Kampanye
Pejabat Publik dan Etika Jabatan
Ikhsan Darmawan ;
Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
|
SINAR
HARAPAN, 11 Maret 2014
Mulai 16
Maret sampai 5 April 2014 ke depan, Pemilihan Legislatif 2014 akan memasuki
tahap kampanye pengerahan massa dan rapat umum.
Berkaitan
dengan hal tersebut, sejumlah media massa ramai memberitakan perihal calon
anggota legislatif (caleg) pejabat publik yang juga akan mengikuti kegiatan
kampanye. Setidaknya ada delapan orang kepala daerah yang mengajukan cuti
kampanye kepada menteri dalam negeri.
Sejumlah
kepala daerah tersebut di antaranya Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan,
Gubernur Sumatera Selatan Alex Nurdin, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur
Kalimantan Barat Cornelis, Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang, Gubernur
Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya, Gubernur Lampung Sjachroedin, dan
Gubernur Sulawesi Barat Anwar Adnan (Republika,
6/3).
Sejumlah
menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II juga ada yang melakukan hal yang
sama. Mereka berkampanye, baik dalam kapasitasnya sebagai caleg maupun juru
kampanye parpolnya. Sayangnya, Sekretaris Kabinet Dipo Alam tidak merinci
nama-nama menteri asal parpol tersebut, tapi hanya menyebutkan sudah ada tiga
menteri yang mengajukan izin cuti kampanye kepada Presiden SBY.
Dasar
hukum pemberian “izin” kepada presiden dan wakil presiden, para menteri dan
kepala daerah tersebut untuk boleh terlibat kampanye pengerahan massa dan
rapat umum adalah UU No 8/2012 tentang Pemilu Legislatif. Sebagai turunan UU
tersebut, juga ada aturan di bawahnya yakni Peraturan Pemerintah (PP) No
8/2013.
Pasal 86
ayat 2 UU No 8/2012 menyebutkan ada sejumlah pejabat publik yang dilarang
ikut kampanye pemilu legislatif, kecuali presiden, wakil presiden, menteri,
gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali
kota.
Ketentuan
ini diperkuat Pasal 5 PP No 8/2013 yang berbunyi, “Pejabat negara yang
berasal dari partai politik mempunyai hak melaksanakan kampanye pemilu.”
Presiden menegaskan ranah yuridis tentang keterlibatan pejabat dalam kampanye
pemilihan legislatif dengan mengeluarkan instruksi agar para menteri hanya
berkampanye pada Sabtu dan Minggu.
Etika Jabatan
Seluruh
klausul hukum yang membolehkan pejabat publik (pejabat negara-red) ikut
berkampanye pada dasarnya “bertabrakan” dengan etika jabatan. Etika yang
pertama adalah etika dalam pelayanan publik. Bertautan dengan hal itu, Carol
Lewis (1991) dalam bukunya The Ethic
Challenges in Public Service, menyebutkan ada tiga tanggung jawab etis
pejabat publik.
Pertama,
tanggung jawab untuk mematuhi dan mengimplementasikan peraturan. Konteks
tanggung jawab yang pertama adalah pejabat publik memiliki kewajiban dari
sisi hukum. Kewajiban tersebut ditarik dari gabungan kekuasaan, kepercayaan
publik, dan penerapan janji yang telah disebutkan.
Ketika
setiap pejabat publik dilantik, mereka menyebutkan sumpah janji jabatan di
hadapan pejabat di atasnya. Salah satu janji yang umum dilafalkan adalah berjanji
akan bekerja sungguh-sungguh dalam jabatannya tersebut.
Para
pejabat yang berkampanye bisa dikatakan seolah-olah mengesampingkan janji
mereka dalam sumpah jabatan tersebut. Hal ini karena mereka menggunakan waktu
yang sepatutnya digunakan demi publik untuk kepentingan pribadi dan
kelompoknya.
Kedua,
tanggung jawab untuk melayani kepentingan publik. Baik UU No 8/2012, PP No
8/2013, dan instruksi presiden pejabat publik boleh berkampanye pada Sabtu
Minggu berbenturan dengan tanggung jawab yang kedua ini.
Pasalnya,
kepentingan publik tidak mengenal hari dan waktu libur. Artinya, Sabtu dan
Minggu semestinya tetap dianggap sebagai hari yang sama dengan hari lain
dalam pelayanan publik. Umumnya, aturan cuti yang disebutkan dalam UU itu
juga sebetulnya seolah-olah mengesampingkan aspek etika pelayanan publik.
Ketiga,
tanggung jawab untuk mengambil tanggung jawab individu. Hal yang berkaitan
dengan tanggung jawab ketiga adalah menjadi pejabat yang harus meluangkan
seluruh waktu, tenaga, dan pikiran untuk sebesar-besar kemaslahatan publik.
Jadi, tidak bisa berkampanye untuk dirinya ataupun partainya adalah risiko
menjadi pejabat yang harus diambil setiap pejabat publik.
Etika
yang kedua adalah etika publik. Haryatmoko (2011) dalam bukunya Etika Publik untuk Integritas Pejabat
Publik dan Politisi, mengatakan etika publik terkait integritas publik
para pejabat.
Dalam
tanggung jawab pelayanan publik, integritas pribadi itu menjadi dasar
integritas publik. Pejabat yang mengabaikan kepentingan publik dan lebih
mementingkan kepentingan diri atau kelompoknya telah melanggar etika publik,
termasuk terlibat dalam kampanye pemilihan legislatif.
Tak
hanya itu, hal di atas juga berkaitan dengan konflik kepentingan yang sangat
mungkin terjadi. Konflik ini melemahkan komitmen pejabat publik pada
nilai-nilai etika. Padahal pertaruhan kebijakan publik adalah memenuhi
kebutuhan publik. Lemahnya komitmen ini menggerogoti integritas publik
pejabat publik.
Etika
ketiga adalah etika politik. Haryatmoko (2003) dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan,
menasbihkan etika politik memiliki tiga dimensi, yaitu tujuan politik,
masalah pilihan sarana, dan aksi politik. Salah satu dimensi yang paling
relevan adalah dimensi ketiga, yaitu aksi politik.
Dalam
dimensi ketiga, pelaku memegang peran sebagai yang menentukan rasionalitas
politik yang terdiri atas rasionalitas tindakan dan keutamaan (kualitas moral
pelaku). Berkaitan dengan soal ikut dalam kampanye, lebih mementingkan urusan
kampanye pribadi dan partai bagi para pejabat pulik menunjukkan para pejabat
publik tersebut mengesampingkan dimensi ini.
Tidak Berkampanye
Selain
persoalan etika, penulis berpandangan para pejabat publik yang berkampanye
sebaiknya tidak berlindung di balik aturan legal formal. Memang apa yang
mereka lakukan “dibolehkan” baik dalam UU, peraturan pemerintah, maupun
instruksi presiden. Namun, hanya mempertimbangkan aspek legal formal apalagi
aturan tersebut dibuat mereka atau kolega mereka sesama anggota parpol jelas
tidak apik.
Apa yang
dilakukan Partai Gerindra, dengan melarang kepala daerah asal Partai Gerindra
cuti menjadi juru kampanye, meskipun sebatas apabila kampanyenya dihelat di
luar kota, patut dicontoh parpol lain. Alasan utamanya jelas karena mereka
adalah pejabat publik sehingga seluruh kontribusi mereka haruslah untuk
publik.
Tak
hanya itu, jika dilirik lebih serius, aturan-aturan di UU dan peraturan
pemerintah pada praktiknya tidak mudah ditegakkan dan kurang komprehensif.
Pertama, kalau berkampanye tidak diperkenankan menggunakan fasilitas negara
yang diberikan kepadanya terkait posisinya sebagai pejabat sulit ditegakkan.
Hal itu
karena tidak ada sanksi yang dicantumkan dalam seluruh aturan tersebut
apabila ketentuan ini dilanggar. Kedua, aturan itu juga tidak mengakomodasi
hal tertentu, seperti jika ada menteri yang juga menjadi caleg yang
“tiba-tiba” meningkatkan intensitas kunjungan kerjanya ke daerah yang menjadi
daerah pemilihannya. Padahal, hal itu jelas-jelas termasuk kategori
memanfaatkan jabatan untuk kepentingan politik pribadi dan parpolnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar