Australia
Sadap (Udang) Indonesia
Abdul Halim ;
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat
untuk Keadilan Perikanan (KIARA); Alumnus Sekolah Pascasarjana Bidang
Diplomasi, Universitas Paramadina, Jakarta
|
KORAN
SINDO, 08 Maret 2014
Edward J
Snowden, eks intelijen NSA (National
Security Agency) Amerika Serikat (AS), kembali buka mulut. Dia ungkap
dokumen rahasia penyadapan Australia terhadap kantor pengacara Pemerintah Indonesia
dinegeri Paman Sam di antaranya menyangkut kepentingan dagang udang
sebagaimana dilaporkan oleh The New York Times (15 Februari 2014).
Sebagai
mitra apik, Australia enteng menyampaikan bahwa ekspor udang Indonesia ke
Amerika Serikat memiliki dampak bagi keamanan Australia. Tengok pernyataan
Perdana Menteri Australia Tony Abbot, ”Kami
menggunakan perangkat penyadapan untuk memberikan keuntungan dan meningkatkan
makna keberadaan kami kepada seorang teman. Kami menggunakannya untuk
melindungi warga negara Australia dan negara lain. Kami pasti tidak
menggunakannya untuk kepentingan komersial,” (ABC News, 16/02).
Menyikapi
pernyataan tersebut, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Marty Natalegawa
menyindir, ”Australia menyampaikan
alasan yang tidak masuk akal dan berlebihan. Mestinya sebagai negara tetangga
harus saling membantu dan bukan berbalik menjadi musuh.” Dalam kacamata
penulis, penyadapan yang dilakukan Australia adalah bentuk barter kepentingan
dengan Amerika Serikat.
Dalam
konteks geopolitik, Indonesia memainkan peranan strategis seiring membesarnya
pengaruh China di kawasan Asia-Pasifik. Untuk memastikan tiadanya gangguan
eksternal, Australia menyiapkan pangkalan khusus bagi tentara AS yakni di
Pulau Cocos (Selatan Barat Daya Pulau Jawa), yang hanya berjarak 1270
kilometer dari Jakarta dan Darwin (Australia Utara).
Sebaliknya,
informasi apa pun yang dimiliki Australia sangat bermanfaat bagi kepentingan
Amerika Serikat sekalipun dalam hubungan diplomatik penyadapan dikategorikan
sebagai aktivitas terlarang.
Selisih Subsidi
Dengan
dukungan anggaran dan program yang diarahkan untuk meningkatkan kapasitas
produksi perikanan nasional sebagaimana tercantum di dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 untuk prioritas kelima
pembangunan yakni ketahanan pangan bukan mustahil bagi Indonesia untuk
mencapai target meski kerusakan lingkungan pesisir menjadi fakta yang
seringkali dinomorduakan.
Peningkatan
produksi perikanan budidaya berimbas terhadap menyusutnya sebaran hutan
bakau. Ini setidaknya terjadi di enam negara yang disebut-sebut sebagai
kawasan Segitiga Karang. FAO (2006) memperkirakan sebesar 10% hutan bakau dunia
hilang akibat perluasan tambak udang. Fenomena ini juga terjadi di Asia
dengan hilangnya 40% hutan bakau. Separuh di antaranya hilang akibat
ekstensifikasi tambak. Sejak 2008 hingga 2012 produksi udang Indonesia
mengalami peningkatan drastis.
Dari
sektor perikanan tangkap diperoleh sebesar 236.922 ton pada 2008 dan
mengalami kenaikan pada 2012 sebesar 260.618 ton. Setali tiga uang, produksi
udang di sektor perikanan budi daya juga terus membesar: 409.950 ton (2008)
naik hingga 415.703 ton (2012). Dengan jumlah produksi yang besar, tak ayal
pasar Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa menjadi destinasi pemasaran.
Pada
2012 jumlah udang yang diekspor ke Amerika Serikat mencapai 62.194 ton dengan
nilai USD500.307. Diikuti Jepang sebesar 33.521 ton atau setara nilai
USD372.825 dan Uni Eropa sebesar 16.359 ton atau senilai USD111.911 (Kelautan
dan Perikanan 2012, Kementerian Kelautan dan Perikanan). Besarnya udang yang
dipasok ke Amerika Serikat membuat khawatir sejumlah pedagang di Amerika
Serikat.
Ini
ditimbulkan oleh keberadaan indikasi pemberian subsidi kepada produsen udang
dalam negeri. Karena itu, Coalition of
Gulf Shrimp Industries (COGSI) mengajukan petisi kepada Pemerintah
Amerika Serikat tertanggal 28 Desember 2012 untuk mengenakan countervailing duties (CvD) atas impor
frozen warm water shrimp yang
dianggap mengandung subsidi dari tujuh negara yaitu China, Ekuador, India,
Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Tuduhan
pengenaan CvD dimaksudkan untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan dari
perdagangan tidak adil (unfair trade)
akibat ada subsidi dari pemerintah yang dilakukan tujuh negara tersebut.
Petisi tersebut telah diperiksa kelayakannya oleh Otoritas Amerika Serikat
yaitu Komisi Perdagangan Internasional AS (US ITC) dan Departemen Perdagangan
AS (US DOC).
Karena
ada indikasi kerugian tersebut, US DOC mengirimkan petugas pada 3–21 Juni
2013. US DOC telah melakukan verifikasi lapangan ke Jakarta dan Lampung.
Namun, setelah melaksanakan verifikasi lapangan, US DOC mengeluarkan
ketetapan akhir (final determination)
pada 13 Agustus 2013 bahwa tidak terdapat indikasi subsidi terhadap ekspor
udang Indonesia (Antara, 20 Agustus 2013).
Dagang Bebas
Penyadapan
yang dilakukan Australia (dengan atau tanpa Permintaan Amerika Serikat) dan
petisi yang diajukan COGSI adalah gambaran perdagangan ekonomi internasional
yang terus diarahkan pada mekanisme perdagangan bebas, di mana peran negara
sebatas memastikan bahwa pelbagai restriksi perdagangan harus dikurangi dan
bahkan dihapuskan sesuai aturan WTO di antaranya subsidi.
Fenomena
di atas representasi salah satu aspek di dalam struktur perdagangan
internasional yakni tingkat keterbukaan (the
degree of openness) untuk pergerakan barang sebagaimana modal, tenaga
kerja, teknologi, dan faktor-faktor produksi lainnya. Di sinilah letak
kekuatan sebuah negara diuji. Kepentingan dan tindakan yang dipilih negara
untuk memaksimalkan kepentingan nasionalnya turut menentukan struktur
perdagangan internasional (Krasner,
1976).
Keberhasilan
sebuah negara mengendalikan struktur perdagangan internasional terhadap
tingkat keterbukaan pergerakan barang dan jasa ditopang oleh empat faktor
yaitu pendapatan nasional, stabilitas sosial, kekuatan politik, dan
pertumbuhan ekonomi. Empat hal ini setidaknya diamini China. Terlepas dari
ada indikasi pelanggaran terhadap hak asasi manusia di dalamnya.
Tak
mengherankan jika pelbagai negara, terutama Amerika Serikat, amat
memperhitungkan kepentingan dan tindakan yang dipilih China, negara produsen
utama perikanan dunia. Apa yang harus dilakukan Indonesia? Pertama,
Pemerintah Indonesia harus menafsir ulang perkembangan geoekonomi-politik
yang terjadi di kawasan Asia-Pasifik dan meresponsnya secara strategis demi
tercapainya kepentingan nasional.
Kedua, sebagai negara produsen perikanan
(ketiga di sektor perikanan tangkap dan keempat di sektor perikanan budi
daya), tantangan yang dihadapi adalah menyambungkan sektor hulu (praproduksi
dan produksi) dan hilir (pengolahan dan pemasaran) yang tidak hanya
menyumbangkan devisa kepada negara, tapi juga harus merembes kepada produsen
perikanan skala kecil.
Presiden
Republik Indonesia Soekarno di depan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
pada 30 September 1960 tegas mengemukakan, ”Kami (bangsa Indonesia) tidak berusaha mempertahankan dunia yang
kami kenal (baca: penuh penindasan atas yang lemah dan kecil, pengabaian
terhadap rasa kemanusiaan), kami berusaha membangun dunia baru, yang lebih
baik! Kami berusaha membangun dunia yang sehat dan aman. Kami berusaha
membangun dunia, di mana setiap orang dapat hidup dalam suasana damai. Kami
berusaha membangun dunia, di mana terdapat keadilan dan kemakmuran untuk semua
orang.” Untuk mengejawantahkan pesan ini, Pemilihan Umum 2014 adalah
momentum korektif perjalanan bangsa Indonesia di tengah kompetisi global! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar