Rabu, 12 Maret 2014

Menyedihkan, Tawuran Antarmahasiswa

Menyedihkan, Tawuran Antarmahasiswa

Darmaningtyas  ;   Pengurus Taman Siswa
SINAR HARAPAN,  11 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
Kisruh pemilihan Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) yang dituding ada intervensi dari rektor berbuntut panjang. Pelantikan Prof Dr Ralph Kairupan sebagai Dekan FK Unsrat yang baru menggantikan Prof Dr Sarah Warouw oleh Rektor Unsrat Prof Dr Donald Rumokoy pada 26 Februari 2014, bukan penyelesaian konflik, melainkan menjadi titik puncak persoalan.

Hal ini kemudian berbuntut pencopotan Prof Dr Donald Rumokoy dari jabatan Rektor Unsrat. Jabatan rektor pun dipegang Prof Dr Musliar Kasim, wakil menteri pendidikan dan kebudayaan (wamendikbud) sebagai pelaksana tugas (plt).

Ini untuk kedua kalinya pada masa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M Nuh jabatan rektor PTN terkemuka diampu pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Sebelumnya, Rektor Universitas Indonesia (UI) dijabat Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud, Prof Dr Djoko Santoso (2012-2013). Meskipun langkah yang diambil Kemendikbud sama, persoalan UI dan Unsrat agak berbeda. Di UI, sivitas akademika, termasuk mahasiswanya, jauh lebih rasional. Meskipun di tingkat manajemen (rektorat) ada persoalan, sampai jabatan rektor diampu Dirjen Dikti, dalam tataran dosen dan mahasiswa tidak ada konflik. Kegiatan belajar-mengajar tetap berjalan seperti biasa, seakan tidak ada persoalan apa-apa.

Menariknya, di UI yang mencerminkan kedewasaan intelektual mereka adalah konflik manajerial dan penyelesaiannya itu beriringan bersama dengan pembelajaran. Artinya, di tingkat manajemen (rektorat, senat guru besar, dan MWA) berupaya mencari solusi. Namun, semua itu tidak mengganggu belajar-mengajar sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.

Di Unsrat, masalahnya menjadi rumit karena para mahasiswa kedokteran yang menuntut rektor mundur sempat melakukan mogok kuliah. Saat demo menuntut rektor mundur, mereka sampai memecahkan kaca-kaca rektorat. Ketika jabatan rektor diambil alih wamendikbud sebagai plt, tiba-tiba muncul kasus tawuran antarmahasiswa Fakultas Teknik dengan Fakultas Hukum. Tawuran ini menimbulkan kerugian ratusan miliar rupiah.

Media lokal menyebutkan empat gedung besar dua lantai yang terhubung dan terbakar hebat, yaitu Gedung Fakultas Teknik. Laboratorium Elektro dan Arsitektur serta ruang perkuliahan yang dibakar diperkirakan ada sekitar 30 ruangan. Puluhan sepeda motor pun dibakar. Sementara itu, 14 mahasiswa luka parah dan terkena sayatan pisau. Pejabat rektor pun mengambil putusan meliburkan perkuliahan antara 6-12 Maret.

Sungguh menyedihkan sekali apa yang terjadi di Unsrat tersebut karena kampus yang melambangkan rasionalitas berpikir terjebak pada kekerasan fisik. Meminjam istilah sosiolog UGM, Prof Dr Heru Nugroho, inilah yang disebut sebagai banalitas kampus, yaitu suatu kondisi di mana para akademikus lebih tertarik pada nilai pragmatis daripada nilai pengetahuan.

Fenomena ini ditandai pendangkalan yang tidak disadari disertai dengan menurunnya kualitas akademik, sekaligus merosotnya komitmen terhadap bidang ilmu yang digeluti. Para akademikus cenderung lebih mementingkan nilai pragmatis daripada nilai-nilai pengetahuan. Kegiatan penelitian dilakukan tidak dimaksudkan sebagai basis pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi sekadar proyek belaka untuk menambah kapital diri.

PTN-PTS Sama Saja

Banalitas kampus itu terjadi di hampir semua kampus di Indonesia, baik negeri maupun swasta. Artinya, baik PTN maupun PTS sama-sama mengalami banalitas. Di PTN umumnya banalitas itu diawali perebutan jabatan struktural (dekan, rektor, ketua lembaga, dan lain-lain), baik yang didasarkan dukungan kekuasaan yang lebih tinggi (menteri) maupun orientasi organisasi (HMI, PMII, GMNI, dan PMKRI). Di PTS banalitas kampus itu sering dipicu perebutan jabatan struktural maupun aset. Oleh karena itu, banalitas kampus di PTS terjadi di kampus-kampus yang besar, bukan di kampus-kampus kecil.

Kampus-kampus yang besar menarik dari dua hal, yaitu jabatan struktural dan aset. Jabatan struktural umumnya diperebutkan para dosen. Sementara itu, aset diperebutkan antara rektorat dengan pengurus yayasan atau antarsesama pengurus yayasan (biasanya keluarga pendiri)

yang ingin memiliki aset tersebut sebagai simbol kekayaan pribadi/keluarga, bukan sebagai sarana pembelajaran dan penelitian. Itu sebabnya kita dapat menyaksikan konflik di PTS-PTS besar yang berkepanjangan karena masing-masing pihak mengerahkan kekuatannya. Bahkan kasus yang telah memperoleh kekuatan hukum dari Mahkamah Agung (MA) pun tidak mampu dieksekusi sehingga masalahnya berkepanjangan hingga sekarang. Pada konflik tersebut, sering melibatkan mahasiswa dan/atau mahasiswa menjadi korban dengan rusaknya fasilitas pendidikan dan terganggunya kegiatan belajar-mengajar.

Baik di PTN maupun PTS yang terjadi banalitas tersebut mencerminkan kampus telah kehilangan orientasinya sebagai penjaga kebenaran. Universitas itu secara generik didirikan untuk mencari kebenaran yang objektif. Itu sebabnya universitas didirikan dengan dukungan berbagai disiplin ilmu agar kebenaran yang harus ditegakkan itu berdasarkan berbagai perspektif, tidak hanya dari satu disiplin keilmuan. Oleh karena itu, aktivitas kampus yang menonjol seharusnya adalah melakukan kajian ilmiah mengenai permasalahan ilmu pengetahuan, kemasyarakatan, dan kenegaraan. Hal ini berdasarkan berbagai perspektif sehingga dapat memberikan solusi alternatif kepada pengambil kebijakan maupun masyarakat luas agar tidak keblinger dalam kubangan kesalahan maupun pelanggaran konstitusi. Sungguh ironis ketika orang-orang kampus terjebak sikap pragmatis.

Apa pun argumennya, ketika sivitas akademika (terlebih di PTN-PTN terkemuka) terjebak pada banalitas, hal itu akan meruntuhkan citra universitas sebagai penjaga kebenaran dan sekaligus mendegradasikan peran universitas dalam kehidupan kemasyarakatan maupun kenegaraan. Penguasa pun akan sinis terhadap mereka yang bergelar profesor doktor karena dinilai gelar tersebut tidak mencerminkan kecendekiawanan mereka.

Padahal, kedua gelar tersebut seharusnya mencerminkan kecendekiawanan seseorang. Seorang cendekiawan sejati itu selalu mampu mengambil jarak dengan kekuasaan. Kekuasaan, apa pun bentuknya, itu bukan menjadi orientasi utama seorang cendekiawan, melainkan yang menjadi fokus mereka adalah tegaknya kebenaran. Kita dapat mengambil contoh sikap kecendekiawanan itu seperti yang dilakukan almarhum Prof Dr Sartono Kartodirdjo, sejarawan dari UGM.

Awal 1980 dia memilih keluar dari tim penulisan buku sejarah perjuangan bangsa yang dikoordinasi Nugroho Notosusanto. Hal ini lantaran ia tidak mau menjadi legitimator sejarah bangsa dari perspektif penguasa. Risiko sikap yang tegas itu jelas, Sartono Kartodirdjo tidak pernah dipakai lagi oleh penguasa.

Namun, semuanya itu telah disadarinya sebelum mengambil keputusan sehingga tidak menjadi masalah baginya. Sulit mendapatkan seorang cendekiawan seperti dia pada saat ini. Itu karena umumnya para profesor doktor kita akan memilih mengambil sikap aman, yang penting dapat dipakai penguasa daripada mempertahankan kecendekiawanan, tapi tidak dipakai penguasa.

Pada masa lalu (setidaknya sebelum 2000-an), kampus-kampus besar di Indonesia memiliki orang-orang besar yang selalu berbicara tentang kebenaran objektif. Oleh karena itu, sebelum tahun 2000-an dapat dikatakan tidak ada konflik fisik di PTN-PTN kita.

Hal itu karena orientasi sivitas akademiknya memang tidak berburu kekuasaan dan kekayaan, tapi pada pencarian kebenaran yang sejati. Sementara itu, akademikus kita sekarang cenderung pragmatis sehingga wajar bila kemudian persoalan perebutan jabatan dekan atau rektor saja dapat memicu konflik yang berkepanjangan. Implikasi dari pemimpin universitas yang konflik, merembet ke mahasiswanya.

Karena itu, saatnya kampus dikembalikan peranannya sebagai penjaga kebenaran, bukan sebagai kepanjangan tangan penguasa. Otonomi kampus itu bukan berupa swastanisasi, melainkan memberikan kewenangan penuh kepada kampus dengan dukungan dana dari pemerintah yang penuh pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar