Jalinan
ADIZ dan Keamanan Kawasan
Connie Rahakundini Bakrie ;
Executive Director Institute of Defense and
Security Studies, Board of Trustee Indonesia Maritime Institute
|
KORAN
SINDO, 08 Maret 2014
Penggunaan
ruang dan aset udara untuk target pencapaian tujuan militer saat invasi Irak
telah menandai secara signifikan pentingnya penguasaan ruang dan kekuatan
udara.
Penguasaan
atas ruang udara terkait juga pada kewenangan untuk menetapkan Air Defence
Identification Zone (ADIZ) yang hingga saat ini tidak diatur oleh lembaga
internasional. Dasar penerapan ADIZ adalah terjaminnya hak suatu negara untuk
menciptakan prakondisi bagi setiap pergerakan udara. Dengan itu, pesawat apa
pun yang mendekati sebuah wilayah udara nasional dapat diminta untuk
mengidentifikasikan diri.
ADIZ
mencantumkan wilayah udara atas daratan dan lautan di mana identifikasi,
lokasi, dan kontrol akan pergerakan pesawat diperlukan bagi kepentingan
keamanan nasional. Beberapa negara malah menetapkan ”extended ADIZ zone” yang
melampaui wilayah udara negara lain untuk memberikan lebih banyak waktu untuk
memantau dan menindak pesawat asing berawak atau tidak yang ditengarai
memiliki potensi berbahaya. ADIZ pertama kali ditetapkan AS setelah Perang
Dunia II.
Diikuti
beberapa negara antara lain Kanada, India, Jepang, Pakistan, Norwegia,
Inggris, RRC, Korea Selatan, dan ROC. Umumnya, zona ADIZ mencakup wilayah tak
terbantahkan atas kedaulatan suatu negara dan tidak tumpang tindih. Karena
umumnya ditetapkan secara unilateral, terjadi beragam model penerapan pada
aplikasinya. Misalnya AS tidak pernah mengakui hak negara pesisir untuk
menerapkan prosedur ADIZ bagi pesawat asing untuk memasuki wilayah udara
nasional.
Jepang satu-satunya negara yang menerapkan
ekspansi atas ADIZ-nya (1972 dan 2010). Korea Selatan baru memperluas zona
identifikasi wilayah udara nasionalnya hingga 666.480 km2menyikapi eskalasi
terkait China ADIZ (CADIZ) pada akhir 2013. Selain menetapkan ADIZnya di Laut
China Timur, secara tegas China juga mewajibkan semua pesawat sipil dan
nonsipil untuk mengidentifikasi diri ketika mendekati zona CADIZ.
Kemhan
China bahkan menetapkan penerapan “langkahlangkah darurat defensif” oleh AU
PLA untuk pesawat yang tidak mau memberikan identifikasinya (Bitzinger, 2013). Sesungguhnya,
langkah nyata China akan penerapan ADIZ dan aturan mainnya merupakan reaksi
atas aksi kebijakan AS di kawasan dengan ”US Strategic Pacific”yang merupakan
elemen kunci evolusi kekuatan-militer di mana akan membawa perubahan
signifikan terhadap aliansi AS di kawasan.
Pemerintah
China secara strategis menetapkan CADIZ untuk dapat mengantisipasi beberapa
kemampuan baru terkait teknologi terkini militer AS antara lain pesawat
tempur F- 35, Sistem Tempur Aegis, serta pesawat surveillance MQ-4C TRITON
yang memiliki kemampuan pemindaian 360 derajat dan memiliki sistem
identifikasi otomatis yang jelas akan menjadi senjata mata-mata utama tak
berawak.
IMQ-C4
akan mulai beroperasi pada 2015 dengan lima basis operasi untuk mengawasi
Laut China Selatan, Laut China Timur, dan Korea Utara, dari ketinggian 60.000
kaki selama 24 jam nonstop. Australia yang menjadi aliansi utama AS di kawasan
sudah sejak lama juga mengoperasikan satelit stasiun pelacakan dikenal
sebagai fasilitas Joint Defence Space Research/Pine Gap. Satelit ini menjadi
kontributor kunci untuk jaringan global surveillanceECHELON.
Sikap Pemerintah dan Demarkasi
ADIZ Indonesia
Pemerintah
Indonesia menjadi sorotan tersendiri dalam ‘diam’-nya menanggapi masalah ADIZ
di Laut China Timur. Sebenarnya momentum ini dapat digunakan oleh Presiden
SBY untuk menetapkan ADIZ Indonesia segera secara unilateral agar mampu
melegitimasi ulang kepemimpinan SBY dalam masa-masa terakhir jabatannya.
Mengapa?
Pertama, ADIZ dapat menjadi faktor karakteristik dan psikologis karena
seorang pemimpin hebat harus mampu berorientasi pada kebijakan luar negeri
untuk menunjukkan kemampuannya berperan di luar masalah domestik negara.
Kedua, ADIZ dapat menjadi cara meningkatkan nasionalisme. Ketiga,ADIZ dapat
dilihat sebagai langkah untuk meningkatkan peran Indonesia dalam memperluas
proyeksi kekuatan menghadapi kebijakan ‘Rebalancing AS’ yang sesungguhnya
telah mengundang reaksi ‘Imbalancing’ kawasan.
CADIZ
dapat merupakan bagian dari strategi China untuk dapat menerapkan anti-access
and area-denial jauh dari garis pantai China. AS dipastikan akan terseret
dalam konflik atas ADIZ, di mana bobot kredibilitas aliansi AS untuk menjaga
stabilitas kawasan akan diuji. Misalnya seberapa jauh AS akan berpihak pada
Jepang atau Taiwan dalam sengketa militer serta bagaimana memainkan One China
Policyatas Taiwan yang menjadi peace maker utama di konflik Laut China Timur
atas inisiatif Presiden Taiwan Ma Ying
Jeaou (2012).
Kekhawatiran
yang mengemuka bahwa CADIZ juga akan diterapkan di Laut China Selatan dapat
menjadi momentum untuk menunjukkan kedaulatan Indonesia atas ruang udara
nasionalnya sendiri yang terabaikan. ”Claiming what is ours and defending
what is ours”seharusnya menjadi semangat Indonesia dalam mengantisipasi
masalah akan ruang udara selain wilayah perairannya.
Langkah
inisiasi unilateral ADIZ harus didorong oleh kepercayaan diri Indonesia untuk
melindungi kepentingan nasional atas pengelolaan, pemanfaatan, dan pengamanan
atas ruang udara. Pemimpin Indonesia perlu meniru kepercayaan diri Jepang
dengan ADIZ-nya yang tumpang tindih dengan Taiwan. ADIZ antara Taiwan dan
Jepang membentang membagi wilayah udara di atas Pulau Yonaguni dan menjadikan
daerah timur masuk ke wilayah Jepang dan daerah barat masuk ke wilayah ke
Taiwan.
ADIZ
Jepang telah memperluas areanya hingga 12 mil laut dari baseline. Terkait
klaim sepihak itu, PM Jepang Yukio Hatoyama tegas mengatakan norma-norma
internasional atas demarkasi ADIZ terletak pada kebijaksanaan tiap negara
sehingga wajar bagi Jepang untuk tidak meminta persetujuan Taiwan akan
penetapan zonaADIZ- nya. Hatoyama dapat dijadikan contoh kriteria pemimpin
yang diperlukan oleh negara suprastrategis seperti Indonesia.
Identification Maritime Zone
Sejak
Desember 2004 Australia telah mengumumkan pembentukan Australia Identification Maritime Zone (AMIZ) sepanjang 1000 mil
laut dari garis pantai terluar Australia dan meng-cover hampir 1/3 wilayah
Indonesia. Sejak Maret 2005 semua perlintasan kapal yang melintasi zona
tersebut diminta untuk memberikan rincian lengkap tentang kargo, kru, lokasi,
kecepatan, dan pelabuhan tujuannya.
Australia
mengintegrasikan unsur-unsur militer Australia untuk menegakkan AMIZ yang
diaplikasikannya secara sepihak. Padahal dengan penerapan AMIZ, Australia
telah melanggar kedaulatan tidak kurang dari enam negara, termasuk Indonesia.
Professor
Don Rothwell (Sydney University) menyatakan, AMIZ merupakan sebuah
pelanggaran besar terhadap kebebasan bernavigasi di laut lepas dan kebebasan
dari negara tetangga Australia untuk mengontrol wilayah perairannya sendiri.
Langkah Australia akan AMIZ ini dipastikan akan diikuti China yang pada 2020
dan 2050 akan menjadi negara dengan kemampuan Green dan Blue Water Navy.
Jika
kompetisi ini terjadi dan diikuti negara sekutu AS lainnya, kedaulatan
Indonesia dipastikan akan semakin terjepit baik di ruang udara maupun wilayah
perairannya. Langkah tegas dan confident
Indonesia untuk menetapkan ADIZ dan Indonesia
Maritime Identification Zone (IMIZ) secara unilateral menjadi PR
(pekerjaan rumah) presiden mendatang dan TNI dalam menghadapi tantangan,
risiko, dan ancaman dari konstelasi politik keamanan kawasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar