Menyedihkan,
Tawuran Antarmahasiswa
Darmaningtyas ;
Pengurus Taman Siswa
|
SINAR
HARAPAN, 11 Maret 2014
Kisruh
pemilihan Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sam Ratulangi (Unsrat)
yang dituding ada intervensi dari rektor berbuntut panjang. Pelantikan Prof
Dr Ralph Kairupan sebagai Dekan FK Unsrat yang baru menggantikan Prof Dr
Sarah Warouw oleh Rektor Unsrat Prof Dr Donald Rumokoy pada 26 Februari 2014,
bukan penyelesaian konflik, melainkan menjadi titik puncak persoalan.
Hal ini
kemudian berbuntut pencopotan Prof Dr Donald Rumokoy dari jabatan Rektor
Unsrat. Jabatan rektor pun dipegang Prof Dr Musliar Kasim, wakil menteri
pendidikan dan kebudayaan (wamendikbud) sebagai pelaksana tugas (plt).
Ini
untuk kedua kalinya pada masa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M
Nuh jabatan rektor PTN terkemuka diampu pejabat Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud). Sebelumnya, Rektor Universitas Indonesia (UI)
dijabat Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud, Prof Dr Djoko Santoso
(2012-2013). Meskipun langkah yang diambil Kemendikbud sama, persoalan UI dan
Unsrat agak berbeda. Di UI, sivitas akademika, termasuk mahasiswanya, jauh
lebih rasional. Meskipun di tingkat manajemen (rektorat) ada persoalan,
sampai jabatan rektor diampu Dirjen Dikti, dalam tataran dosen dan mahasiswa
tidak ada konflik. Kegiatan belajar-mengajar tetap berjalan seperti biasa,
seakan tidak ada persoalan apa-apa.
Menariknya,
di UI yang mencerminkan kedewasaan intelektual mereka adalah konflik
manajerial dan penyelesaiannya itu beriringan bersama dengan pembelajaran.
Artinya, di tingkat manajemen (rektorat, senat guru besar, dan MWA) berupaya
mencari solusi. Namun, semua itu tidak mengganggu belajar-mengajar sehingga
tidak ada pihak yang dirugikan.
Di
Unsrat, masalahnya menjadi rumit karena para mahasiswa kedokteran yang
menuntut rektor mundur sempat melakukan mogok kuliah. Saat demo menuntut
rektor mundur, mereka sampai memecahkan kaca-kaca rektorat. Ketika jabatan
rektor diambil alih wamendikbud sebagai plt, tiba-tiba muncul kasus tawuran
antarmahasiswa Fakultas Teknik dengan Fakultas Hukum. Tawuran ini menimbulkan
kerugian ratusan miliar rupiah.
Media
lokal menyebutkan empat gedung besar dua lantai yang terhubung dan terbakar
hebat, yaitu Gedung Fakultas Teknik. Laboratorium Elektro dan Arsitektur
serta ruang perkuliahan yang dibakar diperkirakan ada sekitar 30 ruangan.
Puluhan sepeda motor pun dibakar. Sementara itu, 14 mahasiswa luka parah dan
terkena sayatan pisau. Pejabat rektor pun mengambil putusan meliburkan
perkuliahan antara 6-12 Maret.
Sungguh
menyedihkan sekali apa yang terjadi di Unsrat tersebut karena kampus yang
melambangkan rasionalitas berpikir terjebak pada kekerasan fisik. Meminjam
istilah sosiolog UGM, Prof Dr Heru Nugroho, inilah yang disebut sebagai
banalitas kampus, yaitu suatu kondisi di mana para akademikus lebih tertarik
pada nilai pragmatis daripada nilai pengetahuan.
Fenomena
ini ditandai pendangkalan yang tidak disadari disertai dengan menurunnya
kualitas akademik, sekaligus merosotnya komitmen terhadap bidang ilmu yang
digeluti. Para akademikus cenderung lebih mementingkan nilai pragmatis
daripada nilai-nilai pengetahuan. Kegiatan penelitian dilakukan tidak dimaksudkan
sebagai basis pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi sekadar
proyek belaka untuk menambah kapital diri.
PTN-PTS Sama Saja
Banalitas
kampus itu terjadi di hampir semua kampus di Indonesia, baik negeri maupun
swasta. Artinya, baik PTN maupun PTS sama-sama mengalami banalitas. Di PTN
umumnya banalitas itu diawali perebutan jabatan struktural (dekan, rektor,
ketua lembaga, dan lain-lain), baik yang didasarkan dukungan kekuasaan yang
lebih tinggi (menteri) maupun orientasi organisasi (HMI, PMII, GMNI, dan
PMKRI). Di PTS banalitas kampus itu sering dipicu perebutan jabatan
struktural maupun aset. Oleh karena itu, banalitas kampus di PTS terjadi di
kampus-kampus yang besar, bukan di kampus-kampus kecil.
Kampus-kampus
yang besar menarik dari dua hal, yaitu jabatan struktural dan aset. Jabatan
struktural umumnya diperebutkan para dosen. Sementara itu, aset diperebutkan
antara rektorat dengan pengurus yayasan atau antarsesama pengurus yayasan
(biasanya keluarga pendiri)
yang
ingin memiliki aset tersebut sebagai simbol kekayaan pribadi/keluarga, bukan
sebagai sarana pembelajaran dan penelitian. Itu sebabnya kita dapat
menyaksikan konflik di PTS-PTS besar yang berkepanjangan karena masing-masing
pihak mengerahkan kekuatannya. Bahkan kasus yang telah memperoleh kekuatan
hukum dari Mahkamah Agung (MA) pun tidak mampu dieksekusi sehingga masalahnya
berkepanjangan hingga sekarang. Pada konflik tersebut, sering melibatkan
mahasiswa dan/atau mahasiswa menjadi korban dengan rusaknya fasilitas pendidikan
dan terganggunya kegiatan belajar-mengajar.
Baik di
PTN maupun PTS yang terjadi banalitas tersebut mencerminkan kampus telah
kehilangan orientasinya sebagai penjaga kebenaran. Universitas itu secara
generik didirikan untuk mencari kebenaran yang objektif. Itu sebabnya
universitas didirikan dengan dukungan berbagai disiplin ilmu agar kebenaran
yang harus ditegakkan itu berdasarkan berbagai perspektif, tidak hanya dari
satu disiplin keilmuan. Oleh karena itu, aktivitas kampus yang menonjol
seharusnya adalah melakukan kajian ilmiah mengenai permasalahan ilmu
pengetahuan, kemasyarakatan, dan kenegaraan. Hal ini berdasarkan berbagai
perspektif sehingga dapat memberikan solusi alternatif kepada pengambil
kebijakan maupun masyarakat luas agar tidak keblinger dalam kubangan
kesalahan maupun pelanggaran konstitusi. Sungguh ironis ketika orang-orang
kampus terjebak sikap pragmatis.
Apa pun
argumennya, ketika sivitas akademika (terlebih di PTN-PTN terkemuka) terjebak
pada banalitas, hal itu akan meruntuhkan citra universitas sebagai penjaga
kebenaran dan sekaligus mendegradasikan peran universitas dalam kehidupan
kemasyarakatan maupun kenegaraan. Penguasa pun akan sinis terhadap mereka
yang bergelar profesor doktor karena dinilai gelar tersebut tidak
mencerminkan kecendekiawanan mereka.
Padahal,
kedua gelar tersebut seharusnya mencerminkan kecendekiawanan seseorang.
Seorang cendekiawan sejati itu selalu mampu mengambil jarak dengan kekuasaan.
Kekuasaan, apa pun bentuknya, itu bukan menjadi orientasi utama seorang cendekiawan,
melainkan yang menjadi fokus mereka adalah tegaknya kebenaran. Kita dapat
mengambil contoh sikap kecendekiawanan itu seperti yang dilakukan almarhum
Prof Dr Sartono Kartodirdjo, sejarawan dari UGM.
Awal
1980 dia memilih keluar dari tim penulisan buku sejarah perjuangan bangsa
yang dikoordinasi Nugroho Notosusanto. Hal ini lantaran ia tidak mau menjadi
legitimator sejarah bangsa dari perspektif penguasa. Risiko sikap yang tegas
itu jelas, Sartono Kartodirdjo tidak pernah dipakai lagi oleh penguasa.
Namun,
semuanya itu telah disadarinya sebelum mengambil keputusan sehingga tidak
menjadi masalah baginya. Sulit mendapatkan seorang cendekiawan seperti dia
pada saat ini. Itu karena umumnya para profesor doktor kita akan memilih
mengambil sikap aman, yang penting dapat dipakai penguasa daripada
mempertahankan kecendekiawanan, tapi tidak dipakai penguasa.
Pada
masa lalu (setidaknya sebelum 2000-an), kampus-kampus besar di Indonesia
memiliki orang-orang besar yang selalu berbicara tentang kebenaran objektif.
Oleh karena itu, sebelum tahun 2000-an dapat dikatakan tidak ada konflik
fisik di PTN-PTN kita.
Hal itu
karena orientasi sivitas akademiknya memang tidak berburu kekuasaan dan
kekayaan, tapi pada pencarian kebenaran yang sejati. Sementara itu, akademikus
kita sekarang cenderung pragmatis sehingga wajar bila kemudian persoalan
perebutan jabatan dekan atau rektor saja dapat memicu konflik yang
berkepanjangan. Implikasi dari pemimpin universitas yang konflik, merembet ke
mahasiswanya.
Karena
itu, saatnya kampus dikembalikan peranannya sebagai penjaga kebenaran, bukan
sebagai kepanjangan tangan penguasa. Otonomi kampus itu bukan berupa
swastanisasi, melainkan memberikan kewenangan penuh kepada kampus dengan
dukungan dana dari pemerintah yang penuh pula. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar