Terkikisnya
Kesadaran
Dianing Widya ;
Novelis
|
TEMPO.CO,
04 Maret 2014
Hujan
kini menjadi monster. Setiap hujan turun, perasaan pun menjadi waswas akan
munculnya banjir. Padahal banjir tidak datang tiba-tiba. Banjir datang
melalui proses panjang. Para pegiat lingkungan menyebut: banjir itu akibat
ulah manusia. Tapi, tetap saja kita hanya memikirkan banjir ketika banjir
tiba. Kesadaran kita terhadap "sesuatu" yang menghadang di depan
menjadi sangat tipis. Kita baru benar-benar sadar ketika sudah terbentur
"sesuatu" itu.
Kalahnya
kesadaran, tentu saja, tidak hanya dalam konteks banjir atau bencana. Dalam
segala hal, kesadaran kita makin terkikis. Justru yang makin menguat adalah
kesadaran terhadap "ke-aku-an" (ego). "Aku" sadar harus
berbuat sesuatu demi keuntungan atau kepentingan "aku" sendiri.
Kita makin jarang berpikir "aku" sadar harus berbuat sesuatu untuk
"mereka" atau "kita" bersama.
Tak
sulit untuk mendapat contoh bagaimana orang makin tenggelam dalam dirinya
sendiri. Datanglah ke mal, perhatikanlah orang-orang yang berada di mal itu,
baik yang sedang menunggu maupun duduk di kafe. Perhatikanlah berapa banyak
orang yang sedang berinteraksi dengan orang lain, dan berapa banyak pula yang
sedang sibuk dengan kegiatannya sendiri, entah tenggelam dalam telepon
pintar, tablet, atau laptop.
Terlepas
dari itu, memang ada kenyataan lain yang tak dapat dibantah. Hidup yang padat
agenda dan kota yang makin macet mungkin menjadi salah satu penyebab
interaksi langsung itu makin menipis. Namun, masalahnya, saat bertatap muka
pun, orang lebih suka sibuk sendiri-sendiri. Akibatnya, interaksi yang ada
menjadi begitu dingin dan tak mampu membangkitkan emosi tertentu.
Padahal,
interaksi sosial semacam itu justru bisa membangunkan kesadaran yang
tertidur. Misalnya, ketika seseorang sahabat menceritakan banjir, ada
kemungkinan besar kesadaran kita akan terlonjak bahwa banjir itu benar-benar
nyata-bukan sekadar peristiwa yang kita tonton di televisi. Sebab, sering
kali, apa yang ditayangkan di televisi adalah hiperealitas-sebuah dunia yang
melampaui apa yang sesungguhnya terjadi.
Tapi,
mengapa kesadaran komunal makin menipis? Barangkali pendapat Ken Wilber,
seorang eksponen gerakan psikologi transpersonal di Amerika Serikat, bisa
menjadi salah satu jawabannya. Ia mengatakan bahwa kesadaran adalah sesuatu
yang tertanam dalam jaringan makna kultural tertentu. Kesadaran tidak hanya
berada dalam kepala "aku" (personal),
melainkan juga dibentuk oleh kultur sosial, politik, dan ekonomi masyarakat.
Ketika sebuah kelompok atau entitas makin menjauh dari kesadaran terhadap
sesuatu, itu pun menjadi sikap (pikiran) "aku".
Dalam
konteks bencana, banjir misalnya, ketika secara kultural tidak ada yang
peduli secara serius terhadap hal tersebut, "aku" pun merasa tidak
perlu memikirkannya. Pikiran bawah sadar dengan gampang berbicara: sistem yang seharusnya bekerja saja tidak
berjalan dengan baik, buat apa "aku" sibuk memikirkannya? Lalu,
ketika sesuatu terjadi, kita pun ramai-ramai mencari kambing hitam.
Bahkan, tak jarang, kita buru-buru melempar tanggung jawab kepada
Tuhan. Seolah-olah Tuhan gemar menimpakan bencana kepada manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar