Perumus
Kebijakan Bukan Malaikat
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi
III DPR RI
dan Presidium
Nasional KAHMI 2012-2017
|
KORAN
SINDO, 21 Maret 2014
Wakil
Presiden Boediono mengaku tidak terpikir bahwa kebijakan bailout Century itu
kini dipersoalkan. Apalagi sampai dibawa ke ranah hukum.
”Saya tidak berpikir sampai sejauh itu. Saya
bersama teman-teman hanya merasakan harus mengambil keputusan cepat dan tepat
menangani Bank Century dalam situasi krisis waktu itu,” kata
Boediono dalam acara ”Mata Najwa”
di Metro TV, Rabu (19/3/2014). Boediono mengatakan, kasus tersebut terjadi
saat ia baru menjabat beberapa waktu sebagai gubernur BI. Ia menceritakan
telah 30 tahun menggeluti masalah ekonomi sejak 1980-an. ”Jadi, saya merasakan krisis itu bagaimana,” kata Boediono,
meyakinkan.
Masyarakat yang tidak mengetahui fakta kejadian dan bukti material
dalam skandal Bank Century itu pasti akan terkecoh karena dalam acara yang
dikemas secara luar biasa itu menggambarkan bahwa Boediono korban politik.
Tanpa mengungkap atau mempertanyakan alasan atau latar belakang mengapa
Boediono dan jajaran BI ”mengutak-atik” aturan serta melakukan rekayasa agar
kebijakan yang diambilnya itu seolah-olah sudah sesuai aturan dan perundang-
undangan yang berlaku.
Lalu,
mengapa baru sekarang dia menuding Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang harus
bertanggung jawab? Saya tidak ingin berprasangka buruk bahwa penampilan
Boediono yang tiba-tiba itu untuk memengaruhi pengadilan yang sedang
berlangsung. Sepertinya paralel dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) baru-baru ini yang menegaskan bahwa Wakil Presiden
Boediono—dalam kapasitasnya sebagai gubernur Bank Indonesia (BI)—tak bisa
diadili atas langkahnya memberi dana talangan kepada Bank Century.
Kebijakan, menurut Presiden, tidak bisa diadili karena akan sulit
memutuskan kebijakan untuk kepentingan pembangunan. Presiden keliru. Perumus
kebijakan dan regulator itu juga manusia, bukan malaikat. Maka itu, tidak
logis dan sangat berbahaya jika negara ini mengadopsi pandangan yang
menyebutkan kebijakan tidak bisa dipidana. Bukankah niat jahat bisa dibungkus
dalam sebuah manuver yang disebut ”kebijakan”? Pandangan yang sama kemudian
dimasukkan dalam eksepsi terdakwa kasus Bank Century Budi Mulya.
Dalam
eksepsi Budi Mulya menegaskan bahwa pejabat BI tidak dapat dihukum karena telah
mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya.
Pertanyaannya, apakah pejabat BI itu orang-orang suci atau malaikat sehingga
keputusan atau kebijakan mereka wajib dipercaya tanpa reserve? Boediono dan pejabat BI lain itu manusia biasa, bukan
malaikat yang tidak punya hawa nafsu dan tidak mungkin selalu benar.
Sudah
terbukti bahwa BI bahkan punya catatan sejarah yang buruk akibat perilaku tak
terpuji sejumlah oknum di bank sentral itu. Baru beberapa tahun lalu seorang
mantan gubernur BI harus menjalani hukuman penjara. Dua mantan deputi
gubernur BI dan beberapa mantan direktur BI pun masuk bui. Semua karena nafsu
menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri dan kolega mereka.
Oleh pengadilan, sejumlah oknum pimpinan BI itu dituduh membungkus kejahatan mereka dengan apa yang disebut kebijakan. Misalnya, kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BI) yang
berujung pada kerugian negara hingga ratusan triliun rupiah. Kalau
seperti itu rekam jejak sejumlah oknum pimpinan BI, mengapa pula pemberian
dana talangan untuk Bank Century harus dipercaya sebagai kebijakan yang
bersih sehingga tidak bisa dipidana?
Apalagi,
hingga kini BI dan pemerintah cq Komite Stabilisasi Sistem Keuangan (KSSK)
tidak bisa menjelaskan dan mempertanggungjawabkan gelembung dana talangan
hingga Rp6,7 triliun menjelang Pemilu 2009 plus
Rp1,5 triliun akhir Desember 2013 atau
menjelang Pemilu 2014 dengan alasan untuk menaikkan CAR Bank Century
yang kini bernama Bank Mutiara pada posisi aman. Mengacu pada rekam jejak BI,
eksepsi Budi Mulya dan penegasan Presiden tentang kebijakan yang tidak
dipidana benar-benar kehilangan makna.
Persolan
ini sudah diperjelas dalam UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. UU ini menetapkan bahwa kebijakan yang
merugikan negara dan memperkaya orang lain termasuk dalam tindak pidana
korupsi. Menurut Pasal 55 ayat (1) KUHP, pihak yang memfasilitasi
sebuah tindak kejahatan bisa dipidana. Konstruksi
hukum skandal Bank Century sudah jelas. ”Kebijakan” menyelamatkan bank kecil
sarat masalah itu justru ditunggangi para perampok.
Setelah
dirampok Rp2,7 triliun, pencairan dana talangan bukan dihentikan, tetapi
terus dilanjutkan selama berbulan-bulan hingga total Rp6,7 triliun. Mengapa
kebijakan dana talangan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan ini tidak bisa
dipidanakan? Bukankah unsur tentang perumus dan
pelaksana kebijakan memfasilitasi tindak kejahatan sudah terpenuhi?
Agar tidak bias, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menegaskan bahwa KPK
tidak mengadili kebijakan, melainkan mendakwa pihak-pihak yang diduga
menyalahgunakan wewenang dalam pemberian FPJP dan penetapan Bank Century
sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Can Do No Wrong?
Maka
itu, penegasan bahwa kebijakan tidak bisa dipidana merupakan argumentasi yang
menyesatkan, bahkan berbahaya. Harus dieliminasi karena argumen ini cenderung
memaksa rakyat percaya begitu saja bahwa perumus kebijakan dan penguasa
adalah orangorang suci. Penegasan yang demikian hanya upaya meyakinkan publik
bahwa kebijakan mereka pasti mulia karena minus kepentingan sempit atau
kepentingan kelompok. Bisa jadi, makna lain dari argumentasi seperti itu
refleksi ketidaknyamanan pihak tertentu.
Dakwaan
jaksa penuntut dari KPK terhadap Budi Mulya membuat pemerintah tidak nyaman.
Dengan mengatakan kebijakan tidak bisa diadili, ada kecenderungan memengaruhi
jalan persidangan Budi Mulya. Apalagi dibumbui dengan alasan bisa mengganggu
kelancaran pembangunan. Lagipula, sangat berbahaya jika setiap kebijakan
tidak bisa diadili. Kalau paham atau pandangan ini diadopsi, perumus
kebijakan dan regulatornya akan berevolusi menjadi penguasa tiran atau
diktator.
Paham
ini memberi akses bagi perumus dan pelaksana kebijakan bertindak semena-mena,
represif, dan koruptif. Di negeri komunis seperti Korea Utara, Kim Jong-un
leluasa bertindak represif karena tidak ada yang berani mengadili
kebijakannya sebagai pemimpin. Kim, seturut aturan di negerinya, tidak boleh
dipersalahkan (can do no wrong).
Kalau ”kebijakan” menyelamatkan Bank Century tidak bisa diadili artinya BI
dan pemerintah cq KSSK tidak bisa berbuat salah atau dipersalahkan.
Kalau
begitu, model demokrasi apakah yang diadopsi pemerintahan sekarang ini?
Tampaknya, penegasan bahwa kebijakan tidak bisa diadili itu berangkat dari
angan-angan mengawinkan model monarki absolut dengan sistem demokrasi. Dalam
kasus Bank Century, BI dan pemerintah diposisikan seperti raja-ratu dalam
sistem monarki absolut dengan konsep ”the
king can do wrong”. Dengan begitu, kebijakan memberi dana talangan untuk
Bank Century tidak bisa diadili. Keblinger.
KPK dan
majelis hakim tipikor hendaknya tidak terpengaruh. Proses hukum kasus BLBI
bisa dijadikan acuan. Agustus 1997 dalam kapasitasnya sebagai direktur Bank
Indonesia (BI) bidang analisis perkreditan, Boediono mengikuti rapat pimpinan
BI yang membidani lahir kebijakan BLBI. Ratusan triliun realisasi BLBI kacau
balau. Negara menanggung rugi Rp650 triliun. Dalam audit BPK pada 2004
dimunculkan kesimpulan mengenai dugaan tindak pidana yang merugikan negara
akibat penyimpangan penyaluran BLBI oleh BI dan bank penerima BLBI.
Sekitar
95% atau Rp138 triliun dari total penyaluran BLBI yang Rp145 triliun itu
tidak jelas pertanggungjawabannya. Setelah rangkaian persidangan hingga
proses kasasi di Mahkamah Agung (MA) pada 2004, beberapa mantan direktur BI
divonis bersalah dan menjalani hukuman penjara. Artinya, kalau kebijakan BLBI
bisa diadili, mengapa dugaan manipulasi pada langkah penyelamatan Bank
Century tidak bisa diadili? Pada Oktober–November 2008 dalam kapasitasnya
sebagai gubernur BI, Boediono memimpin rapat dewan gubernur (RDG) BI dengan
agenda menyelamatkan Bank Century.
Bank
bobrok ini sudah tak layak ditolong. Namun, didukung data abal-abal, RDG BI
itu merekayasa sejumlah argumen untuk mendapatkan keabsahan menggunakan
instrumen Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Dari Rp630 miliar yang
disetujui, dalam hitungan jam, pencairan FPJP membengkak jadi Rp2,7 triliun
rupiah pada Sabtu dan Minggu saat semua bank libur. Perampokan itu terjadi
karena ada kebijakan manusia biasa yang memfasilitasi. Jadi, sekali lagi
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perlu menahan diri dengan tidak membuat
pernyataan yang dapat memengaruhi jalan persidangan kasus Bank Century.
Tidak
etis ketika Presiden menegaskan kebijakan mantan Gubernur Bank Indonesia
Boediono menyelamatkan Bank Century tidak bisa diadili. Bukankah Presiden SBY
sendiri sebagai ketua umum Partai Demokrat telah bertekad ”Katakan tidak! Pada korupsi?” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar