Improvisasi
Peter Gontha
Denny Sakrie ;
Pengamat
Musik
|
TEMPO.CO,
03 Maret 2014
Di
panggung JavaJazz Jakarta pada Sabtu , 1 Maret 2014, muncul kelompok musik
pop yang terdiri atas puluhan penyanyi remaja cantik dengan nama JKT48.
Komentar pun bertebaran. Ada yang mencemooh, ada yang menikmati, dan ada yang
menganggapnya wajar-wajar saja. Di media sosial, celotehan terlontar
mempertanyakan apakah JKT48 layak disebut sebagai penampil jazz? Bahkan, ada
yang mempertanyakan kredibilitas Java Jazz Festival, yang digagas Peter
Gontha sejak 2005.
Bahkan,
Java Jazz Festival selama tiga hari itu, yang saat ini merayakan
penyelenggaraan yang ke-10, juga menampilkan konser Agnes Monica. Kritik
bernada sinis mengangkasa dengan menuding Java Jazz Festival ingin mengeduk
keuntungan bisnis semata tanpa memperhitungkan filosofi dan estetika dari
musik jazz itu sendiri.
Saya
sendiri menanggapi hal ini dengan kacamata pragmatis, bahwa JavaJazz Festival
memang penuh dengan pergulatan dan pergumulan antara mewujudkan apresiasi
yang sudah tentu bertautan dengan idealisme, dan bagaimana mempertahankan
keberadaan dengan menautkannnya pada kredo komersialisme, yang antara lain
harus bersikap terbuka terhadap dukungan dari elemen musik lain. Munculnya
ikon-ikon industri musik pop dalam acara festival jazz ini logikanya memang
agar acara ini bisa tetap berlangsung. Toh, jumlah penampil musik pop tidak
mendominasi.
Newport
Jazz Festival di Rhode Island Amerika Serikat pernah melakukan hal yang sama
ketika pada 1969menampilkan rock band asal Inggris, Led Zeppelin. Pro dan
kontra pun bermunculan. Bagi para purist jazz, kehadiran Led Zeppelin adalah
nila setitik yang merusak susu sebelanga. Tapi penampilan Led Zeppelin itu
justru mengangkat nama Newpoort Jazz Festival, yang dirintis pada 1954 dan
mengalami kesulitan finansial ketika memasuki era 1960-an. George Wein, sang
penggagas festival, lalu berimprovisasi untuk mempertahankannya dengan
memasukkan genre dan subgenre musik lain, seperti rock, soul, dan funk.
Pada
1969, festival jazz tertua di dunia itu menampilkan banyak rock band, seperti
Jethro Tull, Ten Years After, Jeff Beck, Blood Sweat & Tears, hingga Led
Zeppelin. Dan festival jazz yang mulai lesu darah itu terlihat bergairah
kembali dan tetap bertahan hingga kini. Konsep yang dipakai George Wein dalam
memasarkan festival jazz-nya ini lalu mengilhami banyak festival jazz
lainnya, semisal Montreux Jazz Festival.
Improvisasi
semacam ini pun dilakukan Peter Gontha. Dalam penyelenggaraan Java Jazz
Festival yang pertama, Gontha mengundang James Brown. Bahkan, pada 2008
Gontha mengundang Slank untuk bersanding dengan pemusik jazz seperti Tony
Monaco dan Michael Paulo.Pada 2010, Peter Gontha menghadirkan pencetak hit
dunia, Diane Warren, yang sama sekali tak memiliki konten jazz. Namun, toh
penyusupan-penyusupan semacam ini, menurut saya, sah-sah saja, sepanjang tak
sampai mengaburkan konten utama festival jazz tersebut.
Bisa dibayangkan jika Java Jazz Festival hanya menampilan
pemusik-pemusik jazz murni, saya yakin usia festival ini tak akan panjang.
Yang jelas, sebuah festival jazz memang tetap membutuhkan mitra dalam koridor
simbiosis mutualisme. Dan Peter Gontha telah melakukannya selama satu
dasawarsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar