Impor
dan Statistik Beras
Anonim (Kadir?) ;
Bekerja di BPS
|
KORAN
JAKARTA, 11 Maret 2014
Kisruh
beras impor kualitas premium asal Vietnam belum juga terang. Ini membuat pemerintah
memutuskan untuk menghentikan sementara (moratorium) impor beras khusus atau
kualitas premium selama enam bulan mendatang sembari membenahi tata niaga
impor beras.
Meski
sah, beras impor selalu menuai tanggapan negatif, baik premium atau medium.
Indonesia yang memiliki sawah seluas 8 juta hektare, impor beras sungguh
keterlaluan. Ini membuktikan bangsa lemah dalam soal kemandirian pangan.
Impor
beras kualitas premium jangan sekadar moratorium, tapi dihentikan secara
permanen sebab selain membuka peluang beras ilegal, produk subsitusti untuk
beras kualitas premium impor, selama ini, sebetulnya bisa dihasilkan di dalam
negeri.
Beras
jenis Rojolele dan Cianjur, misalnya, memiliki kualitas setara dengan beras
impor kualitas khusus seperti Japonica, Basmati, dan Thai Hom Mali.
Selain
itu, selama ini impor beras kualitas premium sebetulnya hanya untuk memenuhi
selera pasar atau segmen tertentu dengan jumlah terbatas. Maka, bila
pemerintah berpihak pada petani dan ke-pentingan produksi dalam negeri, produksi
beras lokal kualitas premium mesti digenjot.
Bagaimana
dengan beras kualitas medium? Menurut undang-undang, impor beras jenis ini
hanya boleh dilakukan Bulog untuk stabilisasi harga beras di dalam negeri.
Indikator utama untuk pijakan perlu tidaknya impor beras oleh Bulog adalah
harga pasar beras termurah. Bila harga beras termurah 25 persen lebih mahal
dari harga pembelian pemerintah (HPP), Bulog akan impor.
Indikator
yang juga dijadikan pijakan adalah stok Bulog. Bila stok di bawah level aman
(kurang dari 2 juta ton), impor beras harus dilakukan. Pertanyaannya, mengapa
bukan data produksi beras di dalam negeri sebagai acuan utama memutuskan
perlu tidaknya impor beras?
Data
produksi beras hanya menjadi bahan pertimbangan, tidak lebih. Berdasarkan
data produksi, Kementerian Pertanian (Kementan) hanya bisa merekomendasi
perlu-tidaknya impor. Keputusan tetap di tangan Bulog berdasarkan kondisi
stok dan harga beras di pasar.
Angka
produksi beras tidak bisa jadi indikator utama karena kerap terjadi disasosiasi
antara data dan stok serta harga beras di pasar. Surplus acap kali hanya
angka-angka di atas kertas (semu).
Produksi
beras melimpah, tapi pada saat sama Bulog sulit mengadakan beras dan harga di
pasar merangkak naik sebagai indikasi kekurangan suplai. Ini terjadi antara
lain tahun 2011. Impor 2011 nyaris mencapai 3 juta ton. Padahal, surplus
ditaksir 4 juta ton.
Meski
disasosiasi ini bisa karena market power atau praktik kartel para pedagang
perantara, sebetulnya merupakan petunjuk angka produksi beras tidak akurat.
Secara faktual, data produksi beras memang lemah. Persoalan ini telah banyak
disorot dan hingga kini belum ada kemajuan berarti.
Beras
nasional dihitung dari produk padi nasional dikalikan laju konversi 0,57
sehingga diperoleh beras yang siap dikonsumsi untuk pangan. Produksi padi
nasional dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan metode yang
nyaris tidak pernah berubah sejak 1973.
Produksi
padi dihitung dengan mengalikan data luas panen dengan data produksi per
hektare (produktivitas). Data luas panen dikumpulkan mantri tani (petugas
dinas pertanian di tingkat kecamatan) secara rutin setiap bulan dengan
pendekatan blok pengairan, penggunaan pupuk, informasi dari aparat desa, dan
penaksiran mata (eye estimate). Hasil
penaksiran luas panen kemudian disetor ke BPS.
Di
lapangan, metode yang banyak digunakan adalah pendekatan terakhir. Dalam
praktiknya, petugas hanya datang ke sawah yang siap panen padi. Dia lalu
menaksir luasnya. Masih mending petugas datang ke sawah, bagaimana kalau
perkiraan luas panen dilakukan di atas meja?
Dalam
teori statistik, data luas panen yang dikumpulkan petugas dinas pertanian
disebut catatan administrasi sehingga tidak bisa dihitung dan dievaluasi
akurasinya. Idealnya, pengumpulan data luas panen dilakukan menggunakan
survei statistik (objective measurement).
Sementara
itu, pengumpulan data produktivitas melalui survei statistik (Survei Ubinan).
Produktivitas ditaksir dengan mengobservasi tanaman padi pada 73.109 plot
berukuran 2,5x2,5 m2. Pengumpulan data produktivitas sebagian dilakukan
petugas dinas pertanian dan petugas BPS.
Jadi,
angka produksi padi/beras yang selama ini disebuat sebagai “angka BPS”
sejatinya merupakan hasil kompromi dua sistem pengumpulan data yang berbeda,
bukan sepenuhnya angka BPS.
Perbaikan
Kelemahan
utama dalam menghitung produksi padi/beras nasional, pengumpulan data luas
panen tidak menggunakan survei statistik. Hasil kajian BPS 1996-1997
memperlihatkan luas panen yang dikumpulkan mantri tani di Pulau Jawa overestimate dari sebenarnya. Besaran
overestimate ditaksir mencapai 17 persen. Akibatnya, data produksi padi/beras
juga overestimate .
Karena
hingga kini belum ada perubahan metode pengumpulan, overestimate data
produksi dipas-tikan lebih besar lagi karena akumalasi dari tahun-tahun
sebelumnya. Sebagian kalangan bahkan memperkirakan besaran overestimate sudah di atas 20 persen.
Overestimate
pada data luas panen sebetulnya sangat mudah dibuktikan dengan mengamati tren
data luas panen yang dilaporkan terus meningkat dari tahun ke tahun,
sementara pada saat yang sama luas lahan sawah terus menyusut karena laju
konversi lahan. Dalam 20 tahun terakhir luas sawah berkurang 2 juta hektare.
Namun,
luas panen justru terus meningkat dari 10,99 juta hektare (1993) menjadi
13,77 juta hektare (tahun lalu).
Perbaikan
metode pengumpulan data luas panen sebetulnya sedang dilakukan. Metode baru
yang didasarkan pada survei statistik sedang dikembangkan Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerja sama BPS. Metode ini memadukan teknik
statistik (probability sampling) dan teknologi penginderaan jauh (remote sensing). Ini bakal diimplementasikan
2016.
Akurasi
produktivitas juga terus ditingkatkan dengan menambah sampel. Namun demikian,
jumlah sampel untuk penaksiran produktivitas masih kurang.
Saat
ini, satu sampel plot ubinan dengan ukuran 6,25 m2 untuk menaksir
produktivitas padi pada lahan seluas 188 hektare. Tentu ini tidak memadai
untuk menggambarkan keragaman produktivitas yang dipengaruhi banyak faktor
seperti teknologi budi daya, jenis varietas, dan kesuburan tanah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar