Menimbang
Para Kepala Daerah Berprestasi
Agung Baskoro ;
Analis Politik Pol-Tracking Institute
|
TEMPO.CO,
04 Maret 2014
Krisis
kepemimpinan nasional, yang sering diarahkan melalui wacana minimnya figur,
tengah marak menghiasi media. Realitas ini menjadi relevan bila publik hanya
melihat paket pemimpin dari interaksi panggung politik nasional di Jakarta.
Padahal, bila mencermati lebih jauh, akan ditemukan berbagai kiprah yang tak
jauh berbeda dengan Joko Widodo (Jokowi) di Ibu Kota, misalnya. Mereka
merupakan figur lokal berkualitas nasional yang cukup sukses memimpin daerah
dengan gagasan brilian, penuh integritas, dan dedikasi tinggi. Mereka adalah,
antara lain, Tri Rismaharini (PDIP), Syahrul Yasin Limpo (Golkar), Basuki
Purnama Tjahaja alias Ahok (Gerindra), Sinyo Harry Sarundajang (Partai
Demokrat), dan Isran Noor (PPP).
Nama-nama
ini muncul bukan hanya karena rekam jejak kepemimpinan publiknya di daerah.
Namun, di tingkat elite, mereka pun telah masuk radar politik nasional.
Beberapa di antaranya malah sedang ikut berkontestasi, seperti Sinyo
Sarundajang dalam Konvensi Demokrat atau Isran Noor yang masuk bursa hasil
rekomendasi Mukernas PPP dan menjadi peserta Konvensi Rakyat. Sementara itu,
Jokowi-Ahok-Tri Risma intens mendapatkan pemberitaan media karena kinerja,
sehingga tak sulit memperoleh perhatian dari publik dan partai masing-masing.
Kehadiran
daerah menjadi penting dalam konstelasi politik nasional, mengingat perubahan
sistem politik setelah Reformasi meniscayakan terjadinya desentralisasi
otoritas dan administratif dalam pengelolaan daerah. Selama ini, eksplorasi
publik secara luas tak banyak memberikan tempat bagi kepala-kepala daerah
yang potensial untuk lebih jauh berkiprah dalam pentas nasional.
Satu hal
yang paling penting dalam memunculkan kepala daerah sebagai figur alternatif
adalah kapasitas eksekutif yang dimiliki berdasarkan pengalaman di daerah.
Bentuk keberhasilan melalui beberapa kebijakan dan keputusan yang akhirnya
berbuah prestasi adalah eksperimen jabatan eksekutif paling riil dalam
mengelola negara di level mikro. Selain itu, partisipasi para kepala daerah
ini dapat menguatkan tenun keindonesiaan kita, karena kehadiran mereka dapat
mengobyektifikasi perspektif anak bangsa dalam mengelola negeri.
Partai,
sebagai tempat para kepala daerah berprestasi ini bernaung, sebaiknya mulai
memikirkan dan mengarahkan level kepemimpinan yang lebih strategis kepada
mereka, agar rakyat dapat merasakan manfaat yang lebih besar. Apa yang mereka
miliki, bagi Katz (1955) dalam sebuah artikel klasik Harvard Bussiness Review bertajuk "Skills of an Effective Administrator", merupakan
penerjemahan dari tiga keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin, yakni keterampilan teknis, keterampilan manusia, dan keterampilan
konseptual.
Keterampilan
teknis merujuk pada keahlian atau kompetensi (Mumford, Zaccaro, Harding, et al., 2000). Adapun keterampilan
manusia adalah kemampuan untuk bekerja sama dan keterampilan konseptual
adalah kemampuan untuk bekerja dengan ide dan konsep. Ketiga keterampilan ini
dapat ditelusuri secara mudah melalui rekam jejak (track record) kepemimpinan para kepala daerah. Mereka bukan
sekadar pemimpin layar kaca yang siap memerintah dari balik meja, karena,
setiap saat mereka siap turun tangan (baca: blusukan atau incognito).
Pada satu sisi, mereka merupakan figur solidarity
maker seperti Sukarno. Namun, pada waktu yang lain, tidak bermasalah bila
mereka dituntut menjadi administrator ulung layaknya sosok Hatta. Dalam
konteks inilah para kepala daerah relevan sebagai kepala negara alternatif.
Sebab, mereka hadir melalui sebentuk seleksi terukur jenjang birokrasi yang
meritokratis, atau proses politik yang cukup lentur namun kompetitif.
Ketika
pemilu akan digelar, perhatian publik pada akhirnya selalu tersita kepada
figur (pemilihan presiden) dibanding partai (pemilu legislatif). Bila masuk
dalam logika ini, Pemilu 2014 akan diwarnai oleh ketidakpastian karena belum
adanya calon presiden yang dominan, sebagaimana elektabilitas Presiden
Yudhoyono menjelang Pemilu 2004 dan 2009. Padahal, sudah seharusnya, strategi
partai dalam menyikapi pemilu presiden tidak hanya ditentukan oleh peraihan
suara dalam pemilu legislatif, namun juga visi dan gagasan para pasangan
calon presiden yang dijagokan.
Belum adanya kandidat presiden terkuat semakin memastikan bahwa publik
sebenarnya masih menanti calon-calon lainnya. Calon-calon lainnya ini
merupakan figur baru yang memiliki semangat perubahan (Poltracking, 2013), yang ditandai oleh ketidakadaan beban masa
lalu dan minim dosa politik. Inilah yang berikutnya dapat menjelaskan mengapa
Jokowi, dan kepala daerah berkualitas lainnya, melesat sebagai calon kepala
negara alternatif. Mereka merupakan solusi bagi elite (high politics) di tengah krisis kader dan relevan dengan aspirasi
masyarakat tingkat bawah (lower
politics) yang menginginkan perubahan substansial. Bila partai jeli
membaca ini, harapan merebut suara secara maksimal, sekaligus dapat
menggenggam hati rakyat, dapat dilakukan. Bak kata pepatah, sekali mengayuh
dayung, dua-tiga pulau terlampaui. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar