Pilihlah
Aku, Kau Kutipu!
M Riza Damanik ;
Direktur Eksekutif IGJ,
Dewan Pembina
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia
|
SINAR
HARAPAN, 05 Maret 2014
Penyelenggaraan
Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 nyaris tidak menambah optimisme dan pendidikan
politik bagi rakyat Indonesia.
Faktanya,
meski sejumlah survei telah menyebut mayoritas publik tidak puas dengan
kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2009-2014, sekitar 90 persen
dari anggota DPR kembali mencalonkan diri pada Pemilu 2014.
Tidak
hanya secara fisik, para kandidat calon anggota legislatif (caleg) dan calon
presiden (capres) juga menjual gagasan usang yang sudah terbukti gagal dalam
berkali-kali pemerintahan berjalan.
Parahnya,
tim sukses dari para kandidat capres dan caleg justru masih menggunakan
strategi kampanye lawas, seperti menggantungkan foto si kandidat di sejumlah
pohon, tembok pojok jalan, sesekali di surat kabar dan televisi.
Sekali
lagi, tidak ada gagasan baru yang hendak disampaikan kepada rakyat pemilih (voters), dari sekadar ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri, Selamat Hari
Raya Natal dan Tahun Baru 2014, serta peringatan hari-hari besar nasional
lain.
Agenda Rakyat
Sejatinya,
Pemilu 2014 adalah momentum konstitusional untuk memenangkan agenda rakyat.
Datanglah ke perkampungan tambak udang di Bumi Dipasena, Lampung. Bagi 7.500
kepala keluarga (KK) petambak, pemilu tidak lebih penting dari kesadaran
warga membersihkan pemerintahan dan DPR dari orang-orang lama yang tidak
amanah, serta gagal melindungi dan memulihkan hak-hak konstitusional mereka.
Itu
termasuk hak mendapatkan perlindungan hukum dari berbagai dugaan kejahatan PT
Aruna Wijaya Sakti, hak mendapatkan kepastian dan perlindungan dalam
berusaha, hingga hak memilih berbudi daya udang secara mandiri.
Di
Tanjung Balai dan Langkat, Sumatera Utara, momentum Pemilu 2014 hanya
bermanfaat jika presiden dan anggota DPR terpilih berani menghentikan
beroperasinya kapal-kapal trawl (pukat harimau) dan konversi ekosistem hutan
mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit.
Itu
karena keduanya penyebab utama dari kerusakan ekosistem laut, tergenangnya
permukiman rakyat, dan berkurangnya tangkapan ikan sekitar 40.000 KK nelayan
tradisional.
Hal yang
sama terjadi di timur Indonesia. Bagi masyarakat hukum adat Lamalera, Nusa
Tenggara Timur (NTT), pemilu bukan dimaksudkan menarik perhatian dari
presiden ataupun anggota DPR agar terlibat jauh dalam menentukan arah
pembangunan Lamalera.
Terbukti,
selama ini campur tangan pemerintah dan DPR—melalui kebijakan privatisasi,
komersialisasi, hingga konservasi Laut Sawu—telah menyebabkan tradisi
kebaharian rakyat Lamalera nyaris tergusur.
Sementara
itu, nelayan di Tarakan, Kalimantan Utara, yang berbatasan langsung dengan
negara tetangga, Malaysia, berharap Pemilu 2014 segera melahirkan presiden
dan DPR yang berani mereformasi kinerja aparatur keamanan Indonesia di
perbatasan negara.
Harapannya,
pencurian ikan segera diberantas, praktik impor ikan dan penyeludupan BBM
bersubsidi segera berhenti, hingga tidak ada lagi “pemalakan” oleh aparat
negara kepada nelayan-nelayan tradisional Indonesia di tengah laut.
Terbukti,
agenda rakyat bukanlah sebuah perjuangan politik tanpa cita-cita. Bukan pula
sikap mengemis belas kasih dari para capres ataupun caleg. Tapi, ini sebuah
agenda besar untuk menuju masyarakat Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil, dan makmur.
Perbaharui Komitmen
Bagi
sebagian orang, keputusan menjadi capres atau anggota parlemen hanya terbatas
urusan popularitas atau sekadar mencari pekerjaan baru.
Sementara
itu, bagi sebagian lainnya, ini adalah pertaruhan besar (terlibat)
mengembalikan arah pembangunan Indonesia ke jalan konstitusi yang melindungi
dan memenangkan kepentingan (baca: agenda) rakyat. Pada realitas tersebut,
integritas para kandidat dan kecerdasan rakyat pemilih dipertaruhkan.
Belum
terlambat memenangkan agenda rakyat. Pemimpin partai politik (parpol) peserta
pemilu dapat memperbaharui visi misinya agar lebih “membumi”, serta sensitif
dengan kepentingan rakyat di kampung. Demikian juga, memastikan para kandidat
presiden dan anggota legislatif yang diusung memiliki integritas dan tanggung
jawab melakukan pendidikan politik kepada rakyat dengan “menjual” gagasan,
bukan pencitraan dan (apalagi) politik uang.
Akhirnya, suara rakyat terdidiklah yang menentukan masa depan
Indonesia. Tanpa memperbaharui komitmen politik, para capres maupun caleg bak
sedang berkampanye, “Pilihlah aku, Kau
kutipu! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar