Politisi
Perempuan
Diana Susanti ;
Aktif di Lembaga Studi Gender dan Nasionalisme
(LSGN)
IAIN Walisongo
Semarang
|
HALUAN,
04 Maret 2014
|
Berbicara
tentang perempuan dan politik, tentunya merupakan pembahasan menarik. Sebab, peran perempuan dalam politik sangat
penting bagi perkembangan Negara. Dari
perspektif kalangan feminisme radikal beranggapan bahwa terjadi
tranformasi peran perempuan dalam ranah domestic
ke ranah publik (kesetaraan gender).
Pertanyaannya,
jika keterlibatan seorang perempuan sudah dicanangkan, apakah realisasi
tersebut sudah maksimal? Mengingat perjuangan R.A. Kartini dalam memperjuangkan
hak-hak perempuan, seharusnya banyak perubahan signifikan yang terjadi dalam
khasanah politik perempuan di negara ini. Apalagi dengan genderang emansipasi
yang selalu diperingati padatanggal 21 April setiap tahunnya. Di tambah DPR
yang telah mematangkan kesetaraan gender.
Namun
saat ini justru sebaliknya, peran dan kiprah seorang perempuan dalam ranah
perpolitikan masih sangat minim,
bahkan tanpa disadari telah terjadi diskriminasi terhadap perempuan dalam
perpolitikan. Sebagai perbandingan, perempuan yang duduk dalam lembaga legislative hanya memiliki 30 kuota yang
dijelaskan dalam Undang-undang No 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan
Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol), terutama
untuk duduk dalam parlemen. Bahkan dalam Pasal 8 Butir d UU No. 10 tahun
2008, disebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan
perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu
persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu.
Hal ini
disebabkan oleh beberapa anggapan, salah satunya bahwa perempuan hanya
mengerjakan dua pertiga dari total
kerja dunia. Namun, hanya memperoleh sepersepuluh dari pendapatan dunia. Karena
itu, perempuan yang merupakan mayoritas penduduk bumi, yaitu 70% dari total
populasi dunia, adalah kelompok termiskin. Dengan 1.3 juta perempuan yang berada
dalam kondisi yang miskin, hal ini yang
menjadikan perempuan menjadi pihak yang paling tidak diuntungkan dalam
dinamika perekonomian global.
Seperti
paradigma-paradigma lainnya, feminisme juga bersandar pada sejumlah asumsi
tertentu. Mengenai gender sebagai sebuah perbedaan antara perempuan dan
laki-laki, Menurut Jill Steans, gender merupakan seperangkat karakter dan
perilaku tertentu yang diharapkan
dimiliki oleh seseorang yang bedasarkan jenis kelamin (seks) yang dimilikinya
(perempuan atau laki-laki) oleh masyarakat di sekitarnya. Laki-laki
diharapkan memiliki karakter maskulin (rasional, tegas, konsisten), sementara
perempuan diharapkan megusung karakter feminine (emosinal, fleksibel, kooperatif).
Karakter
maskulin dan feminine merupakan stereotip karena memuat bagaimana seorang
perempuan atau laki-laki menjadi yang diharapkan masyarakat dan bukanlah
sesuatu yang intrinsic yang dimiliki oleh masing-masing jenis kelamin
tersebut.
Sterotip
ini kemudian membagi peran yang dimainkan oleh masing-masing jenis kelamin
dalam kehidupan sehari-hari dimana laki-laki “dipercayakan” menjalankan ranah publik, sementara
perempuan hanya dapat mengasuh dalam ranah domestik. Meskipun pada kenyataannya, perempuan harus
melaksanakan peran produktif, repoduktif dan social sekaligus(multiple-burden).
Peran
seorang laki-laki dalam dunia politik dianggap sangat penting dan memiliki
nilai yang lebih daripada perempuan. Hal ini menyebabkan perempuan kemudian
menempati posisi subordinat dalam masyarakat. Sementara laki-laki menempati
posisi lebih penting atau unggul hamper dalam segala aspek kehidupan dari
pada perempuan. Kondisi ini yang
kemudian disebut sebagai patriarki.
Hampir
di seluruh kalangan masyarakat patriarki yang ditemui, bahwasanya dalam realitas
social serta perpolitikan didominasi oleh laki-laki, dan perempuan hanya ada
dalam tingkat yang paling kecil yaitu hubungan antar individu ataupun
keluarga, negara sampai antar negara. Sebab kurang (atau bahkan tidak sama
sekali) terlibatnya pendefinisian, proses politik, serta pengambilan
keputusan perempuan hanya menjadi sebuah objek dari kebijakan yang diputuskan
dalam tiap tingkatan relasi tersebut.
Seharusnya
hal tersebut harus diantisipasi oleh kaum perempuan, dengan cara membuktikan
jika seorang perempuan bukanlah kaum yang lemah, seperti yang menjadi
anggapan masyarakat dahulu. Selain itu partisipasi seorang perempuan dalam
dunia politik harus ditingkatkan, karena hingga saat ini partisipasi
perempuan dalam partai politik dan lembaga legislative masih rendah.
Linda
Amalia Sari Gumelar, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
dalam diskusi public masukan revisi
UU Pemilu tersebut di Jakarta, Jumat (16/12) menambahkan, tindakan afirmatif
diperlukan tekait dengan dominasi budaya patriarki yang masih kuat
mempengaruhi dunia politik, temasuk iklim partai politik yang berbau maskulin.
Aturan hukum perlu dicantumkan dalam UU Pemilu mendatang untuk menyadarkan
bahwa ada hak perempuan yang selama ini terabaikan yang harus dikembalikan.
Dengan lebih banyak keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, akan
mempengaruhi kebijakan yang lebih pro terhadap kebutuhan perempuan.
Ini menunjukkan peran seorang perempuan sangat diperlukan dalam perpolitikan,
dan dapat menjadi jalan lahirnya politisi-politisi perempuan yang mempunyai kualitas yang setara bahkan lebih
dibandingkan dengan politisi laki-laki. Wallahua’lam
bi al-shawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar