Mengkhawatirkan
Masa Depan
Mohammad Abduhzen ;
Direktur Eksekutif Institute for Education
Reform (IER) Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI
|
KOMPAS,
08 Maret 2014
Di
antara kesimpulan yang dapat ditarik dari Programme
for International Student Assessment 2012 dan berbagai penilaian lain
sebelumnya adalah: murid-murid kita sebenarnya tidaklah bodoh meski lemah
pada penalaran. Mereka menunjukkan kemampuan yang baik dalam kognisi tingkat
rendah, seperti mengingat (menghafal). Namun, mereka mengalami kesukaran ketika
harus menganalisis dan menggunakan pengetahuannya untuk memecahkan masalah.
Kenyataan
itu menunjukkan ada yang kurang dalam desain dan pembelajaran di sekolah,
kecuali jika kita mendefinisikan bahwa kecerdasan sebatas hebat mengingat.
Namun, masalahnya, kehidupan insani meniscayakan penalaran agar dapat
survive, berkembang, dan beradab. Lebih-lebih menghadapi masa depan dalam
abad ke-21 yang problemnya konon banyak yang tak dapat diprediksi, juga belum
ada pola pemecahannya sehingga memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Sementara
itu, para pemuka negeri ini asyik meniup gelembung mimpi yang tinggi tentang
masa depan. Dalam berbagai kesempatan, Menko
Perekonomian Hatta Rajasa—mengutip Rencana Induk Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)—menyatakan, bangsa Indonesia
akan jadi satu di antara 10 negara besar ekonomi dunia pada 2025 dan satu di antara enam
negara besar dunia pada 2050.
Serupa dengan Hatta, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan beserta jajarannya mengimpikan tentang generasi emas 2045. Dengan
premis-premis terkait bonus demografi—yang rada fatalistik—bahwa pada 2045
produk domestik bruto per kapita kita di atas
12.000 dollar AS; rata- rata lama sekolah 12,35-14,05 tahun; angka
harapan hidup 77-80 tahun; dan semua penduduk berusia 15-59 tahun melek
aksara.
Pada 100
tahun usia kemerdekaan itu, jumlah penduduk Indonesia berkisar 317 juta
orang, di antaranya terdiri dari 89,48 juta orang berusia 35 sampai 54 tahun.
Jumlah ini baru dihitung dari mereka yang
berusia 0-19 pada 2010. Mereka
merupakan bagian dari apa yang disebut bonus demografi karena dalam rentang
waktu menjelang 2045 berada dalam usia produktif dengan jumlah yang sangat
besar.
Persoalan bangsa
Untuk
menyongsong kejayaan itu, dalam periode jendela bonus demografi 2010-2035,
Kemdikbud melaksanakan program Pendidikan Menengah Universal (PMU) dan
Kurikulum 2013, menyelenggarakan pendidikan tinggi berkualitas dan berdaya
saing, pendidikan dasar berkualitas dan merata, pendidikan karakter, serta
memastikan semua penduduk usia sekolah bersekolah.
Program-program
Kemdikbud menyangkut kualitas seperti ujian nasional (UN) sejak 2004,
pendidikan karakter mulai 2009, dan Kurikulum 2013 terbukti tak mampu
memperbaiki mutu dan tak meyakinkan dapat membekali para murid untuk mencapai
cita-cita bangsa di masa depan. Program-program kualitatif yang
diselenggarakan, selain dikuasai gagasan evolusionisme tentang daya saing,
logika saudagar, juga tampak sangat politis dan terburu-buru sehingga kebanyakan program tak secara tepat
menjawab kebutuhan dan permasalahan bangsa.
Tugas
utama pemerintah mendatang adalah membenahi kondisi ini secara total,
fundamental, dan gradual. Jika tidak, khawatir bangsa ini jadi pengidap
megalomania. Setelah mimpi ”jembatan emas 1945”, kini mimpi ”generasi emas
2045”.
Sudah
sangat dipahami bahwa kita memiliki kekayaan alam dan budaya melimpah serta
penduduk yang besar. Namun, mengapa bangsa ini sengsara?
Dulu,
kita sengsara disangka karena penjajah. Maka, Soekarno berpidato berapi-api ”...bahwa kemerdekaan, tak lain dan tak
bukan, suatu jembatan emas… di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan
kita punya masyarakat…, masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat,
kekal, dan abadi.”
Kini,
setelah 68 tahun, jembatan itu bagai mengapung, bangsa Indonesia bukan saja
tak kunjung gagah, kuat, dan sehat,
melainkan seperti kembali tak jadi tuan di rumahnya sendiri. Sumber-sumber
kekayaannya sebagian besar dikuasai asing, pemerintahannya tampak tak
berdaulat secara otonom, dan rakyat tetap menderita. Ini terjadi karena adanya dekadensi akal
pikiran. Kemunduran akal budi, menurut Bung Karno (Indonesia Menggugat, 1956: 129, 132), merupakan bencana batin
yang paling besar karena membuat karakter bangsa jadi lemah. Kelemahan jiwa
itulah yang kita saksikan dewasa ini sehingga kandungan Ibu Pertiwi tak
memberikan kemaslahatan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sarana penalaran
Meski berpikir bukanlah representasi
keseluruhan dari kemanusiaan, kekuatan jiwa terletak pada kemampuan berpikir.
”Pikir itu pelita hati”, kata
peribahasa Melayu kuno. Ketika pikiran tak menerangi jiwa, bukan saja
kekayaan akan tak maslahat, lebih daripada itu daya-daya manusia akan jadi destruktif.
Pendidikan
kita selama ini lebih banyak mengisi pikiran ketimbang mengajarkan berpikir. Walhasil, murid-murid
kita jadi lemah penalarannya. Inilah
inti persoalan sumber daya manusia (SDM) kita. Ini pula masalah utama bangsa
dalam menyongsong masa depan.
Mengajarkan
berpikir bukanlah dominasi satu atau beberapa mata pelajaran, melainkan
menuntut keterlibatan seluruh komponen sekolah sebagai sarana penalaran.
Sebenarnya setiap mata pelajaran secara implisit memfasilitasi model berpikir
tertentu. Ketika belajar sains, misalnya,
murid lebih dituntun berpikir pola induktif, sementara saat mendalami
matematika dan bahasa, mereka lebih dibawa ke alam berpikir deduktif (Mohammad Abduhzen, Kompas, 5/11/2007).
Namun, mengandalkan pengaruh logis
saja dari setiap mata pelajaran tak akan membuat murid (istilah Iwan Pranoto)
”kasmaran” belajar dan berpikir.
Pengembangan
nalar membutuhkan strategi
pembelajaran yang terintegrasi dalam desain pendidikan nasional. Ini
sangat penting karena kemampuan menalar sangat dekat dengan kecerdasan yang
jadi tujuan utama pendidikan kita.
Mengajarkan
berpikir seharusnya dengan berpikir. Seperti berenang, murid tak hanya
mendengarkan pikiran guru, tetapi juga diceburkan secara aktif ke dalam
aliran ide-ide. Socrates, filsuf Yunani kuno, menunjukkan peran guru seperti
bidan yang menolong proses persalinan.
Itulah
sebabnya perhatian utama dalam perbaikan pendidikan kita seharusnya pada
metode, bukan kurikulum. Metode melekat pada perilaku guru sehingga pembaruan
metode inheren dengan pengembangan kualitas guru. Sejarah pendidikan kita
menunjukkan bahwa pergantian kurikulum tak selalu diikuti dengan perubahan
metode pembelajaran.
Pembaruan
pendidikan Indonesia seyogianya menyentuh aspek paling mendasar dari kualitas
SDM kita, yaitu kemampuan menalar. Mengabaikan hal ini, membuat masa depan
kita mengkhawatirkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar