Kegagalan
Menjaga Konstitusi
Saldi Isra ; Guru Besar
Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum
Universitas Andalas, Padang
|
KOMPAS,
22 Maret 2014
HANYA dalam kisaran waktu dua bulan, Mahkamah
Konstitusi telah dua kali memutuskan permohonan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor
42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Meski
menyangkut isu dan substansi hukumnya berada dalam wilayah yang nyaris sama,
putusan MK dinilai bertolak belakang dan di antaranya seperti bergerak ke
wilayah yang berbeda.
Kamis
(20/3) sore, melalui Putusan No 108/PUU-XI/2013, MK menyatakan tidak dapat
menerima permohonan pengujian konstitusionalitas ambang batas pengajuan
pasangan calon presiden dan wakil (presidential
threshold) yang dimohonkan Yusril Ihza Mahendra. Dengan putusan tersebut,
ambang batas pengajuan pasangan capres (dan wapres), sebagaimana termaktub
dalam Pasal 9 UU No 42/2008, mendapat peneguhan baru dan tetap berlaku dalam
Pemilu 2014.
Sebelumnya,
23 Januari, melalui Putusan No 14/PUU-XI/2013, ketika mengabulkan permohonan
Effendi Gazali, MK menilai dan menyatakan pemilu anggota legislatif yang
dipisahkan penyelenggaraannya dengan pemilu presiden bertentangan dengan UUD
1945. Dengan dikabulkannya permohonan Effendi Gazali, MK mengembalikan desain
penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden pada makna dan semangat
Pasal 22E Ayat (1) dan (2) UUD 1945, yaitu pemilu diselenggarakan sekali
dalam lima tahun.
Padahal,
dalam batas penalaran yang wajar, meski diajukan oleh pemohon yang berbeda
dengan pilihan pasal-pasal yang tak persis sama, keduanya berada dalam titik
singgung sama: memutus tirani ambang batas pengajuan capres. Selama ini,
ambang batas dinilai sebagai akal-akalan parpol besar di DPR untuk memonopoli
pengajuan capres. Caranya, hasil pemilu legislatif dijadikan sebagai
persyaratan yang niscaya. Karena itu, penyelenggaraan pemilu legislatif
didahulukan dan dipisah dari pemilu presiden.
Menabrak UUD
Secara
konstitusional, Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, pasangan capres dan
wapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum
pelaksanaan pemilu. Ketentuan ini merupakan demarkasi dan sekaligus menjadi
ambang batas konstitusional bagi parpol untuk mengajukan pasangan calon. Dengan ketentuan itu, semua parpol
sepanjang memenuhi syarat menjadi peserta pemilu dapat mengajukan pasangan
capres. Dengan pemahaman itu, menjadi tak tepat dan tak beralasan membatasi kesempatan bagi parpol yang
dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu. Bentangan fakta yang ada selama ini,
rezim ambang batas sengaja dipelihara terutama oleh parpol yang memiliki
kursi besar di DPR. Bahkan, apabila dilacak perkembangan sepanjang munculnya
desakan menghapus rezim itu di DPR tahun lalu, sulit dibantah, parpol besar
tetap berada di balik penolakan ini. Celakanya, ide melestarikan ambang batas
tak dibaca MK sebagai bentuk pengingkaran nyata UUD 1945.
Padahal,
dengan membaca secara utuh desain yuridis Pasal 6A UUD 1945, tidak tersedia
lagi ruang bagi pembentuk UU untuk menambah syarat yang dapat menegasikan hak
konstitusional parpol peserta pemilu. Kalaupun tersedia ruang untuk mengatur
dengan UU sebagaimana termaktub dalam Pasal 6A Ayat (5) UUD 1945, hanya dibenarkan
sepanjang menyangkut tata cara pemilihan. Karena itu, menambah persyaratan
yang berpotensi mereduksi hak parpol peserta pemilu dapat dikatakan sebagai
bentuk pengingkaran nyata terhadap UUD 1945.
Karena
itu, begitu pembentuk UU menambah syarat pencalonan yang menghilangkan
kesempatan bagi semua parpol peserta pemilu, MK mesti memakai kuasa
konstitusionalnya mengembalikan pada kehendak UUD 1945. Dalam konteks itu,
jika dikaitkan dengan putusan dua bulan lalu, permohonan Yusril merupakan
upaya lebih lanjut menjawab beberapa catatan yang tersisa dengan
dikabulkannya permohonan Effendi Gazali. Sebagai penafsir dan penjaga
konstitusi, permohonan Yusril menyediakan ruang bagi MK mengembalikan makna
konstitusional Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 yang telah lama mengalami mati
suri.
Dengan
dasar berpikir seperti itu, sebagaimana pernah dinukilkan dalam ”(Bukan) Putusan yang Hambar” (Kompas, 27/1), dikemukakan, hakikat
diterimanya permohonan Effendi Gazali dengan mudah dapat diterapkan dalam
permohonan Yusril. Artinya, dalam batas penalaran yang wajar, tak ada alasan
bagi MK menolak permohonan penghapusan ambang batas yang diajukan Yusril.
Bagaimanapun, tatkala pemisahan pemilu legislatif dan pemilu presiden dinilai
inkonstitusional, maka ambang batas kehilangan dasar argumentasi untuk terus dipertahankan.
Kegagalan MK
Kritik
utama yang niscaya dikemukakan dalam putusan Yusril, hakim MK lebih menjaga
konsistensi dengan putusan sebelumnya dibandingkan menghidupkan kembali makna
hakiki Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945. Hal ini bisa dilacak dari putusan Effendi
Gazali saat MK secara eksplisit menyatakan ambang batas menjadi kebijakan
hukum terbuka (open legal policy)
dari pembentuk UU. Dengan membaca secara utuh konstruksi yuridis Pasal 6A UUD
1945, pilihan meneguhkan ambang batas sebagai kebijakan hukum terbuka inilah
yang dinilai banyak pihak bentuk nyata kegagalan MK menjaga konstitusi.
Padahal,
sekiranya mau dan mampu membangun dalil baru, MK sangat mungkin mengoreksi
putusan sebelumnya. Paling tidak, dalam putusan Effendi Gazali, hakim MK
telah melakukan langkah tepat dengan mengoreksi beberapa putusan, terutama
terkait ambang batas. Dalam pengertian itu, permohonan Yusril semestinya jadi
upaya lebih lanjut membangun dalil baru guna mengakhiri masa mati suri Pasal
6A Ayat (2) UUD 1945. Apalagi, secara substansial pemilu serentak dalam
Putusan No 14/PUU-XI/2013 masih belum tuntas alias masih menggantung.
Sebagai
lembaga yang diberi otoritas untuk mengoreksi semua UU yang dinilai
bertentangan dengan UUD 1945, semestinya MK terikat dengan pemenuhan otoritas
dimaksud. Untuk itu, semestinya hakim MK lebih merasa terikat dengan
konstitusi dibandingkan dengan putusan sendiri. Masalahnya, dalam putusan
Effendi Gazali upaya koreksi dilakukan, tetapi hal serupa tak dilakukan dalam
permohonan Yusril. Adakah ini semata-mata karena alasan menjaga konsistensi
dengan putusan sebelumnya? Atau, hakim MK memang tak punya keberanian untuk
masuk lebih jauh ke dalam wilayah ambang batas?
Padahal,
melihat bobot konstitusional pemilu serentak dan penghapusan ambang batas,
semestinya MK memberikan perlakuan tak berbeda antara pemenuhan makna dan
semangat Pasal 22E Ayat (1) dan (2) UUD 1945 serta Pasal 6A Ayat (2) UUD
1945. Bahkan, sekiranya rezim ambang batas tidak hadir, sangat mungkin uji materi
pemisahan pemilu legislatif dan pemilu presiden tidak pula diajukan ke MK.
Karena itu, ketika permohonan Yusril tidak diterima, hakim MK gagal memaknai
amanah yang diberikan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Tidak hanya itu, hakim MK
sekaligus tengah mempertontonkan kegagalan menjaga UUD 1945. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar