Kinerja
Riset Perguruan Tinggi Kita
Hendra Gunawan ;
Guru Besar FMIPA ITB
|
KOMPAS,
08 Maret 2014
Seorang
teman menulis pepatah: jika ingin membangun kota, dirikanlah sekolah; jika
ingin membangun negeri, dirikanlah universitas. Saya menambahkan: jika ingin
membangun negeri yang maju, dirikanlah universitas yang bermutu.
Saat
ini, terdapat sekitar 3.500 perguruan tinggi (PT) di Indonesia, tapi tak
lebih dari 100 yang dapat dikategorikan bermutu. Bahkan, jika produktivitas
riset jadi ukuran utama, angkanya lebih sedikit lagi. Berdasarkan data
Scopus, yang merekam produktivitas PT dan lembaga lainnya dalam riset, hanya
sekitar 10 PT kita yang layak diperhitungkan.
Terkait
rendahnya produktivitas PT kita dalam riset, baru-baru ini Forum Rektor
Indonesia (FRI) mengusulkan pembentukan suatu kementerian yang menangani
pendidikan tinggi, riset, dan teknologi. Pro-kontra pun terjadi. Daoed
Joesoef (Kompas, 18/2/2014) termasuk yang tidak setuju. Sementara Azyumardi
Azra (Kompas, 26/2/2014) mendukung gagasan FRI. Namun, satu hal yang diamini
oleh kedua belah pihak adalah bahwa kinerja riset PT kita memang rendah dan
perlu ditingkatkan.
Mencoba
untuk tidak terjebak dengan pro-kontra terhadap usulan FRI, melalui tulisan
ini saya ingin mengajak semua pihak untuk melihat masalahnya secara jernih,
dengan melupakan terlebih dahulu kementerian mana yang selayaknya mengelola
PT di negara kita.
Pertama,
rendahnya produktivitas riset PT kita adalah masalah serius, mengingat kita
berada di era ilmu pengetahuan. Sehubungan dengan itu, daya saing bangsa
dipertaruhkan. Peran PT, khususnya universitas dan institut, dalam
pengembangan ilmu pengetahuan memang sangat dinantikan.
Kedua,
tentu kita juga sepakat masalah ini harus segera diatasi. Namun, sebelum
menawarkan solusi, kita perlu mengetahui dengan baik akar masalahnya. Daoed Joesoef menyoroti tidak terbangunnya komunitas
ilmiah di PT kita sebagai masalah utama. Sementara Azyumardi Azra risau dengan
mayoritas dosen yang terpaku pada salah satu misi PT saja, yaitu pengajaran.
Mencoba
mendalami permasalahan ini, kita patut bertanya: apa memang setiap ”PT” yang
ada di Indonesia punya kapasitas melaksanakan Tri Dharma PT? Sebagaimana kita
ketahui, yang disebut ”PT” di Indonesia terdiri dari universitas, institut,
sekolah tinggi, politeknik, dan akademi, termasuk sang pendatang baru, yaitu
”akademi komunitas”.
Apabila
saya mengibaratkan ilmu pengetahuan sebagai buah kelapa, dan PT penghasil
ilmu pengetahuan sebagai pohon kelapa, apakah betul semua bentuk ”perguruan
tinggi” tadi pohon kelapa yang akan berbuah kelapa? Menurut saya, sebagian di
antaranya memang mirip pohon kelapa, tapi bukan pohon kelapa. Apakah kemudian
fair menuntut pohon palem yang mirip pohon kelapa untuk berbuah kelapa? Juga,
apakah memindahkan pohon palem akan membuatnya berbuah kelapa? Tidak, kan?
Karena
itu, marilah kita fokus pada ”pohon kelapa” saja, khususnya universitas dan
institut, yang seharusnya memang melaksanakan Tri Dharma PT secara utuh.
Dalam hal ini, saya sepakat ada masalah dengan mutu dosen dan budaya akademik
sekalipun di kedua jenis PT ini. Namun, mengapa ini terjadi?
Saya
sepakat dengan Azyumardi Azra: saat ini ada masalah dalam perekrutan dan
promosi dosen. Namun, di balik ini, negeri ini memang kekurangan orang yang
mumpuni untuk jadi dosen, sebagaimana yang diharapkan Azyumardi Azra dan kita
semua. Hal ini diperparah dengan masalah inbreeding
dan ketertutupan PT dalam perekrutan dosen serta sistem promosi yang belum
berbasis merit.
Berbicara
tentang riset, kita pun tidak bisa melupakan berapa besarnya dana yang
tersedia untuk itu. Di PTN, yang anggarannya diatur oleh APBN, anggaran untuk
riset sangat minim, rata-rata masih di bawah Rp 10 miliar per tahun per PT.
Di PTS, situasinya jauh lebih parah.
Dua
pertanyaan kemudian menggelitik saya. Pertama, jika dibentuk kementerian baru
yang menangani secara khusus pendidikan tinggi dan riset, apakah anggaran
akan bertambah? Rasanya tidak, APBN kita tidak akan naik secara signifikan.
Kedua, jika kita tiba-tiba mempunyai anggaran yang besar, apakah dana
tersebut akan kita kucurkan untuk riset atau untuk membangun manusianya
terlebih dahulu?
Belajar
dari Korea Selatan dan China, beberapa puluh tahun silam mereka mengirimkan
puluhan, bahkan mungkin ratusan ribu, sarjana untuk mengambil program doktor
di negara-negara maju, sebelum akhirnya mereka kembali dan membangun negeri
mereka. Kita pernah melakukan hal serupa, tetapi tidak cukup untuk mencapai
massa kritis (critical mass).
Apabila
kita ingin meningkatkan produktivitas riset PT, khususnya di universitas dan
institut, barangkali kita perlu mengupayakan tercapainya massa kritis itu.
Apabila kita memang ingin membangun sebuah negara yang maju, bangunlah PT
bermutu, dan untuk itu bangunlah terlebih dahulu manusianya! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar