Kamis, 06 Maret 2014

Pilihlah Aku, Kau Kutipu!

Pilihlah Aku, Kau Kutipu!

M Riza Damanik  ;   Direktur Eksekutif IGJ,
Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia
SINAR HARAPAN,  05 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 nyaris tidak menambah optimisme dan pendidikan politik bagi rakyat Indonesia.

Faktanya, meski sejumlah survei telah menyebut mayoritas publik tidak puas dengan kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2009-2014, sekitar 90 persen dari anggota DPR kembali mencalonkan diri pada Pemilu 2014.

Tidak hanya secara fisik, para kandidat calon anggota legislatif (caleg) dan calon presiden (capres) juga menjual gagasan usang yang sudah terbukti gagal dalam berkali-kali pemerintahan berjalan.

Parahnya, tim sukses dari para kandidat capres dan caleg justru masih menggunakan strategi kampanye lawas, seperti menggantungkan foto si kandidat di sejumlah pohon, tembok pojok jalan, sesekali di surat kabar dan televisi.

Sekali lagi, tidak ada gagasan baru yang hendak disampaikan kepada rakyat pemilih (voters), dari sekadar ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri, Selamat Hari Raya Natal dan Tahun Baru 2014, serta peringatan hari-hari besar nasional lain.

Agenda Rakyat

Sejatinya, Pemilu 2014 adalah momentum konstitusional untuk memenangkan agenda rakyat. Datanglah ke perkampungan tambak udang di Bumi Dipasena, Lampung. Bagi 7.500 kepala keluarga (KK) petambak, pemilu tidak lebih penting dari kesadaran warga membersihkan pemerintahan dan DPR dari orang-orang lama yang tidak amanah, serta gagal melindungi dan memulihkan hak-hak konstitusional mereka.

Itu termasuk hak mendapatkan perlindungan hukum dari berbagai dugaan kejahatan PT Aruna Wijaya Sakti, hak mendapatkan kepastian dan perlindungan dalam berusaha, hingga hak memilih berbudi daya udang secara mandiri.

Di Tanjung Balai dan Langkat, Sumatera Utara, momentum Pemilu 2014 hanya bermanfaat jika presiden dan anggota DPR terpilih berani menghentikan beroperasinya kapal-kapal trawl (pukat harimau) dan konversi ekosistem hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit.

Itu karena keduanya penyebab utama dari kerusakan ekosistem laut, tergenangnya permukiman rakyat, dan berkurangnya tangkapan ikan sekitar 40.000 KK nelayan tradisional.

Hal yang sama terjadi di timur Indonesia. Bagi masyarakat hukum adat Lamalera, Nusa Tenggara Timur (NTT), pemilu bukan dimaksudkan menarik perhatian dari presiden ataupun anggota DPR agar terlibat jauh dalam menentukan arah pembangunan Lamalera.

Terbukti, selama ini campur tangan pemerintah dan DPR—melalui kebijakan privatisasi, komersialisasi, hingga konservasi Laut Sawu—telah menyebabkan tradisi kebaharian rakyat Lamalera nyaris tergusur.

Sementara itu, nelayan di Tarakan, Kalimantan Utara, yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, Malaysia, berharap Pemilu 2014 segera melahirkan presiden dan DPR yang berani mereformasi kinerja aparatur keamanan Indonesia di perbatasan negara.

Harapannya, pencurian ikan segera diberantas, praktik impor ikan dan penyeludupan BBM bersubsidi segera berhenti, hingga tidak ada lagi “pemalakan” oleh aparat negara kepada nelayan-nelayan tradisional Indonesia di tengah laut.

Terbukti, agenda rakyat bukanlah sebuah perjuangan politik tanpa cita-cita. Bukan pula sikap mengemis belas kasih dari para capres ataupun caleg. Tapi, ini sebuah agenda besar untuk menuju masyarakat Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Perbaharui Komitmen

Bagi sebagian orang, keputusan menjadi capres atau anggota parlemen hanya terbatas urusan popularitas atau sekadar mencari pekerjaan baru.

Sementara itu, bagi sebagian lainnya, ini adalah pertaruhan besar (terlibat) mengembalikan arah pembangunan Indonesia ke jalan konstitusi yang melindungi dan memenangkan kepentingan (baca: agenda) rakyat. Pada realitas tersebut, integritas para kandidat dan kecerdasan rakyat pemilih dipertaruhkan.

Belum terlambat memenangkan agenda rakyat. Pemimpin partai politik (parpol) peserta pemilu dapat memperbaharui visi misinya agar lebih “membumi”, serta sensitif dengan kepentingan rakyat di kampung. Demikian juga, memastikan para kandidat presiden dan anggota legislatif yang diusung memiliki integritas dan tanggung jawab melakukan pendidikan politik kepada rakyat dengan “menjual” gagasan, bukan pencitraan dan (apalagi) politik uang.

Akhirnya, suara rakyat terdidiklah yang menentukan masa depan Indonesia. Tanpa memperbaharui komitmen politik, para capres maupun caleg bak sedang berkampanye, “Pilihlah aku, Kau kutipu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar