Kamis, 06 Maret 2014

Politik Teror dalam Demokrasi

Politik Teror dalam Demokrasi

Umbu TW Pariangu  ;   Dosen Fisipol Universitas Nusa Cendana, Kupang
MEDIA INDONESIA,  05 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
SAAT ini musim politik kian `mekar ' ke puncak `perayaannya', yaitu pemilu legislatif (9 April) dan pemilu presiden (9 Juli) 2014. Kehendak sejarah lima tahunan ini akan menentukan arah demokrasi, apakah ia bisa membawa pemerintahan (kratos) bergerak lurus dan menautkan sauhnya di pelabuhan kesejahteraan rakyat (demos), atau tinggal di tempat.

Salah satu indikator kematangan demokrasi yang berpotensi mendekatkan demos pada tujuan kemaslahatannya ialah budaya demokrasi. Tahun 2013, berdasarkan survei majalah Economist, dari 167 negara yang disurvei, kualitas demokrasi kita bertengger di peringkat 53 dengan kategori cacat. Peringkat tersebut memang naik dari 67 pada 2012, tetapi tetap disertai catatan soal masih cederanya kultur demokrasi sehingga negara kita tak kunjung menjadi negara yang full democracy.

Teror

Yang menjadi problem di kultur demokrasi kita salah satunya ialah rendahnya internalisasi nilai dan prinsip kompetisi politik yang bersih, adil, dan beradab dalam perilaku ataupun lembaga politik sehingga politik menghalalkan segala cara serta politik ke kerasan yang menegasi etika dan moral terus dipraktikkan. Merebaknya aksi teror menjelang pemilu yang memantik keresahan dan melukai politik batin rakyat seperti pengeroyokan di Aceh yang menewaskan Ketua DPK Partai Nasional Aceh (6/2); penembakan Posko Pemenangan Caleg NasDem di Aceh (16/2); dan serangan bom molotov di rumah Caleg NasDem di Aceh (21/2).

Kekerasan politik selalu tak terlepas dari minimnya modal sosial berupa apresiasi publik terhadap demokrasi yang selama ini lebih didikte nafas prosedural dan kekuatan kapital. Napas pemilihan langsung yang sebetulnya dihembuskan untuk menghidupkan organ dan roh demokrasi justru kerap disabotase oleh nafsu politik uang yang menjungkalkan akal sehat dan rasionalitas publik. Akibatnya, politik terdegradasi menjadi ruang pemberhalaan kekuasaan menggiurkan bagi mahkluk politik (zoon politikon) untuk menggadaikan sportivitas, kejujuran, dan integritas demi uang, kursi, dan selir.

Kita menyaksikan bagaimana sosok-sosok berintegritas (seperti menteri, ketua partai, kepala SKK Migas, ketua MK, para kepala daerah, dan pimpinan jabatan publik lainnya), yang harusnya jadi role model perilaku sosial yang beradab, justru keburu tumbang diseret Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Judul novel Christopher Koch, The Year of Living Dangerously kurang lebih cocok untuk melukiskan keadaan demokrasi kita. Dikatakan, demokrasi sejatinya tidak mengurangi, tetapi justru memperbanyak risiko atau bahaya. Demokrasi yang dijalankan di tengah-tengah kondisi masyarakat yang diliputi kemiskinan, kesenjangan sosial, dan pendidikan rendah hanya akan melahirkan democrazy yang dipenuhi kaum tirani modal dan para oligarki.

Kita khawatir Pemilu 2014 akan menjadi sumbu pendek kekerasan jika situasi politik terus dibiarkan dicengkeram oleh perang kepentingan yang berujung bedil dan darah. Saat ini kita melihat bagaimana politik pencemaran nama baik, kampanye hitam, dan siasat adu domba politik mulai muncul di mana-mana. Atmosfer religius di ruang-ruang ibadah mulai berubah panas dan sumuk oleh hembusan propaganda politik murahan berbungkus ibadah. Karenanya, negara (pemerintah dan aparat hukum) semestinya harus tampil sebagai alat pencegah dan proteksi terdepan un tuk meng eliminasi benih-benih kekerasan se terus menjadi hingga tidak terus menjadi `negara darurat' (notstaat) yang hanya eksis dalam mem peragakan hukum rimba bagi rakyat kecil.

Mengubah pilihan

Di sisi lain, agar pemilu tidak terus memproduksi `badut-badut politik' yang korup, rakyat harus setop memanjakan diri dengan apati politik. Menurut Jac Ranciere (2010:78), rakyat sebaliknya perlu melakukan politik subjektifikasi, yakni politik penggalangan kekuatan sosial bersama media (koran, televisi, radio, internet) untuk mengawal dan menyelamatkan pemilu dari politik manipulasi dan para caleg pengobral janji yang miskin gagasan dan in tegritas.

Salah satunya, harus ada perubahan pilihan politik rakyat dari pertimbangan emosional-subjektif ke pilihan berdasarkan pertimbangan konstruktif yang berbasis program dan kapabilitas partai/caleg.Kita ingin Pemilu 2014 menghadirkan para wakil rakyat yang berjiwa respondeo ergo sum (saya bertanggung jawab, maka saya ada) di panggung kratos.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar