Menemukan
Keteladanan Pancasila
Sidarto Danusubroto ; Ketua MPR RI
|
KORAN
SINDO, 21 Maret 2014
Hari ini
(Jumat, 21/3), bertempat di Gedung Nusantara IV, Senayan, MPR bekerja sama
dengan Universitas Pancasila Jakarta melangsungkan peluncuran buku karya Yudi
Latif, Mata Air Keteladanan: Pancasila
dalam Perbuatan (Mizan, 2014), yang merekam bagaimana nilai-nilai
Pancasila dipraktikkan dalam keseharian perilaku para tokoh bangsa.
Di
antaranya dari kalangan keagamaan Hasyim Asy’ari dan putranya Wahid Hasyim
(NU), Ahmad Dahlan, Ki Bagoes Hadikoesoemo, HAMKA (Muhammadiyah), Albertus
Soegijapranata (Katolik), Todung Sutan Gunung Mulia (Kristen), dan Bhikku
Ashin Jinarakkhita (Buddha). Sebagai intelektual yang punya perhatian serius
mengenai ideologi negara kita, Pancasila, Yudi merasa ikut bertanggung jawab
seperti yang diungkapkannya dalam bukunya, melakukan respons atas keluhan
banyak orang tentang krisis keteladanan serta kesulitan untuk mengajarkan dan
menyosialisasikan moral Pancasila bagi kalangan pelajar, penyelenggara
negara, politisi dan aktivis kemasyarakatan, serta masyarakat umum.
Buku-buku
yang ditulis selama ini terlalu normatiflegalistik dengan tekanan yang
berlebihan pada aspek kognitif. Berbeda dengan kejamakan tersebut, Yudi
menekankan aspek afektif dan konatif (tindakan). Karena itu, betapa pun aspek
validitas data kesejarahan telah dilakukannya seoptimal mungkin, Yudi tidak
sedang berupaya menghadirkan ”presisi” (ketepatan), melainkan ”impresi”
(kesan yang menggugah penghayatan dan pengamalan). Apa yang dikerjakan Yudi
mengisi kekosongan bacaan seperti itu selayaknya kita berikan dukungan agar
semakin memadai jumlah buku yang ditulis oleh intelektual yang terpanggil
dengan menggunakan perspektif yang beragam.
Pancasila,
tidak terbantahkan, merupakan norma dasar kita bersama dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Selain mewariskan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945,
para pendiri bangsa dengan penuh tanggung jawab memberikan perisai (filosofi
dasar negara) yang diberi nama Pancasila. Fungsinya untuk menjaga kemerdekaan
yang telah diproklamasikan, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia, sekaligus
pedoman satu-satunya dalam mendesain, menjalankan, dan mengelola secara
berkesinambungan negara Indonesia yang telah merdeka.
Karena
itu, Pancasila adalah rel utama (paripurna) yang harus kita lalui untuk
meraih cita-cita kemerdekaan: menyejahterakan, melindungi, dan mencerdaskan
kehidupan bangsa. Sila pertama menjelaskan bagaimana manusia Indonesia
menempatkan dirinya dalam relasi dengan sang Khalik (transendensi) yang
dengan begitu dalam praktik interaksi akan terimplementasikan keharmonisan antarpemeluk
agama yang berbeda (yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa).
Sila
kedua diderivasikan dari yang pertama untuk mendefinisikan manusia Indonesia
notabene yang berkeadilan dan berkeadaban (imanensi). Sila ketiga,
kemerdekaan bangsa-negara Indonesia yang terdiri atas himpunan wilayah (NKRI)
yang karena itu konsekuensinya mereka harus senantiasa bersatu (persatuan).
Sila keempat merupakan doktrin berkaitan dengan sistem pengorganisasian yang
diterapkan dalam mengelola negara-bangsa Indonesia (permusyawaratan
permufakatan).
Penerapan
permusyawaratan permufakatan yang kemudian melahirkan MPR sebagai lembaga
tertinggi agaknya perspektif Trisakti Bung Karno (1963) dapat kita pakai
untuk ini yaitu berdaulat secara politik. Sila kelima yang hendak kita capai
bagi seluruh bangsa Indonesia adalah keadilan yang komprehensif (keadilan
sosial) tidak berhenti sebatas pada keadilan yang parsial (ekonomi, politik,
atau hukum).
Kita
menyaksikan dalam perjalanan Indonesia yang memiliki Pancasila sebagai
pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam praktiknya sesuai
dengan perkembangan dan dinamika politik temporal yang terjadi sesekali
mengemuka upaya-upaya untuk melakukan negosiasi. Tidak semua negosiasi
serta-merta berimplikasi buruk seperti empat kali amendemen terhadap UUD NRI
1945 semangatnya adalah menyempurnakan konstitusi kita.
Sekalipun
praktiknya yang terejawantahkan ke dalam UU (aturan organik) mungkin secara
tidak sengaja justru mencederai nilai-nilai yang dikandung dalam Pancasila.
Fakta tersebut seharusnya membuat kita dapat lebih mudah mengapresiasi
mengapa akhirnya MPR melakukan gerakan sosialisasi Empat Pilar: Pancasila,
UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Selalu
terbuka peluang mendiskusikan gerakan sosialisasi itu, tetapi Empat Pilar
sejatinya ikhtiar untuk meneguhkan Pancasila sekaligus mengingatkan kita
bahwa kesepakatan para pendiri bangsa terhadap Pancasila berkorelasi langsung
dengan keberadaan tiga pilar yang lain UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka
Tunggal Ika. Sederhananya, nomenklatur Empat Pilar merupakan satu paket yang
integratif. Artinya, Pancasila sama sekali tidak bisa diimajinasikan
berdampingan tidak dengan ketiga pilar tersebut.
Di luar
bagaimana Pancasila dipraktikkan secara sungguhsungguh dalam sistem politik
dan ketatanegaraan kita salah satu analisis mengapa moralitas Pancasila
terasa kering bahkan ”menjemukan” terutama bagi pelajar kita karena kita alpa
menemukan keteladanan yang riil-konkret yang ternyata sedemikian berserakan
pada banyak tokoh. Keteladanan itu nilai yang operasional, bukan sekadar
kata-kata mutiara. Artinya, selain bersifat inspiratif sekaligus juga
aplikatif.
Begitulah
Pancasila, yang berfungsi sebagai sumber keteladanan bagi kita semua.
Pancasila merupakan konstruksi gagasan yang dirancang penuh keseriusan Bung
Karno. Bahan bakunya yaitu nilai-nilai yang nyata-nyata hidup dan bekerja
dalam masyarakat. Bung Karno melakukan kristalisasi nilai-nilai tersebut
secara paripurna. Sayangnya, penghormatan kita kepada Pancasila justru
menempatkannya sebatas teks sakral yang kosong. Pengalaman Orde Baru,
indoktrinasi melalui program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila)
bahkan terbukti kandas. Penyebabnya, Pancasila didegradasikan menjadi alat
kekuasaan.
Pengalaman
traumatik itu, mengantarkan kita pada kegetiran yang mengenaskan.
Pasca-Reformasi 1998 bangsa ini seolah-olah dalam situasi vakum ideologi.
Kesalahan itu dengan cermat disimpulkan Yudi karena Pancasila direduksi
melalui metode hapalan sehingga impresinya hilang. Buku ini tidak sedang
mendesakkan definisi baru mengenai Pancasila, melainkan dengan cerdas
menemukan perspektif menyelami nilai-nilainya sebagai sesuatu yang hidup
dalam perbuatan tokoh bangsa.
Yudi
adalah sedikit ”intelektual ideologis” yang kita miliki, pemikir yang sangat
peduli dengan bukan saja keberadaan dan keberlangsungan ideologi negara, melainkan
juga bagaimana ideologi itu ”bisa bunyi” sebagai living ideology dan working
ideology . Selain itu, pantas kita garis bawahi Yudi menyadarkan
sekaligus membangkitkan optimisme kita bahwa bangsa-negara ini punya banyak
mata air keteladanan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar