Rabu, 12 Maret 2014

Dampak Kemandulan Efek Jera

Dampak Kemandulan Efek Jera

Ferdinand Hindiarto  ;   Dosen Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang
SUARA MERDEKA,  11 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
“Ada hal yang lebih berbahaya, yaitu masyarakatlah yang justru memberikan stimulus penguat kepada koruptor”

PERLU terus membangun sikap optimistis dalam kerangka pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun kita tak bisa memungkiri di tengah optimisme juga terbersit pesimisme. Sudah teramat banyak pelaku korupsi mendapat ganjaran hukum, namun kuantitas dan kualitas perilaku korup tak juga berkurang. Sepertinya tidak ada efek jera sama sekali dari hukuman yang dijatuhkan majelis hakim.

Vonis berat hakim belum efektif untuk mengubah perilaku korup. Andai hal itu terus terjadi, pada titik tertentu orang tak lagi memiliki rasa takut berperilaku korup. Dalam ilmu psikologi, hukuman menjadi salah satu metode dalam pembentukan perilaku. Adalah BF Skinner yang menyodorkannya melalui Teori Operant Conditioning.

Skinner mengemukakan law of operant extinction, yaitu asumsi bila kemunculan perilaku tersebut tidak diiringi dengan stimulus penguat maka kekuatan perilaku itu akan menurun, bahkan hilang. Menghilangkan stimulus penguat itu pada hakikatnya merupakan pemberian hukuman.

Dalam konteks upaya pemberantasan korupsi, konsep Skinner tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kekuatan perilaku korupsi justru tidak berkurang namun bertambah besar. Hal ini dapat dilihat dari kemeningkatan kuantitas kasus dan kecanggihan modus korupsi.  Ada hal mendasar yang menyebabkan kondisi tersebut, yakni tidak berfungsinya extinction atau penghilangan stimulus penguat. Koruptor justru sering menerima stimulus penguat, semisal mendapat remisi semasa menjalani pidana atau menikmati fasilitas mewah di lembaga pemasyarakatan.

Namun ada satu hal yang lebih berbahaya, yaitu masyarakatlah yang justru memberikan stimulus penguat, bahkan sejak seseorang disangka korupsi. Contoh sejumlah orang memberi apresiasi kepada Andi Alifian Mallarangeng, yang mundur dari jabatan menpora setelah KPK menetapkannya sebagai tersangka. Bahkan dalam beberapa kasus, bekas terpidana kasus korupsi mendapat tempat istimewa di masyarakat.

Dalam masyarakat kita, orang yang memiliki kedudukan, baik secara struktural maupun  ekonomi, selalu mendapat tempat istimewa, tak peduli bagaimana rekam jejak perilakunya. Memang kita tak boleh menghakimi seseorang tanpa melalui proses hukum. Namun masyarakat bisa menerapkan prinsip kewajaran dan kepatutan dalam menilai kondisi seseorang.

Dalam menimbulkan efek jera, sesungguhnya masyarakat memiliki peran sangat kuat. Pada sistem masyarakat Indonesia yang kolektivitis, sebenarnya sanksi sosial sangat efektif untuk menimbulkan efek jera. Pasalnya, dalam masyarakat bercorak kolektivistis, kehilangan kontak dan interaksi sosial akan sangat mengganggu psikologis sosial seseorang.

Bila di penjara koruptor masih bisa membeli kemewahan maka dengan sanksi sosial,  mustahil koruptor dapat membeli kontak sosial. Biarkan mereka menjadi terasing. Tentu hal itu sangat berat secara psikologis mengingat manusia butuh kontak sosial. Tentu gagasan ini menimbulkan banyak pro-kontra, khususnya berkait asas praduga tak bersalah. Namun jika hanya bertumpu pada proses hukum formal, sulit rasanya membangun efek jera.

Sanksi Sosial

Menghilangkan stimulus penguat melalui pemberian sanksi sosial inilah yang oleh Skinner disebut extinction. Selain cara itu, dalam pemaksimalan fungsi hukuman guna mengurangi perilaku korup, kita bisa merunut Garry Martin dalam buku Behavior Modification: What It Is and How To Do It (2003). Martin mengungkapkan beberapa faktor yang menentukan efektivitas pemberian hukuman untuk menghilangkan perilaku target, yaitu korupsi.

Pertama; pemilihan jenis hukuman. Dari aspek ini, banyak terdakwa kasus korupsi mendapatkan vonis lebih ringan dari tuntutan jaksa. Barangkali apa yang dilakukan Artidjo Alkostar dalam kasus banding Angelina Sondakh bisa menjadi referensi, bagaimana pemilihan jenis hukuman dapat menimbulkan efek jera.

Kedua; pelaksanaan hukuman. Hukuman akan efektif dan dapat menimbulkan efek jera jika dilaksanakan secara konsisten dan adil. Siapa pun pelakunya, harus mendapatkan standar sama. Dalam praktik kita masih melihat inkonsistensi penegakan hukum. Baik sejak penyidikan, penyelidikan, penuntutan, maupun penjatuhan vonis. Efek jera tidak akan tercipta bila pelaksanaan hukuman masih inkonsisten, tebang pilih.

Ketiga; memaksimalkan kondisi untuk respons alternatif yang diinginkan. Saat ini sesungguhnya terjadi kompetisi di tengah masyarakat, antara perilaku jujur dan korup.Terjadi ambiquitas sangat besar tentang perilaku jujur dan perilaku korup. Yang harus kita lakukan adalah memaksimalkan kondisi supaya orang cenderung memilih berperilaku jujur.

Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain memperkuat transparansi dalam semua hal berkait anggaran, memberikan penghargaan kepada pejabat yang bertindak jujur, serta memberikan kesempatan kepada tokoh yang memiliki rekan jejak jujur untuk memegang kekuasaan. Bila hukuman tidak bisa menimbulkan efek jera maka hukuman itu sia-sia belaka, dan pada akhirnya upaya pemberantasan korupsi hanya pepesan kosong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar