Rabu, 12 Maret 2014

Sultan HB IX : Contoh Pemimpin Profetik

Sultan HB IX : Contoh Pemimpin Profetik

Parni Hadi  ;   Wartawan dan Aktivis Sosial
SINAR HARAPAN,  11 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                             
Pemilu legislatif, 9 April 2014, kurang sebulan lagi. Semua calon anggota DPR, DPD, dan DPRD sudah lama ancang-ancang untuk melancarkan kampanye yang akan dimulai 16 Maret nanti.

Sebagian malah sudah lama pasang baliho, spanduk, umbul-umbul, dan membagi brosur kepada calon pemilih. Bahkan, capres yang pemilunya masih bulan Juli, sudah lebih dulu secara terang-terangan berkampanye lewat media massa, terutama televisi, walau hal itu dilarang.

Beberapa caleg bercerita telah menyiapkan dan membelanjakan dana dalam jumlah besar untuk meminang suara dari calon pemilih. Dana itu perlu karena calon pemilih sekarang sudah berani bertanya: “Wani piro (berani bayar berapa)?”

Semuanya cenderung transaksional, jual beli. Ada uang, ada suara. Ini penyebab dan sekaligus akibat maraknya korupsi di segala lapisan masyarakat, dari atas sampai bawah. Kondisi ini mirip dengan yang disebut “Zaman Edan” oleh Pujangga Keraton Surakarta, Raden Ngabehi Ronggowarsito.

Rekam jejak sebagian calon itu sudah diketahui rakyat, tapi sebagian besar lagi belum, maklum wajah-wajah baru. Untuk menuju Indonesia yang lebih baik, para pemilih dan para calon sendiri memerlukan tokoh rujukan tentang kualitas pemimpin seperti apa yang dibutuhkan bangsa ini. Tujuannya agar rakyat tidak salah pilih dan para calon bisa mengukur diri: pantaskah saya dipilih?

Banyak orang berharap pemimpin baru hasil pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) nanti lebih baik daripada sebelumnya, yakni pemimpin yang negarawan, berjiwa relawan, mengabdi tanpa pamrih, mengayomi semua orang, baik yang menyukai  maupun yang menentangnya, tidak transaksional, seorang pembaharu, pejuang, pengambil keputusan yang tegas, tidak suka mengumbar janji, tetapi sekali bicara ditepati.

Pemimpin Profetik

Pemimpin dengan kualifikasi seperti itu adalah orang yang memiliki kecerdasan intelektual sekaligus kecerdasan spiritual. Ia menjalankan kekuasaannya tidak hanya dengan kecanggihan akalnya, tetapi sekaligus kemampuan spiritualnya berdasar petunjuk yang diterima dari Tuhan berkat “laku” batin yang dilakoninya.

Praktik kepemimpinan seperti itu dilakukan para nabi dan orang-orang suci, dari agama dan kepercayaan apa pun. Pemimpin dengan kualitas seperti itu, saya sebut pemimpin profetik atau pemimpin kenabian (prophetic leader) yakni pemimpin yang meneladani akhlak dan perilaku para nabi.

Indonesia telah melahirkan putra-putri terbaiknya yang memiliki sifat-sifat pemimpin yang patut diteladani dan dapat dijadikan rujukan. Satu di antaranya adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX (12 April,1912 - 2 Oktober 1988), seorang raja dan pejuang.

Sebagai raja yang berdaulat, atas kesadaran dan cintanya kepada Republik Indonesia, HB IX dengan sukarela menyerahkan wilayah kerajaan Yogyakarta menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.

HB IX pernah menjabat menteri pertahanan, menteri perekonomian, dan wakil presiden. Beliau juga dikenal sebagai Bapak Pramuka, tokoh olahraga dan tokoh sosial-budaya.

HB IX  dikenal  pendiam, hemat kata, tidak banyak bicara, tapi sekali bicara ditepati sesuai ungkapan sabda pandita ratu. Tentang kisah keteladanan HB IX dapat dibaca di buku Tahta untuk Rakyat dan Sultan HB IX: Inspiring Prophetic Leader.

Ada beberapa contoh keteladanan HB IX: sekalipun sejak kecil dididik dalam lingkungan budaya Barat (Belanda), waktu dinobatkan sebagai raja Yogyakarta, 18 Maret 1940 beliau dengan tegas menyatakan, “Saya pertama-tama dan tetap orang Jawa.” Ketika Jakarta, ibu kota RI tidak aman karena ancaman NICA/Belanda, HB IX mengundang Bung Karno dan  Bung Hatta serta seluruh pemimpin pemerintah pusat pindah ke Yogyakarta.

Per 1 Juni 1946, Yogyakarta jadi Ibu Kota RI. Saat pemimpin militer Belanda ingin menggeledah Keraton Yogya yang dianggap sebagai tempat persembunyian TNI dan gerilyawan, beliau menjawab, “Langkahi dulu mayatku.”

Untuk membiayai pemerintahan RI pascapengakuan kedaulatan oleh Belanda, 27 Desember 1949, HB IX menyerahkan uang keraton sebesar 6 juta gulden kepada Presiden Soekarno, tanpa kuitansi, tidak mau disebut, apalagi minta kembali.

Ketika seorang perempuan pedagang minta tumpangan mobil untuk mengangkut  dagangannya ke pasar, Sri Sultan dengan senang hati memenuhinya.

Tanpa mengenali sang sopir, si “Mbok bakul” itu  mau membayar ongkos tumpangan. Ketika uang itu ditolak, ia marah. Tapi, begitu diberi tahu orang lain bahwa sang sopir adalah Ngarso Dalem (Raja), si Mbok langsung jatuh pingsan.

Betapa pun HB IX tetap manusia biasa, yang tidak sempurna, dan itu diceritakan kepada putranya, Herjuno (kini HB X) dan memintanya agar lebih berani mengungkapkan kebenaran daripada dirinya sendiri.

“Untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, saya memilih diam, tidak bicara kepada Bung Karno dan Presiden Soeharto (atas kekurangan dan kekeliruan yang terjadi), tapi diam saya itu ternyata membuat rakyat tetap bodoh dan miskin,” kata HB IX seperti ditirukan HB X. Sebuah pengakuan, mungkin juga penyesalan.  

Dari kisah dan penuturan saksi mata, HB IX adalah seorang pemimpin profetik sesuai dengan gelarnya “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatulah Kaping IX. Artinya: Raja/kepala negara, panglima perang, dan penata kehidupan beragama”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar