Rabu, 12 Maret 2014

Kampanye Pejabat Publik dan Etika Jabatan

Kampanye Pejabat Publik dan Etika Jabatan

Ikhsan Darmawan  ;   Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
SINAR HARAPAN,  11 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
Mulai 16 Maret sampai 5 April 2014 ke depan, Pemilihan Legislatif 2014 akan memasuki tahap kampanye pengerahan massa dan rapat umum.

Berkaitan dengan hal tersebut, sejumlah media massa ramai memberitakan perihal calon anggota legislatif (caleg) pejabat publik yang juga akan mengikuti kegiatan kampanye. Setidaknya ada delapan orang kepala daerah yang mengajukan cuti kampanye kepada menteri dalam negeri.

Sejumlah kepala daerah tersebut di antaranya Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Gubernur Sumatera Selatan Alex Nurdin, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur Kalimantan Barat Cornelis, Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang, Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya, Gubernur Lampung Sjachroedin, dan Gubernur Sulawesi Barat Anwar Adnan (Republika, 6/3).

Sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II juga ada yang melakukan hal yang sama. Mereka berkampanye, baik dalam kapasitasnya sebagai caleg maupun juru kampanye parpolnya. Sayangnya, Sekretaris Kabinet Dipo Alam tidak merinci nama-nama menteri asal parpol tersebut, tapi hanya menyebutkan sudah ada tiga menteri yang mengajukan izin cuti kampanye kepada Presiden SBY.

Dasar hukum pemberian “izin” kepada presiden dan wakil presiden, para menteri dan kepala daerah tersebut untuk boleh terlibat kampanye pengerahan massa dan rapat umum adalah UU No 8/2012 tentang Pemilu Legislatif. Sebagai turunan UU tersebut, juga ada aturan di bawahnya yakni Peraturan Pemerintah (PP) No 8/2013.

Pasal 86 ayat 2 UU No 8/2012 menyebutkan ada sejumlah pejabat publik yang dilarang ikut kampanye pemilu legislatif, kecuali presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota.

Ketentuan ini diperkuat Pasal 5 PP No 8/2013 yang berbunyi, “Pejabat negara yang berasal dari partai politik mempunyai hak melaksanakan kampanye pemilu.” Presiden menegaskan ranah yuridis tentang keterlibatan pejabat dalam kampanye pemilihan legislatif dengan mengeluarkan instruksi agar para menteri hanya berkampanye pada Sabtu dan Minggu.

Etika Jabatan

Seluruh klausul hukum yang membolehkan pejabat publik (pejabat negara-red) ikut berkampanye pada dasarnya “bertabrakan” dengan etika jabatan. Etika yang pertama adalah etika dalam pelayanan publik. Bertautan dengan hal itu, Carol Lewis (1991) dalam bukunya The Ethic Challenges in Public Service, menyebutkan ada tiga tanggung jawab etis pejabat publik.

Pertama, tanggung jawab untuk mematuhi dan mengimplementasikan peraturan. Konteks tanggung jawab yang pertama adalah pejabat publik memiliki kewajiban dari sisi hukum. Kewajiban tersebut ditarik dari gabungan kekuasaan, kepercayaan publik, dan penerapan janji yang telah disebutkan.

Ketika setiap pejabat publik dilantik, mereka menyebutkan sumpah janji jabatan di hadapan pejabat di atasnya. Salah satu janji yang umum dilafalkan adalah berjanji akan bekerja sungguh-sungguh dalam jabatannya tersebut.

Para pejabat yang berkampanye bisa dikatakan seolah-olah mengesampingkan janji mereka dalam sumpah jabatan tersebut. Hal ini karena mereka menggunakan waktu yang sepatutnya digunakan demi publik untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Kedua, tanggung jawab untuk melayani kepentingan publik. Baik UU No 8/2012, PP No 8/2013, dan instruksi presiden pejabat publik boleh berkampanye pada Sabtu Minggu berbenturan dengan tanggung jawab yang kedua ini.

Pasalnya, kepentingan publik tidak mengenal hari dan waktu libur. Artinya, Sabtu dan Minggu semestinya tetap dianggap sebagai hari yang sama dengan hari lain dalam pelayanan publik. Umumnya, aturan cuti yang disebutkan dalam UU itu juga sebetulnya seolah-olah mengesampingkan aspek etika pelayanan publik.

Ketiga, tanggung jawab untuk mengambil tanggung jawab individu. Hal yang berkaitan dengan tanggung jawab ketiga adalah menjadi pejabat yang harus meluangkan seluruh waktu, tenaga, dan pikiran untuk sebesar-besar kemaslahatan publik. Jadi, tidak bisa berkampanye untuk dirinya ataupun partainya adalah risiko menjadi pejabat yang harus diambil setiap pejabat publik.

Etika yang kedua adalah etika publik. Haryatmoko (2011) dalam bukunya Etika Publik untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi, mengatakan etika publik terkait integritas publik para pejabat.

Dalam tanggung jawab pelayanan publik, integritas pribadi itu menjadi dasar integritas publik. Pejabat yang mengabaikan kepentingan publik dan lebih mementingkan kepentingan diri atau kelompoknya telah melanggar etika publik, termasuk terlibat dalam kampanye pemilihan legislatif.

Tak hanya itu, hal di atas juga berkaitan dengan konflik kepentingan yang sangat mungkin terjadi. Konflik ini melemahkan komitmen pejabat publik pada nilai-nilai etika. Padahal pertaruhan kebijakan publik adalah memenuhi kebutuhan publik. Lemahnya komitmen ini menggerogoti integritas publik pejabat publik.

Etika ketiga adalah etika politik. Haryatmoko (2003) dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan, menasbihkan etika politik memiliki tiga dimensi, yaitu tujuan politik, masalah pilihan sarana, dan aksi politik. Salah satu dimensi yang paling relevan adalah dimensi ketiga, yaitu aksi politik.

Dalam dimensi ketiga, pelaku memegang peran sebagai yang menentukan rasionalitas politik yang terdiri atas rasionalitas tindakan dan keutamaan (kualitas moral pelaku). Berkaitan dengan soal ikut dalam kampanye, lebih mementingkan urusan kampanye pribadi dan partai bagi para pejabat pulik menunjukkan para pejabat publik tersebut mengesampingkan dimensi ini.

Tidak Berkampanye

Selain persoalan etika, penulis berpandangan para pejabat publik yang berkampanye sebaiknya tidak berlindung di balik aturan legal formal. Memang apa yang mereka lakukan “dibolehkan” baik dalam UU, peraturan pemerintah, maupun instruksi presiden. Namun, hanya mempertimbangkan aspek legal formal apalagi aturan tersebut dibuat mereka atau kolega mereka sesama anggota parpol jelas tidak apik.

Apa yang dilakukan Partai Gerindra, dengan melarang kepala daerah asal Partai Gerindra cuti menjadi juru kampanye, meskipun sebatas apabila kampanyenya dihelat di luar kota, patut dicontoh parpol lain. Alasan utamanya jelas karena mereka adalah pejabat publik sehingga seluruh kontribusi mereka haruslah untuk publik.

Tak hanya itu, jika dilirik lebih serius, aturan-aturan di UU dan peraturan pemerintah pada praktiknya tidak mudah ditegakkan dan kurang komprehensif. Pertama, kalau berkampanye tidak diperkenankan menggunakan fasilitas negara yang diberikan kepadanya terkait posisinya sebagai pejabat sulit ditegakkan.

Hal itu karena tidak ada sanksi yang dicantumkan dalam seluruh aturan tersebut apabila ketentuan ini dilanggar. Kedua, aturan itu juga tidak mengakomodasi hal tertentu, seperti jika ada menteri yang juga menjadi caleg yang “tiba-tiba” meningkatkan intensitas kunjungan kerjanya ke daerah yang menjadi daerah pemilihannya. Padahal, hal itu jelas-jelas termasuk kategori memanfaatkan jabatan untuk kepentingan politik pribadi dan parpolnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar