Sultan
HB IX : Contoh Pemimpin Profetik
Parni Hadi ;
Wartawan dan Aktivis Sosial
|
SINAR
HARAPAN, 11 Maret 2014
Pemilu
legislatif, 9 April 2014, kurang sebulan lagi. Semua calon anggota DPR, DPD,
dan DPRD sudah lama ancang-ancang untuk melancarkan kampanye yang akan
dimulai 16 Maret nanti.
Sebagian
malah sudah lama pasang baliho, spanduk, umbul-umbul, dan membagi brosur
kepada calon pemilih. Bahkan, capres yang pemilunya masih bulan Juli, sudah
lebih dulu secara terang-terangan berkampanye lewat media massa, terutama
televisi, walau hal itu dilarang.
Beberapa
caleg bercerita telah menyiapkan dan membelanjakan dana dalam jumlah besar
untuk meminang suara dari calon pemilih. Dana itu perlu karena calon pemilih
sekarang sudah berani bertanya: “Wani
piro (berani bayar berapa)?”
Semuanya
cenderung transaksional, jual beli. Ada uang, ada suara. Ini penyebab dan
sekaligus akibat maraknya korupsi di segala lapisan masyarakat, dari atas
sampai bawah. Kondisi ini mirip dengan yang disebut “Zaman Edan” oleh
Pujangga Keraton Surakarta, Raden Ngabehi Ronggowarsito.
Rekam
jejak sebagian calon itu sudah diketahui rakyat, tapi sebagian besar lagi
belum, maklum wajah-wajah baru. Untuk menuju Indonesia yang lebih baik, para
pemilih dan para calon sendiri memerlukan tokoh rujukan tentang kualitas
pemimpin seperti apa yang dibutuhkan bangsa ini. Tujuannya agar rakyat tidak
salah pilih dan para calon bisa mengukur diri: pantaskah saya dipilih?
Banyak
orang berharap pemimpin baru hasil pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan
presiden (pilpres) nanti lebih baik daripada sebelumnya, yakni pemimpin yang
negarawan, berjiwa relawan, mengabdi tanpa pamrih, mengayomi semua orang,
baik yang menyukai maupun yang
menentangnya, tidak transaksional, seorang pembaharu, pejuang, pengambil
keputusan yang tegas, tidak suka mengumbar janji, tetapi sekali bicara
ditepati.
Pemimpin Profetik
Pemimpin
dengan kualifikasi seperti itu adalah orang yang memiliki kecerdasan
intelektual sekaligus kecerdasan spiritual. Ia menjalankan kekuasaannya tidak
hanya dengan kecanggihan akalnya, tetapi sekaligus kemampuan spiritualnya
berdasar petunjuk yang diterima dari Tuhan berkat “laku” batin yang
dilakoninya.
Praktik
kepemimpinan seperti itu dilakukan para nabi dan orang-orang suci, dari agama
dan kepercayaan apa pun. Pemimpin dengan kualitas seperti itu, saya sebut
pemimpin profetik atau pemimpin kenabian (prophetic
leader) yakni pemimpin yang meneladani akhlak dan perilaku para nabi.
Indonesia
telah melahirkan putra-putri terbaiknya yang memiliki sifat-sifat pemimpin
yang patut diteladani dan dapat dijadikan rujukan. Satu di antaranya adalah
Sri Sultan Hamengku Buwono IX (12 April,1912 - 2 Oktober 1988), seorang raja
dan pejuang.
Sebagai
raja yang berdaulat, atas kesadaran dan cintanya kepada Republik Indonesia,
HB IX dengan sukarela menyerahkan wilayah kerajaan Yogyakarta menjadi bagian
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17
Agustus 1945.
HB IX
pernah menjabat menteri pertahanan, menteri perekonomian, dan wakil presiden.
Beliau juga dikenal sebagai Bapak Pramuka, tokoh olahraga dan tokoh
sosial-budaya.
HB
IX dikenal pendiam, hemat kata, tidak banyak bicara,
tapi sekali bicara ditepati sesuai ungkapan sabda pandita ratu. Tentang kisah
keteladanan HB IX dapat dibaca di buku Tahta
untuk Rakyat dan Sultan HB IX: Inspiring Prophetic Leader.
Ada
beberapa contoh keteladanan HB IX: sekalipun sejak kecil dididik dalam
lingkungan budaya Barat (Belanda), waktu dinobatkan sebagai raja Yogyakarta,
18 Maret 1940 beliau dengan tegas menyatakan, “Saya pertama-tama dan tetap orang Jawa.” Ketika Jakarta, ibu
kota RI tidak aman karena ancaman NICA/Belanda, HB IX mengundang Bung Karno
dan Bung Hatta serta seluruh pemimpin
pemerintah pusat pindah ke Yogyakarta.
Per 1
Juni 1946, Yogyakarta jadi Ibu Kota RI. Saat pemimpin militer Belanda ingin
menggeledah Keraton Yogya yang dianggap sebagai tempat persembunyian TNI dan
gerilyawan, beliau menjawab, “Langkahi
dulu mayatku.”
Untuk
membiayai pemerintahan RI pascapengakuan kedaulatan oleh Belanda, 27 Desember
1949, HB IX menyerahkan uang keraton sebesar 6 juta gulden kepada Presiden
Soekarno, tanpa kuitansi, tidak mau disebut, apalagi minta kembali.
Ketika
seorang perempuan pedagang minta tumpangan mobil untuk mengangkut dagangannya ke pasar, Sri Sultan dengan
senang hati memenuhinya.
Tanpa
mengenali sang sopir, si “Mbok bakul” itu
mau membayar ongkos tumpangan. Ketika uang itu ditolak, ia marah. Tapi,
begitu diberi tahu orang lain bahwa sang sopir adalah Ngarso Dalem (Raja), si
Mbok langsung jatuh pingsan.
Betapa
pun HB IX tetap manusia biasa, yang tidak sempurna, dan itu diceritakan
kepada putranya, Herjuno (kini HB X) dan memintanya agar lebih berani
mengungkapkan kebenaran daripada dirinya sendiri.
“Untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, saya
memilih diam, tidak bicara kepada Bung Karno dan Presiden Soeharto (atas
kekurangan dan kekeliruan yang terjadi), tapi diam saya itu ternyata membuat rakyat
tetap bodoh dan miskin,” kata HB IX seperti ditirukan HB X. Sebuah
pengakuan, mungkin juga penyesalan.
Dari
kisah dan penuturan saksi mata, HB IX adalah seorang pemimpin profetik sesuai
dengan gelarnya “Sampeyan Dalem Ingkang
Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman
Sayidin Panatagama Kalifatulah Kaping IX. Artinya: Raja/kepala negara,
panglima perang, dan penata kehidupan beragama” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar