Minggu, 09 Maret 2014

Jalinan ADIZ dan Keamanan Kawasan

Jalinan ADIZ dan Keamanan Kawasan

Connie Rahakundini Bakrie  ;    Executive Director Institute of Defense and Security Studies, Board of Trustee Indonesia Maritime Institute
KORAN SINDO,  08 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
Penggunaan ruang dan aset udara untuk target pencapaian tujuan militer saat invasi Irak telah menandai secara signifikan pentingnya penguasaan ruang dan kekuatan udara.

Penguasaan atas ruang udara terkait juga pada kewenangan untuk menetapkan Air Defence Identification Zone (ADIZ) yang hingga saat ini tidak diatur oleh lembaga internasional. Dasar penerapan ADIZ adalah terjaminnya hak suatu negara untuk menciptakan prakondisi bagi setiap pergerakan udara. Dengan itu, pesawat apa pun yang mendekati sebuah wilayah udara nasional dapat diminta untuk mengidentifikasikan diri.

ADIZ mencantumkan wilayah udara atas daratan dan lautan di mana identifikasi, lokasi, dan kontrol akan pergerakan pesawat diperlukan bagi kepentingan keamanan nasional. Beberapa negara malah menetapkan ”extended ADIZ zone” yang melampaui wilayah udara negara lain untuk memberikan lebih banyak waktu untuk memantau dan menindak pesawat asing berawak atau tidak yang ditengarai memiliki potensi berbahaya. ADIZ pertama kali ditetapkan AS setelah Perang Dunia II.

Diikuti beberapa negara antara lain Kanada, India, Jepang, Pakistan, Norwegia, Inggris, RRC, Korea Selatan, dan ROC. Umumnya, zona ADIZ mencakup wilayah tak terbantahkan atas kedaulatan suatu negara dan tidak tumpang tindih. Karena umumnya ditetapkan secara unilateral, terjadi beragam model penerapan pada aplikasinya. Misalnya AS tidak pernah mengakui hak negara pesisir untuk menerapkan prosedur ADIZ bagi pesawat asing untuk memasuki wilayah udara nasional.

 Jepang satu-satunya negara yang menerapkan ekspansi atas ADIZ-nya (1972 dan 2010). Korea Selatan baru memperluas zona identifikasi wilayah udara nasionalnya hingga 666.480 km2menyikapi eskalasi terkait China ADIZ (CADIZ) pada akhir 2013. Selain menetapkan ADIZnya di Laut China Timur, secara tegas China juga mewajibkan semua pesawat sipil dan nonsipil untuk mengidentifikasi diri ketika mendekati zona CADIZ.

Kemhan China bahkan menetapkan penerapan “langkahlangkah darurat defensif” oleh AU PLA untuk pesawat yang tidak mau memberikan identifikasinya (Bitzinger, 2013). Sesungguhnya, langkah nyata China akan penerapan ADIZ dan aturan mainnya merupakan reaksi atas aksi kebijakan AS di kawasan dengan ”US Strategic Pacific”yang merupakan elemen kunci evolusi kekuatan-militer di mana akan membawa perubahan signifikan terhadap aliansi AS di kawasan.

Pemerintah China secara strategis menetapkan CADIZ untuk dapat mengantisipasi beberapa kemampuan baru terkait teknologi terkini militer AS antara lain pesawat tempur F- 35, Sistem Tempur Aegis, serta pesawat surveillance MQ-4C TRITON yang memiliki kemampuan pemindaian 360 derajat dan memiliki sistem identifikasi otomatis yang jelas akan menjadi senjata mata-mata utama tak berawak.

IMQ-C4 akan mulai beroperasi pada 2015 dengan lima basis operasi untuk mengawasi Laut China Selatan, Laut China Timur, dan Korea Utara, dari ketinggian 60.000 kaki selama 24 jam nonstop. Australia yang menjadi aliansi utama AS di kawasan sudah sejak lama juga mengoperasikan satelit stasiun pelacakan dikenal sebagai fasilitas Joint Defence Space Research/Pine Gap. Satelit ini menjadi kontributor kunci untuk jaringan global surveillanceECHELON.

Sikap Pemerintah dan Demarkasi ADIZ Indonesia

Pemerintah Indonesia menjadi sorotan tersendiri dalam ‘diam’-nya menanggapi masalah ADIZ di Laut China Timur. Sebenarnya momentum ini dapat digunakan oleh Presiden SBY untuk menetapkan ADIZ Indonesia segera secara unilateral agar mampu melegitimasi ulang kepemimpinan SBY dalam masa-masa terakhir jabatannya.

Mengapa? Pertama, ADIZ dapat menjadi faktor karakteristik dan psikologis karena seorang pemimpin hebat harus mampu berorientasi pada kebijakan luar negeri untuk menunjukkan kemampuannya berperan di luar masalah domestik negara. Kedua, ADIZ dapat menjadi cara meningkatkan nasionalisme. Ketiga,ADIZ dapat dilihat sebagai langkah untuk meningkatkan peran Indonesia dalam memperluas proyeksi kekuatan menghadapi kebijakan ‘Rebalancing AS’ yang sesungguhnya telah mengundang reaksi ‘Imbalancing’ kawasan.

CADIZ dapat merupakan bagian dari strategi China untuk dapat menerapkan anti-access and area-denial jauh dari garis pantai China. AS dipastikan akan terseret dalam konflik atas ADIZ, di mana bobot kredibilitas aliansi AS untuk menjaga stabilitas kawasan akan diuji. Misalnya seberapa jauh AS akan berpihak pada Jepang atau Taiwan dalam sengketa militer serta bagaimana memainkan One China Policyatas Taiwan yang menjadi peace maker utama di konflik Laut China Timur atas inisiatif  Presiden Taiwan Ma Ying Jeaou (2012).

Kekhawatiran yang mengemuka bahwa CADIZ juga akan diterapkan di Laut China Selatan dapat menjadi momentum untuk menunjukkan kedaulatan Indonesia atas ruang udara nasionalnya sendiri yang terabaikan. ”Claiming what is ours and defending what is ours”seharusnya menjadi semangat Indonesia dalam mengantisipasi masalah akan ruang udara selain wilayah perairannya.

Langkah inisiasi unilateral ADIZ harus didorong oleh kepercayaan diri Indonesia untuk melindungi kepentingan nasional atas pengelolaan, pemanfaatan, dan pengamanan atas ruang udara. Pemimpin Indonesia perlu meniru kepercayaan diri Jepang dengan ADIZ-nya yang tumpang tindih dengan Taiwan. ADIZ antara Taiwan dan Jepang membentang membagi wilayah udara di atas Pulau Yonaguni dan menjadikan daerah timur masuk ke wilayah Jepang dan daerah barat masuk ke wilayah ke Taiwan.

ADIZ Jepang telah memperluas areanya hingga 12 mil laut dari baseline. Terkait klaim sepihak itu, PM Jepang Yukio Hatoyama tegas mengatakan norma-norma internasional atas demarkasi ADIZ terletak pada kebijaksanaan tiap negara sehingga wajar bagi Jepang untuk tidak meminta persetujuan Taiwan akan penetapan zonaADIZ- nya. Hatoyama dapat dijadikan contoh kriteria pemimpin yang diperlukan oleh negara suprastrategis seperti Indonesia.

Identification Maritime Zone

Sejak Desember 2004 Australia telah mengumumkan pembentukan Australia Identification Maritime Zone (AMIZ) sepanjang 1000 mil laut dari garis pantai terluar Australia dan meng-cover hampir 1/3 wilayah Indonesia. Sejak Maret 2005 semua perlintasan kapal yang melintasi zona tersebut diminta untuk memberikan rincian lengkap tentang kargo, kru, lokasi, kecepatan, dan pelabuhan tujuannya.

Australia mengintegrasikan unsur-unsur militer Australia untuk menegakkan AMIZ yang diaplikasikannya secara sepihak. Padahal dengan penerapan AMIZ, Australia telah melanggar kedaulatan tidak kurang dari enam negara, termasuk Indonesia.

Professor Don Rothwell (Sydney University) menyatakan, AMIZ merupakan sebuah pelanggaran besar terhadap kebebasan bernavigasi di laut lepas dan kebebasan dari negara tetangga Australia untuk mengontrol wilayah perairannya sendiri. Langkah Australia akan AMIZ ini dipastikan akan diikuti China yang pada 2020 dan 2050 akan menjadi negara dengan kemampuan Green dan Blue Water Navy.

Jika kompetisi ini terjadi dan diikuti negara sekutu AS lainnya, kedaulatan Indonesia dipastikan akan semakin terjepit baik di ruang udara maupun wilayah perairannya. Langkah tegas dan confident Indonesia untuk menetapkan ADIZ dan Indonesia Maritime Identification Zone (IMIZ) secara unilateral menjadi PR (pekerjaan rumah) presiden mendatang dan TNI dalam menghadapi tantangan, risiko, dan ancaman dari konstelasi politik keamanan kawasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar