Momentum
James Luhulima ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS,
22 Maret 2014
PADA
Jumat (14/3) lalu, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati
Soekarnoputri akhirnya memberikan mandat kepada Joko Widodo untuk menjadi
calon presiden dari PDI-P. Keputusan itu disampaikan Megawati dalam Rapat DPP
PDI-P di Lenteng Agung.
Tidak
lama setelah itu, mandat yang diberikan Megawati itu dibacakan kepada pers
oleh Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDI-P Puan Maharani. Ia didampingi
Sekretaris Jenderal PDI-P Tjahjo Kumolo, Wakil Sekjen PDI-P Hasto
Kristiyanto, dan Ketua DPP PDI-P Maruarar Sirait.
Saat
Puan menyebut nama Joko Widodo sebagai calon presiden dari PDI-P, ruangan menjadi
ramai, dan terdengar suara orang bertepuk tangan. Reaksi seperti itu muncul
karena memang sudah cukup lama orang menunggu-nunggu hal itu. Bahkan, tidak
sedikit yang merasa tegang karena Megawati tidak kunjung menunjuk dia menjadi
calon presiden.
Nama
Joko Widodo, yang akrab dipanggil Jokowi, sangat populer di kalangan
masyarakat. Tidak hanya di Pulau Jawa, tetapi juga di pulau-pulau lain,
termasuk di wilayah barat dan timur Indonesia. Ia dengan cepat menjadi
kesayangan media (media darling). Setiap kegiatannya selalu mendapatkan porsi
pemberitaan yang besar.
Tanggal
8 Januari 2014, harian Kompas memuat hasil survei tingkat elektabilitas para
calon presiden. Ada enam nama yang dimunculkan, yakni Joko Widodo, Prabowo
Subianto, Aburizal Bakrie, Wiranto, Megawati, dan Jusuf Kalla. Dan, Joko
Widodo (Jokowi) menempati urutan teratas dengan 43,5 persen. Prabowo berada
di urutan kedua (11,1 persen), disusul oleh Aburizal Bakrie (9,2 persen),
Wiranto (6,3 persen), Megawati (6,1 persen), dan Kalla (3,1 persen).
Apa yang
dicapai Jokowi itu merupakan sebuah fenomena. Sangat sulit menjelaskan
mengapa hal seperti itu dapat terjadi. Mengapa Jokowi bisa sedemikian
populer. Berbagai macam teori bisa dikemukakan untuk mencoba menjelaskan
fenomena itu, tetapi alasannya yang sebenarnya tetap merupakan misteri.
Itu
sebabnya, tulisan di kolom ini pada 18 Januari 2014, 10 hari setelah harian
Kompas menurunkan tulisan hasil survei tentang tingkat elektabilitas para
calon presiden, diberi judul ”Tanda-tanda
Zaman...”. Tujuannya adalah agar Megawati menangkap tanda-tanda yang
ditunjukkan oleh survei itu. Dan, tampaknya Megawati menangkap tanda-tanda
itu.
Hanya
saja, Megawati tidak mengungkap, kapan pencalonan Jokowi oleh PDI-P akan
diumumkan. Semula disebutkan, pengumuman Jokowi sebagai calon presiden akan
dilakukan setelah pemilu legislatif, 9 April 2014, dilakukan. Namun, ternyata
ada pertimbangan lain. PDI-P khawatir perolehan 25 persen dari suara pemilih
tidak dapat dicapai.
Ini
mengingat Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden
mengatur pagu partai untuk mengajukan calon presiden (presidential threshold)
adalah memiliki sedikitnya 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara pemilih.
Apalagi
tulisan hasil survei Kompas tentang pilihan publik terhadap partai politik di
harian Kompas, 9 Januari 2014, menyebutkan, PDI-P hanya punya peluang untuk
meraih suara paling banyak 21,8 persen. Jika itu yang terjadi, berarti PDI-P
harus berkoalisi dengan partai lain untuk mengajukan calon presiden. Sesuatu
hal yang ingin dihindari oleh PDI-P.
Itu
sebabnya, Megawati menunjuk Jokowi sebagai calon presiden dua hari menjelang
pelaksanaan kampanye pemilu legislatif. PDI-P berharap popularitas Jokowi
dapat mengangkat perolehan suara PDI-P dalam pemilu legislatif hingga lebih dari
25 persen suara pemilih sehingga dapat mengajukan calon presidennya
sendirian.
Jokowi
tidak punya pilihan lain kecuali menerima penunjukan dirinya. Kesempatan itu
tak boleh disia-siakan karena hanya muncul satu kali seumur hidup. Jika
Jokowi tidak mengambil kesempatan itu sekarang, kesempatan itu mungkin tidak
akan muncul kembali.
Penunjukan
dan kesediaan Jokowi menerimanya menimbulkan reaksi yang sangat beragam. Ada
yang gembira, ada yang cemas dan khawatir, terutama calon-calon presiden
lain, dan ada yang berpendapat bahwa pada saat ini Jokowi belum pantas untuk
menerima pencalonan itu, lebih baik ia menunggu lima tahun lagi, dengan
alasan yang beragam. Orang-orang itu tampaknya tidak memahami apa yang
dimaksudkan dengan momentum. Kalau Jokowi menunggu lima tahun lagi,
momentumnya sudah hilang.
Tidak
sedikit yang mempersoalkan kapasitas Jokowi untuk menjadi presiden. Berbagai
argumen dikemukakan untuk mencoba membuktikan hal itu. Namun, kita juga tahu
bahwa semua itu hanya hitung-hitungan di atas kertas. Tidak sedikit calon
yang dinilai memiliki kapasitas untuk menjadi presiden, tetapi tingkat
elektabilitasnya rendah. Atau, ada orang yang diyakini mempunyai kapasitas
sebagai presiden, tetapi ternyata ia tidak dapat membuktikannya. Namun,
rasanya, Jokowi memiliki kapasitas itu, kalau tidak, mengapa Megawati
akhirnya memilih dia.
Apa yang
dialami Jokowi adalah fenomena. Kepopulerannya sejak menjadi Wali Kota Solo
meningkat pesat saat ia dicalonkan sebagai calon gubernur DKI Jakarta, dan
terus melesat dengan cepat setelah ia menjadi Gubernur DKI Jakarta pada tahun
2012. Namanya kemudian mulai disebut-sebut untuk maju sebagai calon presiden.
Apalagi, hampir semua hasil survei memperlihatkan tingkat elektabilitas
tinggi.
Namun,
fenomena itu tidak boleh membuat Jokowi lengah. Ia harus ekstra hati-hati
dalam meniti momentum yang siap melontarkannya ke atas pada hari-harinya ke
depan. Ia tidak boleh melakukan kesalahan. Ia harus tetap rendah hati dan
bersahaja seperti ia dikenal selama ini. Sekali saja melakukan kesalahan,
sekecil apa pun, ia akan tergelincir dan dilindas oleh momentum itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar