Sabtu, 22 Maret 2014

Menemukan Keteladanan Pancasila

Menemukan Keteladanan Pancasila

Sidarto Danusubroto  ;   Ketua MPR RI
KORAN SINDO,  21 Maret 2014
                                   
                                                                                         
                                                      
Hari ini (Jumat, 21/3), bertempat di Gedung Nusantara IV, Senayan, MPR bekerja sama dengan Universitas Pancasila Jakarta melangsungkan peluncuran buku karya Yudi Latif, Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan (Mizan, 2014), yang merekam bagaimana nilai-nilai Pancasila dipraktikkan dalam keseharian perilaku para tokoh bangsa.

Di antaranya dari kalangan keagamaan Hasyim Asy’ari dan putranya Wahid Hasyim (NU), Ahmad Dahlan, Ki Bagoes Hadikoesoemo, HAMKA (Muhammadiyah), Albertus Soegijapranata (Katolik), Todung Sutan Gunung Mulia (Kristen), dan Bhikku Ashin Jinarakkhita (Buddha). Sebagai intelektual yang punya perhatian serius mengenai ideologi negara kita, Pancasila, Yudi merasa ikut bertanggung jawab seperti yang diungkapkannya dalam bukunya, melakukan respons atas keluhan banyak orang tentang krisis keteladanan serta kesulitan untuk mengajarkan dan menyosialisasikan moral Pancasila bagi kalangan pelajar, penyelenggara negara, politisi dan aktivis kemasyarakatan, serta masyarakat umum.

Buku-buku yang ditulis selama ini terlalu normatiflegalistik dengan tekanan yang berlebihan pada aspek kognitif. Berbeda dengan kejamakan tersebut, Yudi menekankan aspek afektif dan konatif (tindakan). Karena itu, betapa pun aspek validitas data kesejarahan telah dilakukannya seoptimal mungkin, Yudi tidak sedang berupaya menghadirkan ”presisi” (ketepatan), melainkan ”impresi” (kesan yang menggugah penghayatan dan pengamalan). Apa yang dikerjakan Yudi mengisi kekosongan bacaan seperti itu selayaknya kita berikan dukungan agar semakin memadai jumlah buku yang ditulis oleh intelektual yang terpanggil dengan menggunakan perspektif yang beragam.

Pancasila, tidak terbantahkan, merupakan norma dasar kita bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain mewariskan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, para pendiri bangsa dengan penuh tanggung jawab memberikan perisai (filosofi dasar negara) yang diberi nama Pancasila. Fungsinya untuk menjaga kemerdekaan yang telah diproklamasikan, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia, sekaligus pedoman satu-satunya dalam mendesain, menjalankan, dan mengelola secara berkesinambungan negara Indonesia yang telah merdeka.

Karena itu, Pancasila adalah rel utama (paripurna) yang harus kita lalui untuk meraih cita-cita kemerdekaan: menyejahterakan, melindungi, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sila pertama menjelaskan bagaimana manusia Indonesia menempatkan dirinya dalam relasi dengan sang Khalik (transendensi) yang dengan begitu dalam praktik interaksi akan terimplementasikan keharmonisan antarpemeluk agama yang berbeda (yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa).

Sila kedua diderivasikan dari yang pertama untuk mendefinisikan manusia Indonesia notabene yang berkeadilan dan berkeadaban (imanensi). Sila ketiga, kemerdekaan bangsa-negara Indonesia yang terdiri atas himpunan wilayah (NKRI) yang karena itu konsekuensinya mereka harus senantiasa bersatu (persatuan). Sila keempat merupakan doktrin berkaitan dengan sistem pengorganisasian yang diterapkan dalam mengelola negara-bangsa Indonesia (permusyawaratan permufakatan).

Penerapan permusyawaratan permufakatan yang kemudian melahirkan MPR sebagai lembaga tertinggi agaknya perspektif Trisakti Bung Karno (1963) dapat kita pakai untuk ini yaitu berdaulat secara politik. Sila kelima yang hendak kita capai bagi seluruh bangsa Indonesia adalah keadilan yang komprehensif (keadilan sosial) tidak berhenti sebatas pada keadilan yang parsial (ekonomi, politik, atau hukum).

Kita menyaksikan dalam perjalanan Indonesia yang memiliki Pancasila sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam praktiknya sesuai dengan perkembangan dan dinamika politik temporal yang terjadi sesekali mengemuka upaya-upaya untuk melakukan negosiasi. Tidak semua negosiasi serta-merta berimplikasi buruk seperti empat kali amendemen terhadap UUD NRI 1945 semangatnya adalah menyempurnakan konstitusi kita.

Sekalipun praktiknya yang terejawantahkan ke dalam UU (aturan organik) mungkin secara tidak sengaja justru mencederai nilai-nilai yang dikandung dalam Pancasila. Fakta tersebut seharusnya membuat kita dapat lebih mudah mengapresiasi mengapa akhirnya MPR melakukan gerakan sosialisasi Empat Pilar: Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Selalu terbuka peluang mendiskusikan gerakan sosialisasi itu, tetapi Empat Pilar sejatinya ikhtiar untuk meneguhkan Pancasila sekaligus mengingatkan kita bahwa kesepakatan para pendiri bangsa terhadap Pancasila berkorelasi langsung dengan keberadaan tiga pilar yang lain UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Sederhananya, nomenklatur Empat Pilar merupakan satu paket yang integratif. Artinya, Pancasila sama sekali tidak bisa diimajinasikan berdampingan tidak dengan ketiga pilar tersebut.

Di luar bagaimana Pancasila dipraktikkan secara sungguhsungguh dalam sistem politik dan ketatanegaraan kita salah satu analisis mengapa moralitas Pancasila terasa kering bahkan ”menjemukan” terutama bagi pelajar kita karena kita alpa menemukan keteladanan yang riil-konkret yang ternyata sedemikian berserakan pada banyak tokoh. Keteladanan itu nilai yang operasional, bukan sekadar kata-kata mutiara. Artinya, selain bersifat inspiratif sekaligus juga aplikatif.

Begitulah Pancasila, yang berfungsi sebagai sumber keteladanan bagi kita semua. Pancasila merupakan konstruksi gagasan yang dirancang penuh keseriusan Bung Karno. Bahan bakunya yaitu nilai-nilai yang nyata-nyata hidup dan bekerja dalam masyarakat. Bung Karno melakukan kristalisasi nilai-nilai tersebut secara paripurna. Sayangnya, penghormatan kita kepada Pancasila justru menempatkannya sebatas teks sakral yang kosong. Pengalaman Orde Baru, indoktrinasi melalui program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) bahkan terbukti kandas. Penyebabnya, Pancasila didegradasikan menjadi alat kekuasaan.

Pengalaman traumatik itu, mengantarkan kita pada kegetiran yang mengenaskan. Pasca-Reformasi 1998 bangsa ini seolah-olah dalam situasi vakum ideologi. Kesalahan itu dengan cermat disimpulkan Yudi karena Pancasila direduksi melalui metode hapalan sehingga impresinya hilang. Buku ini tidak sedang mendesakkan definisi baru mengenai Pancasila, melainkan dengan cerdas menemukan perspektif menyelami nilai-nilainya sebagai sesuatu yang hidup dalam perbuatan tokoh bangsa.

Yudi adalah sedikit ”intelektual ideologis” yang kita miliki, pemikir yang sangat peduli dengan bukan saja keberadaan dan keberlangsungan ideologi negara, melainkan juga bagaimana ideologi itu ”bisa bunyi” sebagai living ideology dan working ideology . Selain itu, pantas kita garis bawahi Yudi menyadarkan sekaligus membangkitkan optimisme kita bahwa bangsa-negara ini punya banyak mata air keteladanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar