Senin, 03 Maret 2014

N a m a

N a m a

Amarzan Loebis  ;   Wartawan Tempo
TEMPO.CO,  03 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Tiba-tiba Butet Kertarajasa berganti nama menjadi Bambang Ekalaya Butet Kertarajasa. Jika dengan nama baru itu beliau menjadi lebih sehat-walafiat dan kian moncer rezekinya, sayalah yang pertama-tama ikut bersyukur. Hanya terlampir satu pertanyaan kecil: "Ekalaya" itu dibaca "e-ka-la-ya" atawa "e-ko-lo-yo"?

William Shakespeare terlalu menggampangkan persoalan ketika berkata-lewat Romeo & Juliet-"Apalah nama..." Jika putra guru Sukemi itu tetap bernama Kusno, misalnya, apakah dia juga yang akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, sehingga di bawah naskah Proklamasi akan tercantum: "Atas nama Bangsa Indonesia, Kusno-Hatta"?

Pada suatu masa, terutama di kalangan pujangga di Indonesia, memiliki berbagai nama (samaran) merupakan kemewahan. Ada seorang penyair yang dikenal dengan nama A.S. Dharta, Klara Akustia, Yogaswara, Kelana Asmara, dan entah apa lagi. Padahal nama aslinya tak kalah calak: Rodji. Saya mengenal seorang fotografer-penari dari Bali yang bernama Nour Bhakti. Nama aslinya ternyata Karsiman. Dari kalangan non-pujangga, yang paling terkenal tentulah Dipa Nusantara Aidit, yang nama aslinya tak jelek sama sekali: Ahmad.

Di kampung saya, ada seorang pria bernama Buyung Abdurahman Nunda Aria Megat Sambat Elang di Laut alias Ambal Permadani bin Plantasih Amerika Samseng van Tanah Bunut. Nama aslinya Buyung. Dia hidup dari mendongeng (storytelling). Untuk sekali mendongeng, ia dibayar Rp 1. Nasi rames dengan lauk sederhana waktu itu harganya Rp 3,50. Tanpa nama yang tidak umum itu, belum tentu khalayak tertarik mengundang dia. Sebab, dongengnya pun itu-itu saja: Siti Djubaedah, Selendang Delima, Pangeran Stambul…

Kalau Shakespeare masih hidup, apa yang akan ia katakan tentang sikap pemerintah Singapura yang tidak legawa terhadap penamaan kapal perang kita, KRI Usman-Harun? Apa pula katanya tentang perubahan nama Kota Makassar menjadi Ujungpandang, kemudian menjadi Makassar lagi? Ini juga bukan monopoli Indonesia. Di Rusia, Leningrad kembali menjadi St. Petersburg dan Stalingrad balik memakai nama Volgograd. Beberapa kota di India juga mengalami perubahan nama.

Di perbatasan Yordania dengan Israel, tepat di atas Sungai Yordan, ada jembatan yang biasa-biasa saja, kecuali bahwa ia menyandang dua nama. Di sisi Israel, ia diberi nama "Jembatan Allenby" (Allenby Bridge), meminjam nama Jenderal Edmund Henry Hynman Allenby, panglima Pasukan Ekspedisi Inggris yang menghalau orang Turki dari tanah Palestina dan mengambil alih Yerusalem pada 9 Desember 1917. Di sisi Yordania, ia diberi nama "Jembatan Raja Hussein" (King Hussein Bridge), mengikuti nama Raja Yordania terdahulu. Tak pernah timbul konflik di antara kedua negara mengenai nama ini.

Pada masa Bung Karno memang pernah ada juga ribut-ribut perkara nama. Tiba-tiba si Bung tak suka pada nama-nama "Blandis", sehingga Leintje Tambajong harus berganti nama jadi Rima Melati dan Jack Lammers menjadi Jack Lesmana. Bahkan, aktor Raden Sukarno, yang "raden"-nya terkesan "feodalistis", ketika itu langsung berganti nama jadi Rendra Karno. Namun, terhadap Fifi Young dan Tan Tjeng Bok, yang berkukuh tak mengganti nama, Bung Karno juga tak ambil pusing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar