Pendidikan
Agama di Sekolah
Hery Nugroho ;
Guru Pendidikan Agama Islam SMA 3
Semarang, Alumnus Magister Administrasi Pendidikan Undip dan Magister
Pendidikan Islam IAIN Walisongo
|
SUARA
MERDEKA, 07 Maret 2014
Pendidikan
agama di sekolah berperan strategis
dalam mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Hal itu selaras
amanat Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Ketercapaian fungsi
dan tujuan itu tidak lepas dari peranan pendidikan agama, sebagaimana
termaktub dalam Pasal 2 (1) PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama.
Kadang
ada yang mempertanyakan urgensi peran pendidikan agama, ketika ada peserta
didik terbukti melanggar norma masyarakat atau agama. Padahal guru Pendidikan
Agama tiada henti mengingatkan peserta didik supaya taat beribadah dan
mempunyai budi pekerti luhur (akhlakul karimah) dalam kehidupan sehari-hari.
Realitasnya,
siswa kadang menjadi ’’bingung’’ karena materi yang mereka peroleh dari
sekolah acap berbeda dari kenyataan yang mereka lihat di masyarakat. Pertama;
adab berpakaian. Materi Pendidikan Agama Islam SMA membahas soal adab
berpakaian. Guru Pendidikan Agama mendidik siswi untuk menutup aurat, tapi
mereka melihat fakta berbeda di lapangan, termasuk yang dipertontonkan
televisi.
Kedua;
ketaatan. Guru Pendidikan Agama mengajarkan peserta didik menaati peraturan
dalam berlalu lintas. Faktanya, tidak sedikit pelajar berkendara dengan
melanggar peraturan lalu lintas.Ketiga; kejujuran. Siswa kelas X mendapat
materi mengenai kejujuran. Kenyataan di masyarakat, peserta didik melihat
tidak sedikit pejabat yang mestinya menjadi anutan atau tokoh publik
melakukan ketidakjujuran.
Keempat;
kebersihan. Guru Pendidikan Agama tiada henti mengingatkan peserta didik
menjaga kebersihan, antara lain membuang sampah pada tempatnya. Faktanya,
siswa pasti sering melihat anggota masyarakat masih membuang sampah secara
sembarangan. Dari empat contoh saja, kita bisa memperkirakan peserta didik
’’bingung’’. Untuk mewujudkan fungsi sebagaimana dicita-citakan dalam
pendidikan nasional, tidak cukup hanya dengan memberikan mapel Pendidikan
Agama. Keterwujudan cita-cita tersebut membutuhkan partisipasi seluruh
komponen masyarakat melalui beberapa langkah strategis.
Kompetensi Inti
Pertama;
pembentukan akhlak mulia pada anak didik di lingkup sekolah bukan hanya
menjadi tugas guru Pendidikan Agama dan PKn melainkan juga merupakan tanggung
jawab guru semua mata pelajaran. Kurikulum 2013 mengamanatkan guru semua
mapel mengaitkan 4 kompetensi inti, yakni sikap spiritual, sosial,
pengetahuan, dan keterampilan.
Kedua;
dukungan masyarakat. Bila masyarakat mendukung lewat cara memberikan teladan
yang baik, misal membuang sampah pada tempatnya, berbusana yang menutup
aurat, tertib dalam berlalu lintas, dan berlaku jujur, dengan sendirinya
peserta didik cenderung meniru perilaku itu. Bahkan bila sudah menjadi kebiasaan akan menjadi
karakter.
Ketiga;
seleksi berita/tayangan pada media massa. Peran media massa, khususnya media
elektronik, sangat berpengaruh terhadap perilaku anak. Karenanya, pemilik
media jangan hanya mementingkan aspek bisnis tapi juga nasib anak bangsa. Di
sinilah peran penting KPID untuk mengontrol media supaya pemberitaannya bisa
mengedukasi dan mencerahkan.
Keempat;
sinergitas antarpemangku kepentingan. Seyogianya Kemendikbud dan Kemenag
bersinergi dalam pelaksanaan kompetensi inti religius dan sosial di sekolah.
Selain itu, kementerian atau lembaga pemerintah yang terkait dengan
pendidikan juga perlu bersinergi. Tidak kalah penting keteladanan pejabat
pemerintah yang akan menjadi rujukan masyarakat, termasuk bagi peserta didik.
Apabila ada kerja sama dengan baik dan saling bersinergi, penulis yakin
fungsi dan tujuan pendidikan nasional bisa segera tercapai. Secara tidak
langsung pendidikan agama di sekolah tidak akan menghadapi dilema, bahkan
menjadi pioner dalam mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar