Dampak
Kemandulan Efek Jera
Ferdinand Hindiarto ;
Dosen Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 11 Maret 2014
“Ada hal yang lebih berbahaya, yaitu masyarakatlah
yang justru memberikan stimulus penguat kepada koruptor”
PERLU
terus membangun sikap optimistis dalam kerangka pemberantasan korupsi di
Indonesia. Namun kita tak bisa memungkiri di tengah optimisme juga terbersit
pesimisme. Sudah teramat banyak pelaku korupsi mendapat ganjaran hukum, namun
kuantitas dan kualitas perilaku korup tak juga berkurang. Sepertinya tidak
ada efek jera sama sekali dari hukuman yang dijatuhkan majelis hakim.
Vonis
berat hakim belum efektif untuk mengubah perilaku korup. Andai hal itu terus
terjadi, pada titik tertentu orang tak lagi memiliki rasa takut berperilaku
korup. Dalam ilmu psikologi, hukuman menjadi salah satu metode dalam
pembentukan perilaku. Adalah BF Skinner yang menyodorkannya melalui Teori Operant Conditioning.
Skinner
mengemukakan law of operant extinction,
yaitu asumsi bila kemunculan perilaku tersebut tidak diiringi dengan stimulus
penguat maka kekuatan perilaku itu akan menurun, bahkan hilang. Menghilangkan
stimulus penguat itu pada hakikatnya merupakan pemberian hukuman.
Dalam
konteks upaya pemberantasan korupsi, konsep Skinner tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Kekuatan perilaku korupsi justru tidak berkurang namun
bertambah besar. Hal ini dapat dilihat dari kemeningkatan kuantitas kasus dan
kecanggihan modus korupsi. Ada hal
mendasar yang menyebabkan kondisi tersebut, yakni tidak berfungsinya extinction atau penghilangan stimulus
penguat. Koruptor justru sering menerima stimulus penguat, semisal mendapat
remisi semasa menjalani pidana atau menikmati fasilitas mewah di lembaga
pemasyarakatan.
Namun
ada satu hal yang lebih berbahaya, yaitu masyarakatlah yang justru memberikan
stimulus penguat, bahkan sejak seseorang disangka korupsi. Contoh sejumlah
orang memberi apresiasi kepada Andi Alifian Mallarangeng, yang mundur dari
jabatan menpora setelah KPK menetapkannya sebagai tersangka. Bahkan dalam
beberapa kasus, bekas terpidana kasus korupsi mendapat tempat istimewa di
masyarakat.
Dalam masyarakat
kita, orang yang memiliki kedudukan, baik secara struktural maupun ekonomi, selalu mendapat tempat istimewa,
tak peduli bagaimana rekam jejak perilakunya. Memang kita tak boleh
menghakimi seseorang tanpa melalui proses hukum. Namun masyarakat bisa
menerapkan prinsip kewajaran dan kepatutan dalam menilai kondisi seseorang.
Dalam
menimbulkan efek jera, sesungguhnya masyarakat memiliki peran sangat kuat.
Pada sistem masyarakat Indonesia yang kolektivitis, sebenarnya sanksi sosial
sangat efektif untuk menimbulkan efek jera. Pasalnya, dalam masyarakat
bercorak kolektivistis, kehilangan kontak dan interaksi sosial akan sangat
mengganggu psikologis sosial seseorang.
Bila di
penjara koruptor masih bisa membeli kemewahan maka dengan sanksi sosial, mustahil koruptor dapat membeli kontak
sosial. Biarkan mereka menjadi terasing. Tentu hal itu sangat berat secara
psikologis mengingat manusia butuh kontak sosial. Tentu gagasan ini
menimbulkan banyak pro-kontra, khususnya berkait asas praduga tak bersalah.
Namun jika hanya bertumpu pada proses hukum formal, sulit rasanya membangun
efek jera.
Sanksi Sosial
Menghilangkan
stimulus penguat melalui pemberian sanksi sosial inilah yang oleh Skinner
disebut extinction. Selain cara itu, dalam pemaksimalan fungsi hukuman guna
mengurangi perilaku korup, kita bisa merunut Garry Martin dalam buku Behavior Modification: What It Is and How
To Do It (2003). Martin mengungkapkan beberapa faktor yang menentukan
efektivitas pemberian hukuman untuk menghilangkan perilaku target, yaitu
korupsi.
Pertama;
pemilihan jenis hukuman. Dari aspek ini, banyak terdakwa kasus korupsi mendapatkan
vonis lebih ringan dari tuntutan jaksa. Barangkali apa yang dilakukan Artidjo
Alkostar dalam kasus banding Angelina Sondakh bisa menjadi referensi,
bagaimana pemilihan jenis hukuman dapat menimbulkan efek jera.
Kedua;
pelaksanaan hukuman. Hukuman akan efektif dan dapat menimbulkan efek jera
jika dilaksanakan secara konsisten dan adil. Siapa pun pelakunya, harus
mendapatkan standar sama. Dalam praktik kita masih melihat inkonsistensi
penegakan hukum. Baik sejak penyidikan, penyelidikan, penuntutan, maupun
penjatuhan vonis. Efek jera tidak akan tercipta bila pelaksanaan hukuman
masih inkonsisten, tebang pilih.
Ketiga;
memaksimalkan kondisi untuk respons alternatif yang diinginkan. Saat ini
sesungguhnya terjadi kompetisi di tengah masyarakat, antara perilaku jujur
dan korup.Terjadi ambiquitas sangat besar tentang perilaku jujur dan perilaku
korup. Yang harus kita lakukan adalah memaksimalkan kondisi supaya orang
cenderung memilih berperilaku jujur.
Beberapa
hal yang dapat dilakukan antara lain memperkuat transparansi dalam semua hal
berkait anggaran, memberikan penghargaan kepada pejabat yang bertindak jujur,
serta memberikan kesempatan kepada tokoh yang memiliki rekan jejak jujur
untuk memegang kekuasaan. Bila hukuman tidak bisa menimbulkan efek jera maka
hukuman itu sia-sia belaka, dan pada akhirnya upaya pemberantasan korupsi
hanya pepesan kosong. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar