubahan pilihan politik rakyat dari pertimbangan
emosional-subjektif ke pilihan berdasarkan pertimbangan konstruktif yang
berbasis program dan kapabilitas partai/caleg.Kita ingin Pemilu 2014
menghadirkan para wakil rakyat yang berjiwa respondeo ergo sum (saya
bertanggung jawab, maka saya ada) di panggung kratos. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar