Lumpur
Lapindo
Wahyu Dhyatmika ;
Wartawan Tempo
|
TEMPO.CO,
07 Maret 2014
Dua
bulan lagi, genap sudah delapan tahun bencana lumpur panas Lapindo menjadi
bagian dari sejarah Indonesia. Kenangan saya soal bencana lumpur ini tidak
datang tiba-tiba menjelang pemilu April mendatang, meski lumpur Lapindo
selalu dikaitkan dengan sosok pemilik PT Lapindo, Aburizal Bakrie, yang kini
mencalonkan diri menjadi presiden. Ingatan ini mencuat ketika saya
membuka-buka buku pelajaran pendidikan lingkungan hidup untuk siswa kelas III
sekolah dasar milik anak sulung saya.
Saya
kaget karena, di tengah-tengah buku itu, tepatnya di bab tentang bencana
alam, ada penjelasan khusus tentang lumpur Lapindo. Lengkap dengan bagan,
gambar ilustrasi, dan beberapa paragraf penjelasan, Lumpur Lapindo mendadak
hadir kembali di benak saya, kali ini sebagai informasi yang direproduksi
untuk kepentingan pendidikan.
Buku
pelajaran sekolah itu meletakkan lumpur Lapindo dalam kategori bencana alam
bersama sederet musibah lain, seperti banjir, gunung meletus, tsunami, gempa
bumi, dan tanah longsor. Penyebab bencana, menurut buku itu, ada dua:
kehendak alam dan kelalaian manusia. Tak dijelaskan dengan tegas lumpur Lapindo
masuk kategori bencana akibat alam atau manusia.
Buat
saya, sah-sah saja mencantumkan lumpur Lapindo dalam buku pelajaran sekolah
anak-anak kelas III sekolah dasar. Faktanya, insiden itu memang benar-benar
terjadi, dan anak-anak sekolah perlu mengetahui jenis bencana alam macam itu.
Tapi hendaknya informasi yang disampaikan lengkap, tidak sepotong-sepotong.
Yang
saya baca justru kegamangan sang penulis buku dalam menjelaskan konteks
lumpur Lapindo secara seutuhnya. Pertama-tama, lumpur Lapindo ditulis sebagai
"Lumpur Lapindo" dan disandingkan sejajar dengan tsunami, gempa,
banjir, dan lain-lain. Dia menjadi satu-satunya bencana alam yang menyandang
nama perusahaan dalam penyebutannya. Kalau mau adil, seharusnya ada
"Kebakaran Hutan RAPP" atau "Banjir UOB", misalnya. Dari
sini saja, seharusnya si penulis memberikan alasan mengapa ada nama bencana
alam yang spesial macam itu.
Kemudian,
buku ini tak menjelaskan dengan tegas apakah pengeboran minyak PT Lapindo
Brantas merupakan pemicu dari semburan lumpur panas itu atau tidak.
Perdebatan panjang para ahli geologi sama sekali tidak disinggung. Tanpa
konteks tersebut, kompleksitas masalah lumpur Lapindo jadi hilang dari
perbendaharaan pengetahuan siswa sekolah. Belum lagi kalau mau mengulas aspek
politik, ekonomi, dan sosial dari bencana itu.
Sampai
sekarang, lautan lumpur cokelat kehitaman yang menenggelamkan ribuan rumah
beserta seluruh denyut nadi kehidupan di tiga kecamatan, di Sidoarjo, Jawa
Timur, itu masih ada di sana. Saya setuju kita semua harus belajar dari
bencana tersebut, termasuk soal cara kita menanganinya, dari semula berusaha
menutup lubang semburan dengan aneka metode, sampai kini menyerah lalu
membiarkan lumpur mengalir ke laut. Tapi caranya tentu bukan dengan
menampilkan fakta sepotong-sepotong dalam beberapa halaman buku pelajaran
sekolah dasar. Dibutuhkan sebuah dokumentasi yang sistematis, lengkap dan
obyektif agar anak-anak kita bisa belajar dengan benar tentang suatu bencana
besar semacam itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar