Ironi
RUU Pilkada
Wawan Sobari ;
Dosen
Universitas Brawijaya
|
TEMPO.CO,
03 Maret 2014
Rancangan
Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) terancam diputuskan lewat
voting (Koran Tempo, 28/2/2014). Pasalnya, seluruh fraksi di Komisi
Pemerintahan DPR dan pemerintah belum sepakat atas opsi pilkada langsung.
Belum teguhnya pilihan pilkada langsung di kalangan legislator dan pemerintah
merupakan ironi sekaligus preseden buruk bagi masa depan demokrasi.
Ada lima
kelompok alasan yang selama ini menjadi argumen pemerintah dan pendukungnya
di DPR untuk menghapus pilkada langsung, terutama pemilihan bupati/walikota.
Pertama, pilkada langsung dinilai menambah beban anggaran. Kedua, pilkada
langsung dianggap meningkatkan risiko konflik di daerah. Ketiga, pilkada
langsung menyebabkan maraknya politik transaksional di daerah.
Keempat,
hasil pilkada langsung dinilai belum berkorelasi dengan perbaikan
kesejahteraan warga daerah. Terakhir, pemerintah ingin memperkuat posisi dan
kewenangan gubernur di daerah. Alasannya, Pasal 18 UUD 1945 memberi celah
tafsir atas tidak tegasnya letak pelaksanaan otonomi seluas-luasnya. Karena
itu, pemerintah menilai tak salah bila menafsirkan otonomi luas terletak di
provinsi. Untuk menjalankannya, gubernur lebih layak dipilih langsung. Lima
argumen itu tampaknya menjadi bagian penting dari pergulatan kepentingan
antara DPR, partai politik, dan pemerintah saat ini.
Dikatakan
ironis karena, pertama, selama 32 tahun di bawah rezim yang tak bersahabat
dengan demokrasi, rakyat tidak bisa mengekspresikan hak politiknya untuk
memilih pemimpin secara langsung. Pun, tujuh tahun masa transisi menuju
pemilihan langsung, rakyat hanya jadi penonton demokrasi semu yang
dipraktekkan para legislator dan partai politik.
Demikian
pula selama sembilan tahun pelaksanaan pilkada langsung sejak 2005, tak
henti-hentinya pilkada menghadapi berbagai kampanye negatif, seperti dugaan
banyaknya kecurangan, konflik horizontal, perilaku korup kepala daerah
terpilih, praktek-praktek politik partikelir, dan terbongkarnya mafia
sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi. Ditambah lagi sejumlah partai
politik di DPR, yang menjadi lakon utama dalam pilkada langsung, justru
menyangsikan pilihan terbaik itu.
Ironi
kedua, perdebatan opsi yang menegasikan demokrasi ini terjadi di tengah
kemerosotan kinerja demokrasi Indonesia. Dalam laporan Freedom House 2013, meski Indonesia sudah masuk kategori negara
berstatus demokratis, indikasi demokrasi elektoral (electoral democracy) masih marak.
Dalam
tingkatan ini, masih dimaklumi munculnya sejumlah iregularitas atau
penyimpangan dalam pelaksanaan pemilu. Karena sebagian besar negara dengan
status demokrasi elektoral masih belum sepenuhnya lepas dari kekuatan elite
lama dan penyimpangan demokrasi pada masa transisi. Namun status demokrasi
elektoral akan terus merosot jika terjadi perubahan hukum yang mengurangi
kesempatan rakyat memilih dalam pemilu.
Rincian
mengenai kemerosotan demokrasi terekam dalam laporan Indeks Demokrasi
Indonesia (IDI). Hasil pengukuran IDI yang dilakukan atas kerja sama antara
Kemenkopolhukam, Kemendagri, BPS, Bappenas, dan United Nations Development Program (UNDP) itu terus mengalami
kemunduran sejak pertama kali diukur pada 2009. Pada tahun itu, IDI mencapai
skor 67,3. Nilai indeks itu terus tergerus hingga mencapai skor 62,63 pada
2012.
Dari
tiga aspek utama pengukuran, nilai terburuk diperoleh dari pemenuhan hak-hak
politik. Sedangkan aspek kebebasan sipil masuk kategori baik dan aspek
kelembagaan demokrasi tergolong sedang. Padahal, merujuk pada metodologinya,
aspek pemenuhan hak-hak politik berkontribusi paling besar dalam pengukuran
IDI (41 persen).
Kelemahan-kelemahan
dalam pilkada langsung bukanlah persoalan tanpa solusi. Besarnya biaya
penyelenggaraan pilkada bisa diatasi dengan rekayasa teknis pilkada dan
penyelenggaraan pilkada serentak. Adapun risiko konflik pilkada bisa menjadi
tanggung jawab bersama antara pemerintah, aparat keamanan, partai politik,
dan para kandidat.
Makin
maraknya praktik politik transaksional sebelum dan setelah pilkada bisa
diminimalkan dengan penetapan pasal yang tepat dan penegakan aturan yang
tegas. Rakyat hanyalah penerima residu dari praktek politik kotor itu.
Penyebab di tingkat elite dan ketidaktegasan penindakan perlanggaran perlu
ditangani secara lebih serius. Turunnya tingkat kesejahteraan rakyat
pasca-pilkada langsung perlu diperdebatkan. Pilkada langsung justru mampu
melahirkan para champion daerah yang berkinerja baik, seperti di Surakarta,
Surabaya, Makassar, Banyuwangi, dan Yogyakarta.
Alasan memperkuat kewenangan gubernur kurang tepat karena semestinya
diagendakan dalam perubahan UU Pemerintahan Daerah. Pemerintah bisa
menegaskan peran gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah dengan
kewenangan tertentu dalam hubungannya dengan kabupaten/kota. Walhasil, tidak
tepat jika DPR dan pemerintah masih menyangsikan pilkada langsung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar