Mimpi-mimpi
Elisa Kasali
Maria Hartiningsih ;
Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
08 Maret 2014
Langkah
Ahmad (8) terhenti saat melihat Elisa Kasali (48) berjalan dari arah
berlawanan di jalan penghubung kampung di kawasan Jatimurni, Pondok Gede,
Bekasi. Hari Minggu (16/2) pagi itu, kampung terasa lengang sekaligus berisik
oleh gesekan daun dan cericit burung.
“Eh, Bunda…,” sapa Ahmad seraya mencium
tangan Elisa, yang langsung membelai kepala Ahmad. ”Ahmad alumnus PAUD dan TK Kepodang. Sekarang dia sudah kelas dua,”
ujar Elisa.
Bersama
sang suami, Rhenald Kasali (53), Elisa mengajak singgah ke Rumah Baca Manca,
yang hanya sejengkal di depan rumah mereka. Jalan memutar merampai suasana
lingkungan tempat mereka tinggal sejak awal tahun 1990-an. Di sini Rhenald,
Elisa, dan dua anak mereka mencebur dalam degup kehidupan kampung.
Rumah
Baca Manca kini memiliki lebih dari 5.000 buku bacaan anak dan remaja
sumbangan banyak pihak, dan menjadi rumah baca terbaik di Provinsi Jawa
Barat.
Rumah
baca itu nyaman, dilengkapi papan tulis untuk mencatat kegiatan Manca, dan
tempat sampah terpilah. Toilet dengan shower
yang bersih berjajar di bagian belakang.
”Sekarang anak-anak pasti sudah mandi kalau ke
rumah baca, dulu susah. Jadi ada peraturan wajib mandi. Kalau belum mandi,
ada shower, mereka bisa mandi dulu,” kenang Elisa.
Kualitas terbaik
Gedung
PAUD-TK Kutilang berada di belakang rumah Elisa-Rhenald, di atas lahan seluas
2.040 meter persegi yang lebih separuhnya dibiarkan terbuka. Tanaman buah dan
tumbuhan langka membingkai hamparan rumput yang terawat. Di situlah, kata
Elisa, anak-anak melakukan kegiatan luar ruang. Di tepi halaman ada bak motor
berisi sampah organik.
Sekolah
dan Rumah Baca Manca merupakan bagian dari pengembangan kegiatan
kemasyarakatan keluarga Rhenald Kasali, termasuk kegiatan posyandu yang dulu
berlangsung di garasi rumah.
Manca
menjadi sarana membuka jendela dunia anak-anak, sedangkan fasilitas
pendidikan itu gratis. ”Tetapi
kualitasnya tidak gratis,” sergah Elisa, ”Kami ingin memberi pendidikan berkualitas kepada anak-anak dari
keluarga berkebutuhan.”
Metode
konvensional tidak cocok dengan gambaran Elisa tentang sekolah berkualitas. ”Sebelum tahun 2010, satu kelas isinya
35-40 anak, sekarang hanya 10 anak. TK A ada tiga kelas, TK B tiga kelas,
PAUD dua kelas, dengan sembilan guru.”
PAUD-TK
Kutilang dilengkapi tempat bermain dan Sentra Seni yang pada akhir pekan itu
dipenuhi replika kecil laba-laba dan satu replika besar semut. Di sini
anak-anak bebas berkreasi dan berekspresi.
Permainan
balok merupakan salah satu upaya untuk mengajar anak-anak mengenal batas,
sekaligus mengeksplorasi pikiran agar bisa memanfaatkan batas secara optimal.
”Anak-anak mengambil balok yang diperlukan untuk
berkreasi, misalnya membuat serangga yang menjadi tema kegiatan kreatif pekan
lalu. Mereka berlatih tidak membuang dan tidak mengambil lagi kalau baloknya
kurang,” papar Elisa.
Dia
memberi contoh tentang seorang ayah yang memberi uang Rp 500, Rp 300, dan Rp
100 kepada anak pertama, kedua, dan ketiga.
”Kalau Rp 100 dimanfaatkan secara benar dan
kreatif, bisa didapat Rp 500, bahkan lebih. Sebaliknya, yang Rp 500 bisa
tidak jadi apa-apa karena salah kelola,” lanjut dia. ”Intinya, bagaimana mengelola dengan baik
rezeki yang didapat tanpa mengambil hak yang lain.”
Mengenali bakat
Di
sekolah itu, guru didorong melanjutkan studi, di samping pelatihan parenting
untuk orangtua. Ada beberapa kasus anak yang awalnya diduga berkebutuhan
khusus, tetapi dengan bantuan psikolog dan dokter, diketahui anak itu hanya
perlu dicintai, didorong, dan diterima apa adanya. ”Anak memberi banyak pelajaran kepada orang dewasa,” ujar Elisa.
Inspirasi
awal pengembangan sekolah didapat Elisa dari Child Development Laboratory (CDL), TK di kampus yang dikelola
Universitas Illinois, AS, tempat Rhenald menyelesaikan S-3.
Di
situlah si sulung Fin pertama kali mengenal sekolah dan pertama kali pula
dikenali bakatnya melukis. ”Pernah esai
Fin diberi catatan excellent oleh guru. Ayahnya protes karena bahasa Inggris
Fin masih kurang baik. Tetapi pertimbangan guru adalah proses Fin sebagai
anak Indonesia untuk berkomunikasi dan berkreasi dalam bahasa Inggris,”
kata Elisa.
Dari
pengalaman membesarkan kedua anaknya, dia yakin setiap anak dilahirkan unik
dengan bakat berbeda-beda. Tugas orang dewasa hanya membantu anak mengetahui
dan mengasah kemampuannya agar mereka bertumbuh dengan jiwa yang kuat.
Di sekolah itu, rapor adalah laporan berlembar-lembar tentang
perkembangan anak, termasuk perilaku, hal yang disukai, afeksi, kognisi,
kondisi fisik, sosial, kemampuan bahasa dan komunikasi. Tidak ada angka dalam
rapor.
Mewujudkan mimpi
Dari
perkampungan yang terserak dari gemerlap Jakarta, pasangan Elisa-Rhenald
mewujudkan mimpi perubahan yang dibangun selama enam tahun bermukim di Urbana
Champaign, Illinois. PAUD-TK Kutilang merupakan wujud sebagian mimpi Elisa.
Mimpi berikutnya adalah sekolah dasar dengan metode yang membebaskan.
Elisa
menyebut dirinya ”ibu rumah tangga”.
Ibu dari Fin Yourdan (24) dan Adam Makalani (18). Bagi dia, ”Abang” (sebutan untuk Rhenald) tidak
hanya pakar manajemen dan guru besar FEUI, tetapi juga guru kehidupannya,
sebagaimana Rhenald memandang perempuan Aceh yang telah 25 tahun menjadi
bagian penting hidupnya itu.
Elisa
memegang nasihat ibunya, yang mengibaratkan istri sebagai leher. ”Abang ibarat kepala, saya lehernya,”
kata Elisa.
Di balik
semua capaian Rhenald, adalah Elisa yang terus mendorongnya. Meski
menempatkan diri ”jauh di belakang langkah
Abang”, tidak jarang dia justru berada di depan, dengan seribu alternatif
ketika Rhenald merasa lelah dalam perjalanan mewujudkan mimpi.
”Rezeki, ilmu pengetahuan, semua yang diperoleh
harus dibuatkan jalan untuk dibagi,” Elisa mengungkap prinsip keluarganya,
”air yang tidak mengalir akan menjadi
kubangan kotor.”
Rhenald
merangkainya dalam misi Rumah Perubahan,
dengan tiga fokus dalam bingkai kewirausahaan sosial: pendidikan, lingkungan, dan pengembangan masyarakat, sekaligus
menjadi simbol keberagaman dan toleransi.
Sedangkan
Elisa membangun mimpi itu dari urusan praktis dan strategis. Saat seorang
anak dibonceng sepeda oleh ibunya mau mendaftar sekolah, Elisa menyambutnya
dengan mata berbinar.
Begitulah
yang terus terjadi. Setiap tahun ajaran baru, dengan kedua tangan terbuka,
Elisa menyambut anak-anak, ”kutilang-kutilang”
baru yang siap belajar terbang.
”Saya yakin, dari 80 anak, sedikitnya satu akan
terbang paling tinggi dan paling jauh. Dia akan menjadi pemimpin....” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar